BerandaNalar PolitikCawapres 2024, Jokowi Sebenarnya Overrated?

Cawapres 2024, Jokowi Sebenarnya Overrated?

Sorotan langsung tertuju pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca Mahkamah Konstitusi (MK) melontarkan pernyataan menarik, yakni presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya. Namun, sorotan itu kiranya justru menguak kelemahan Jokowi.


PinterPolitik.com

Kesempatan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk duduk di kursi eksekutif lebih lama baru saja terbuka. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya.

Juru Bicara (Jubir) MK Fajar Laksono menjelaskan tak ada peraturan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, konteks etika politik menjadi persoalan lain yang menurutnya patut menjadi perhatian.

Fajar tampak cukup lugas menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi,”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Dalam perspektifnya, bunyi Pasal itu tidak mengandung larangan atau variabel hambatan lain bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.

Kata kuncinya kan, dalam jabatan yang sama,” begitu pernyataan penutup sang Jubir MK.

Tafsir konstitusi berbeda datang dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhli Ramadhanil. Dia mengatakan bahwa presiden dua periode sebaiknya tidak kembali ikut kontestasi pilpres meski hanya menjadi cawapres.

image 43

Meskipun sepakat jika Pasal 7 UUD 1945 yang masih bisa diperdebatkan, Fadhli tetap berada di posisi yang menganggap pasal itu melarang presiden dua periode menjadi cawapres di periode berikutnya.

Di tempat dan periode berbeda, sebelum MK melontarkan penegasan tersebut, Musyawarah Rakyat (Musra) I yang digelar di Bandung, Jawa Barat pada 28 Agustus lalu juga menyuarakan “perpanjangan” masa jabatan Presiden Jokowi.

Sebagai forum relawan Jokowi untuk menghimpun suara masyarakat atas harapan nama calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada 2024, Musra dinilai mengantongi restu sang kepala negara.

Bisa ditebak, hasil musyawarah sendiri menasbihkan Jokowi sebagai capres harapan di 2024 mendatang.

Ketua Dewan Pengarah Musra I Andi Gani Nena Wea mengatakan Presiden Jokowi memberi izin hasil Musra dipublikasikan kepada masyarakat apa adanya.

Kendati begitu, ekspektasi terhadap sosok Jokowi sebagai pemimpin terkesan berlebihan atau cenderung menjadikan mantan Wali Kota Solo itu terkesan “overrated”. Terlebih, ketika terus dipaksakan menjabat lebih dari dua periode. Mengapa demikian?

Kepunahan Populisme Jokowi?

Dalam telaah kritis, kiranya muncul satu pertanyaan yang semestinya mengemuka di balik wacana memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, tidak terkecuali dalam konteks cawapres.

Baca juga :  Siapa Menteri Neoliberal?

Pertanyaan itu tak lain ialah, mengapa sosok Jokowi begitu dielu-elukan hingga harus melanjutkan kepemimpinannya? Benarkah kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta itu sedemikian baiknya?

image 44

Selama ini, narasi yang bergulir seolah hanyut begitu saja berbicara tentang patut atau tidaknya perpanjangan masa jabatan, tanpa mempertanyakan kualitas kepemimpinan sebagai substansi utama.

Padahal, Presiden Jokowi selama ini dianggap sukses duduk di Istana berkat populisme dan kelihaiannya dalam mencitrakan diri. Politisi senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, turut menyiratkan hal serupa.

Meskipun dikatakannya dalam konteks pujian, Jokowi disebut cukup piawai dalam memainkan politik simbol atau bahasa kasarnya pencitraan.

Senada dengan Panda, Kimly Ngoun dalam What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi mengatakan eks memiliki kemampuan memainkan politik simbol yang sangat mumpuni.

Ngoun melakukan komparasi dengan pemimpin negara lain di Asia Tenggara dan menyebut hal itu menjadi pembeda sosok Jokowi.

Nyatanya, publik tanah air kini lebih sensitif terhadap politik simbol atau pencitraan. Apalagi, generasi milenial dan generasi Z sebagai pemilih mayoritas di 2024 juga memiliki kepekaan yang sama terhadap karakteristik kepemimpinan seperti Jokowi.

Pada awal tahun 2022, Lembaga Penelitian Masyarakat Millennial (LPMM) merilis respons generasi muda terhadap politik Indonesia. Hasilnya, 91,7 persen generasi milenial dan z menyatakan muak dengan politik pencitraan.

Oleh karena itu, karakteristik pemimpin populis seperti Jokowi kemungkinan tak lagi relevan di 2024, kendatipun hanya diplot sebagai cawapres.

Selain itu, bagi yang mengikuti pemberitaan politik nasional, agaknya tidak asing dengan pernyataan “Jokowi adalah boneka”.

Sejumlah pihak, terutama oposisi, menilai Jokowi hanyalah “wayang” yang dimainkan oleh elite-elite partai di belakangnya.

Ketika menariknya ke dalam literatur politik, ciri tersebut disebut dengan puppet leader atau pemimpin boneka. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental.

Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Entitas itu kerap disebut sebagai oligarki.

Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi politik sedemikian rupa jika nantinya terpilih.

Menurut Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat tidak mungkin teraktualisasi.

Indonesianis lainnya, yakni Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi pada akhirnya bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki Orde Baru agar dapat menang menjadi RI-1.

