HomeHeadlineBerebut Kursi Gibran: Menuju 2029?

Berebut Kursi Gibran: Menuju 2029?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Perebutan kursi di dunia politik Indonesia semakin panas, dengan manuver cepat dan loyalitas yang berubah-ubah. Mampukah Gibran mempertahankan posisinya di tengah permainan ini?


PinterPolitik.com

“The experience of democracy is like the experience of life itself—always changing, infinite in its variety, sometimes turbulent and all the more valuable for having been tested in adversity.” – Jimmy Carter, Presiden ke-39 Amerika Serikat (AS)

Kemarin sore, Kenny menemani keponakannya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu temannya. Cuaca cerah dan suara tawa anak-anak memenuhi udara, membuat Kenny sejenak melupakan kesibukan hari-harinya yang biasa dipenuhi rapat dan dokumen.

Di tengah acara, pembawa acara mengumumkan permainan seru: anak-anak diminta berjoget berkeliling sambil musik dimainkan, lalu berebut duduk ketika musik tiba-tiba berhenti. Kenny tersenyum menyaksikan keponakannya berlari-lari kecil, berusaha menjadi yang tercepat mendapatkan kursi saat dentuman lagu berhenti. Ia memperhatikan bagaimana beberapa anak tertawa kegirangan, sementara yang lain tampak kecewa karena tak kebagian tempat duduk.

Tanpa disadari, pemandangan sederhana itu menarik Kenny ke dalam renungannya sendiri, mengingatkan pada permainan yang jauh lebih besar: politik. Ia melihat pola yang begitu familiar — jumlah kursi yang terbatas, persaingan sengit, keberuntungan yang kadang lebih menentukan daripada usaha, dan perasaan kalah yang menyisakan kekecewaan. Rasanya, dalam dunia orang dewasa pun, tak banyak yang berbeda dari permainan anak-anak ini.

Saat Kenny mengamati wajah-wajah mungil itu, ia bertanya-tanya dalam hati: mengapa jumlah kursi yang terbatas ini terasa begitu akrab? Apakah mungkin permainan sederhana ini merupakan cerminan kecil dari dinamika politik terbaru di Indonesia, di mana kursi-kursi kekuasaan selalu diperebutkan dengan semangat, strategi, dan sedikit keberuntungan?

Di Balik Deklarasi Prematur PAN?

Kenny masih duduk di bangku taman, matanya sesekali mengikuti keponakannya yang kini sibuk menikmati balon dan kue. Namun pikirannya tetap berputar pada permainan kursi tadi, dan bagaimana gambaran sederhana itu menyerupai perebutan kursi politik di Indonesia saat ini.

Dalam dunia nyata, para aktor politik berlomba-lomba merebut tempat terbatas, tak hanya dengan menunjukkan kemampuan, tapi juga dengan mendekatkan diri pada pemegang kekuasaan. Berbagai cara dilakukan: menjanjikan dukungan, membangun loyalitas dini, bahkan mengorbankan posisi lama demi kesempatan baru yang lebih strategis.

Kenny teringat salah satu contohnya, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) yang beberapa waktu lalu mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Prabowo Subianto sebagai calon presiden untuk Pilpres 2029, meski kini baru 2025. Langkah cepat ini banyak dibaca sebagai upaya PAN untuk mengamankan kursi calon wakil presiden bagi kadernya, mengingat posisi tersebut saat ini masih diduduki oleh Gibran Rakabuming Raka.

Dalam konteks ini, Kenny mengingat sebuah tulisan akademis berjudul “Indonesia: The Irony of Success” karya Edward Aspinall, yang menjelaskan bahwa stabilitas politik Indonesia diraih dengan kompromi elit dan patronase, meski mengorbankan kualitas demokrasi. Dalam dunia semacam ini, loyalitas dini dan kedekatan dengan tokoh kuat menjadi strategi penting untuk mengamankan akses kekuasaan.

Melihat semua ini, Kenny merasa apa yang ia saksikan di pesta ulang tahun tadi seolah menjadi miniatur dari kenyataan: jumlah kursi terbatas, persaingan sengit, dan kemenangan sering berpihak pada yang pandai membaca kesempatan. 

Ia bertanya-tanya: mengapa situasi seperti ini terus berulang dalam politik Indonesia? Apakah posisi Gibran Rakabuming Raka, yang kini tampak kokoh, justru bisa terancam oleh manuver cepat seperti yang dilakukan PAN?

Gibran Jadi Sasaran Empuk?

Kenny masih duduk di bangku taman, matanya sesekali mengikuti keponakannya yang kini sibuk menikmati balon dan kue. Namun, pikirannya tetap berputar pada permainan kursi tadi, dan bagaimana gambaran sederhana itu menyerupai perebutan kursi politik di Indonesia saat ini.

Menurut Kenny, posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden memang terlihat kuat hari ini, tapi ada dinamika besar yang mungkin akan membuat kursinya semakin terhimpit. Salah satu faktor terbesarnya adalah kenyataan bahwa ayah Gibran, Joko Widodo (Jokowi), sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden.

Dalam politik patronase seperti di Indonesia, kekuasaan seringkali sangat bergantung pada figur yang sedang berkuasa. Seperti yang dijelaskan oleh Marcus Mietzner dalam tulisannya “Authoritarian Innovations in Indonesia: Electoral Narrowing, Identity Politics, and Executive Illiberalism”, setelah pemimpin populis kehilangan jabatan, jaringan dan loyalitas politik yang dibangun atas dasar kekuasaan cenderung melemah drastis.

Kenny membayangkan, saat Jokowi tak lagi mengendalikan sumber daya negara, para pemain politik mulai berhitung ulang: siapa yang lebih menjanjikan untuk masa depan, siapa yang bisa memberikan akses baru ke pusat kekuasaan. Di sinilah posisi Gibran menjadi rentan, karena tanpa pelindung utama, dukungan politik bisa beralih dengan cepat ke kandidat atau partai lain.

Ia kembali memikirkan pesta ulang tahun tadi, saat musik berhenti dan anak-anak bergegas mencari kursi, sementara yang tak cukup cepat harus tersisih. Politik, pikir Kenny, pun demikian: mereka yang gagal mengamankan dukungan pada saat krusial akan tersingkir, tak peduli seberapa kuat mereka terlihat sebelumnya.

Dari semua renungannya sore itu, Kenny menarik satu kesimpulan: dalam politik Indonesia, kursi kekuasaan tidak hanya diperebutkan, tapi juga terus-menerus dipertaruhkan. Dan bagi Gibran, permainan baru saja dimulai — tetapi musik yang mengiringi langkahnya bisa berhenti kapan saja. (A43)


Baca juga :  The Dark Future of PDIP?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

More Stories

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

no na dan Mimpi Besar Indonesian Pop

Debut girl group Indonesia, no na, menandai babak baru dalam perkembangan I-pop. Mungkinkah soft power dan diplomasi budaya Indonesia siap?