Dengarkan artikel ini:
Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025. Ini menimbulkan pertanyaan mengingat Menkeu Sri Mulyani hampir tak pernah bolong memberikan paparan terkait APBN di setiap bulan, bahkan misalnya ketika kondisi ekonomi sedang kesulitan di era Covid-19. Tentu ini menimbulkan berbagai spekulasi mengingat paparan kinerja APBN adalah bagian dari transparansi pemerintah yang sekaligus jadi bahan bagi investor dan institusi internasional untuk melihat kondisi fiskal Indonesia. Ada apa?
Di ruang redaksi sebuah kantor media ekonomi, para wartawan sibuk berdiskusi. Kalender sudah menunjukkan bulan Maret 2025, tetapi ada satu hal yang janggal: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum juga merilis laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Januari 2025.
Biasanya, laporan ini selalu hadir tepat waktu, seperti detak jam yang tak pernah meleset. Namun kali ini, tak ada tanda-tanda itu. Biasanya, minggu-minggu awal bulan berikut jadi waktu ketika laporan kinerja itu diberikan. Artinya, seharusnya paparan untuk bulan Januari 2025 sudah terjadi di bulan Februari 2025. Namun tidak demikian saat ini, bahkan ketika tanggal dan hari sudah mau menuju tanggal tua bulan Maret.
Seorang wartawan senior membolak-balik catatan laporannya. “Sri Mulyani belum buka suara soal laporan APBN, padahal biasanya dia paling cepat menjelaskan,” gumamnya. Ia ingat bagaimana di tahun-tahun sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani selalu tampil di hadapan publik untuk menjelaskan kondisi fiskal negara setiap bulannya.
Situasi ini membuat berbagai spekulasi mencuat. Nailul Huda, seorang peneliti ekonomi dari Celios, mengungkapkan kecurigaannya dalam pemberitaan di beberapa media. “Jangan-jangan pemerintah takut ketahuan bahwa keuangan negara saat ini terbatas di saat program yang dijalankan sangat besar kebutuhan anggarannya,” ujarnya.
Ini tentu jadi kontras karena transparansi dalam laporan APBN menjadi indikator penting bagi investor dan institusi keuangan global dalam memahami kondisi fiskal Indonesia. Tanpa keterbukaan, kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi bisa terganggu. Sementara pemerintahan Prabowo-Gibran tengah getol mendorong agar investasi bisa mengalir deras demi menggerakkan perekonomian negara.
Lebih jauh, ketidakpastian postur APBN juga dikaitkan dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan sejak pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan. Dalam kondisi normal, anggaran negara sudah penuh tantangan. Dan kini dengan adanya program-program baru yang ambisius, beban pun jadi semakin berat. Sri Mulyani, yang dikenal sebagai teknokrat tangguh, jadi disorot.
Dari Jiwasraya ke Coretax
Selain belum adanya laporan APBN, kondisi di Kemenkeu semakin diperumit dengan penetapan tersangka terhadap Dirjen Anggaran, Isa Rachmatarwata, dalam kasus Jiwasraya. Ini menjadi pukulan bagi kredibilitas Kemenkeu, yang selama ini berusaha membangun reputasi sebagai lembaga yang profesional dan bersih.
Ketika seorang pejabat tinggi keuangan tersandung kasus hukum, kepercayaan publik semakin goyah. Apalagi posisi Isa berkaitan langsung dengan tata kelola APBN karena mengepalai Direktorat Jenderal Anggaran.
Masalah lain yang ikut memperkeruh situasi adalah sistem pajak baru, Coretax. Proyek ambisius ini dikembangkan dengan dana besar mencapai Rp1,3 triliun dan telah dibangun selama bertahun-tahun.
Namun, sistem ini masih mengalami banyak error, menyebabkan keluhan dari wajib pajak hingga kebingungan di internal Kemenkeu sendiri. Padahal, keberhasilan sistem ini sangat krusial untuk memastikan penerimaan pajak tetap optimal di tengah berbagai tekanan fiskal.