Baca juga :  Gibran Lebih Berani Dibanding Jokowi?

Atas simpul-simpul politik tersebut, tidak heran kemudian label boneka kerap disematkan ke Jokowi.

Konteks yang terkait impresi “overrated” dan kualitas kepemimpinan itu juga yang kemudian membuat dorongan untuk meneruskan kepemimpinan Jokowi, meski hanya sebagai cawapres, dipertanyakan.

Lalu, akankah Jokowi benar-benar comeback di 2024 sebagai kandidat RI-2?

image 45

Jokowi Riding The Tiger?

Jika benar-benar berambisi mempertahankan posisinya di eksekutif, pertanyaan lanjutan agaknya mengemuka, yakni apakah Presiden Jokowi saat ini sedang “mengendarai kuda” atau “mengendarai harimau”?

Jika mengendarai kuda, tentu sang penunggang akan tetap aman saat turun dari pelana. Sementara jika mengendarai harimau, dapat dipastikan kekhawatiran akan muncul dari potensi serangan kucing besar tersebut.

Dengan kata lain, presumsi pihak-pihak yang selama ini mendorong keberlanjutan jabatan Presiden Jokowi bisa saja merasa tak lagi mendapat keuntungan atau bahkan terancam jika sang kepala negara turun takhta.

Namun, jika Presiden Jokowi tidak ingin reputasinya tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin ambisius dalam konotasi negatif, alangkah baiknya jika nanti ia tak mengikuti kontestasi elektoral 2024.

Walaupun MK seolah telah memberikan lampu hijau, kepentingan bangsa yang lebih luas, yakni regenerasi kepemimpinan yang substansial kiranya patut menjadi pertimbangan utama.

Di dalam sejarahnya, hakikat kepemimpinan layaknya sebuah siklus yang terus berganti, sebesar apapun upaya mempertahankannya. Filsuf dan sosiolog Italia Vilfredo Pareto menyebutnya sebagai konsep sirkulasi elite.

Konsep tersebut menjelaskan bahwa dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.

Marcus Mietzner dalam Jokowi rise of polite populist turut menjelaskan hal tersebut dalam aspek kepemimpinan Indonesia.

Dia menyiratkan bahwa siklus kemerosotan (decline) dan kebangkitan (rise) dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat transisi kepemimpinan kepada Jokowi sebagai khittah politik dan pemerintahan tanah air.

Mengutip gagasan filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel tentang zeitgeist atau roh zaman, karakter kepemimpinan Jokowi pasca 2024 boleh jadi kurang relevan dengan upaya akselerasi multiaspek bangsa Indonesia nantinya.

Oleh karena itu, glorifikasi yang terkesan semu atas sebuah kepemimpinan satu sosok tertentu kiranya harus segera dihentikan.

Bukankah amanah reformasi yang dicapai dengan berdarah-darah menghendaki terciptanya sirkulasi kepemimpinan bangsa yang sehat dan mewakili kepentingan rakyat banyak? (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Pemilih Bimbang Perlu Belajar Machiavellianisme?

Swing dan undecided voters masih menghantui Pemilu 2024. Tidak sedikit di antara mereka yang bingung memilih karena melihat semua kandidat “sama buruknya”. Bagaimana kita bisa merubah pola pikir yang seperti ini? 

Tetap Pede, Jokowi’s Anomaly?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) unggah foto artikel koran berjudul "Indonesia Builds Superpower Dreams". Menjelang 2024, Jokowi tetap pede?

Kritik Megawati, Bumerang Hantam PDIP?

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri seolah mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti era Orde Baru (Orba). Namun, kritik ini tampaknya justru menjadi...

Siapa Capres Dukungan CIA di 2024?

Isu tentang kepentingan Amerika Serikat di sekitaran Pilpres 2024 memang menjadi salah satu perdebatan yang menarik di Indonesia. Secara spesifik, poin perbincangannya membawa-bawa nama...

Apa Itu Contract Farming Yang Dipakai Anies Lawan Jokowi-Prabowo?

Anies mengusung gagasan menarik terkati persoalan pangan. Ia menyebutnya sebagai contract farming. Program ini disebutnya akan menggantikan food estate yang menjadi program andalan Presiden...

Gemoy Effect Prabowo Seperti Bongbong Marcos di Filipina?

Kata “gemoy” menjadi istilah yang tengah naik daun dalam beberapa waktu terakhir, utamanya dikaitkan dengan kampanye Prabowo Subianto. Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi...

Pilpres 2024 Hampir Pasti Ganjar vs Prabowo?

Salah satu pendiri CSIS Jusuf Wanandi menyebut Pilpres 2024 akan diisi oleh dua paslon. Dengan PDIP secara terang-terangan menginginkan dua paslon, apakah pernyataan Jusuf...

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa...

More Stories

“Anak Rohis”, Investasi Erick 2029?

Setelah menjadi “anak bola” dengan menjadi Ketum PSSI, Erick Thohir kini menjadi “anak rohis” setelah dipercaya menjadi Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya...

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa...

“Politik Dinasti” Sebenarnya Formula Terbaik? 

Jika dilihat secara komprehensif, praktik politik dinasti nyatanya terjadi hampir di tiap daerah di Indonesia. Suka atau tidak, hal itu tampaknya juga menjadi formula...