Tidak heran, jika semua masalah ini membuat publik mempertanyakan transparansi Kemenkeu. Apalagi, dalam studi akademik, transparansi fiskal selalu menjadi faktor kunci dalam membangun kepercayaan ekonomi.
Joseph Stiglitz, seorang ekonom peraih Nobel, dalam bukunya The Price of Inequality pernah menekankan bahwa keterbukaan dalam pemerintahan ekonomi adalah dasar dari pertumbuhan yang berkelanjutan. Ketika pemerintah menutup-nutupi data ekonomi, ini bisa menciptakan ketidakpastian yang berbahaya bagi pasar.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Daniel Kaufmann dan Aart Kraay dari World Bank, yang menyatakan bahwa ada korelasi kuat antara transparansi fiskal dengan arus investasi asing. Investor global selalu mencari stabilitas dan kejelasan dalam kebijakan fiskal sebelum menanamkan modalnya. Tanpa laporan APBN yang jelas, kepercayaan terhadap kredibilitas pemerintah bisa terkikis, dan dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor.
Situasi ini menjadi tantangan besar bagi Prabowo. Pemerintahannya baru berjalan beberapa bulan, tetapi sudah menghadapi sorotan besar terkait tata kelola keuangan. Tanpa transparansi yang kuat, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat dan investor akan mulai memudar.
Bagaimana Prabowo Harus Menyikapi Ini?
Posisi Sri Mulyani semakin terjepit di antara kebutuhan untuk menjaga transparansi dan tekanan politik dalam mengelola anggaran. Namun, solusi harus segera ditemukan. Jika keterbukaan fiskal terus dikesampingkan, pemerintah bisa kehilangan kepercayaan publik yang sangat penting dalam membangun legitimasi ekonomi.
Prabowo perlu segera mengambil langkah strategis misalnya dengan mendorong Kemenkeu agar segera merilis laporan APBN dengan transparan. Jika memang ada kendala dalam penyusunan anggaran akibat efisiensi, hal tersebut harus dikomunikasikan dengan baik ke publik. Kepercayaan bisa dijaga melalui komunikasi yang jelas, bukan dengan menghindari pertanyaan.
Kemudian, penyelesaian masalah di Coretax harus menjadi prioritas. Sistem perpajakan adalah tulang punggung penerimaan negara, dan jika sistemnya bermasalah, efek domino terhadap stabilitas ekonomi bisa sangat besar. Pemerintah perlu meninjau kembali proyek ini dan memastikan bahwa anggaran yang sudah dikeluarkan tidak sia-sia.
Selain itu, Prabowo harus memastikan bahwa tim ekonomi di kabinetnya solid. Jika ada masalah hukum, maka harus ada langkah cepat untuk menjaga kredibilitas institusi keuangan. Transparansi dalam penyelesaian kasus-kasus besar seperti ini akan menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menjaga integritas fiskal.
Dan yang terakhir, pemerintah perlu memberikan kepastian kepada investor bahwa kebijakan ekonomi masih dalam jalur yang aman. Ketidakpastian fiskal bisa memicu penurunan arus investasi, yang tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kejelasan mengenai kebijakan pajak, anggaran, dan stimulus ekonomi harus diprioritaskan.
Pada akhirnya, Sri Mulyani masih menjadi figur yang dihormati dalam dunia keuangan. Namun, dengan situasi yang semakin kompleks, tantangan yang dihadapinya jauh lebih berat dari sebelumnya. Pemerintahan Prabowo-Gibran harus segera menentukan arah, karena dalam ekonomi dan politik, ketidakpastian adalah musuh utama yang bisa menggerogoti kepercayaan dari dalam.
Begitu sulitnya posisi Sri Mulyani saat ini, tetapi transparansi tetap harus dijaga. Jika tidak, maka pemerintahan baru ini bisa kehilangan momentum sejak awal. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)