HomeNalar PolitikAsinnya Politik Garam

Asinnya Politik Garam

Ironis, mungkin itu kata yang tepat menggambarkan langka dan mahalnya harga garam saat ini. Mengapa negeri kaya ini bisa krisis garam, ulah siapa, siapa yang diuntungkan dan bagaimana peran pemerintah ke depan?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]S[/dropcap]ederet pertanyaan mulai dari ibu rumah tangga, pedagang makanan maupun pengecer di pasar, hingga kalangan industri terus terdengar hingga kini.

Bahkan yang lebih aneh lagi, bila kita kaitkan krisis garam dengan negara Indonesia yang katanya negara kepulauan terluas di dunia. Sepertiga luas Indonesia adalah daratan dan dua pertiganya adalah lautan. Anugerah luar biasa, negara dengan garis pantai 99.093 kilometer, terpanjang kedua setelah Kanada, yang seharusnya memiliki potensi produksi garam yang tinggi kini krisis garam.

Harga garam sekarang naik berkali lipat, apakah ini berkah atau bencana?. Bagi para ibu konsumen rumah tangga, biasanya mereka cukup mengeluarkan Rp 1.000 untuk per bungkus garam, kini harus mengeluarkan uang hingga Rp 6.000. bagi mereka, hal ini memberatkan terutama buat mereka yang berada di daerah?

”Bahkan, ada yang menjual hingga Rp 6 ribu per bungkus, tergantung pedagangnya masing-masing. Yang jelas saat ini sulit cari garam,” ujar Sutini salah seorang pedagang di Pasar Cigasong Majalengka, pada 21 Juli 2017.

Tak jauh berbeda, dikalangan para pelaku industri pengguna bahan baku garam juga harus ikut merasakan derita. Kelangkaan yang diikuti naiknya harga bahan baku garam krosok misalnya di wilayah Rembang dan sekitarnya, berimbas pada sulitnya para pengusaha ikan asin setempat. Bahkan di beberapa sentra industri penghasil garam, banyak pengusaha yang sudah menyetop usaha dan merumahkan karyawannya.

Namun, di satu sisi, kondisi tersebut menjadi satu berkah sesaat bagi para petani garam di berbagai daerah. Contohnya, para petani garam di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang baru kali ini menikmati tingginya harga jual hasil panen mereka. Dengan kondisi cuaca yang kurang mendukung juga kualitas tak sempurna, tak mematahkan semangat mereka untuk terus berproduksi.

Kendati hasil produksi mereka hanya dua atau tiga tombong dengan ekuivalen per tombong sama dengan garam seberat 80 kilogram. Setiap tombong laku dijual ke pengepul hingga Rp 300.000. Padahal sebelumnya, setiap tombong mereka hanya dihargai pengepul seharga Rp 30.000 hingga Rp 40.000.

Korupsi Garam, dan Jebakan UU

Lebih jauh mengulik sedikit mengapa kondisi di atas bisa terjadi di negara tercinta kita. Cerita bermula dari terungkapnya mantan Direktur Utama PT Garam (Persero) R. Achmad Budiono (AB) sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan izin impor garam. Penangkapan dilakukan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada 10 Juni 2017.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon
foto: istimewa

Menurut keterangan Polisi, AB dianggap bertanggung-jawab perihal perubahan izin impor garam konsumsi tahap pertama sebanyak 75 ribu ton. Akibat perbuatannya itu, negara dirugikan sekitar Rp 3,5 miliar, kerugian berasal dari bea masuk yang seharusnya dibayar saat PT Garam mengimpor garam industri.

Dengan tertangkapnya AB, sontak membuat beberapa pihak terkait kaget. Peristiwa  ini menjadi pukulan terberat bagi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya Menteri Rini M. Soemarno. Betapa tidak, dalam tahun ini sudah tiga BUMN binaannya yang terjerat masalah korupsi, PT Garuda Indonesia, PT PAL dan PT Garam.

Bagi beberapa pihak yang tak sejalan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo, hal ini tentu menjadi keuntungan dan dijadikan senjata untuk terus menggoyang presiden melalui kinerja menteri-menterinya. Bagi ‘mereka’, terungkapnya beberapa kasus korupsi di BUMN, semakin membuktikan bahwa kinerja Menteri BUMN buruk dan harus segera diganti.

Namun sayangnya lagi, sampai kini Menteri Rini pun masih ‘diam’ dan belum mengeluarkan kebijakan berarti khususnya terkait penanganan masalah pergaraman ini. Apalagi mengingat PT Garam adalah salah satu BUMN yang bertugas mengurusi masalah pergaraman nasional.

Tapi beruntung, Menteri Rini tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Bersama teman-teman Menteri lainnya ia mendapat dukungan. Salah satu pembelanya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Diantara Menteri yang lain, Susi memang paling berani dan memang terkait dengan masalah tersebut.

Sebagai informasi, terkait masalah pergaraman, ada empat Kementerian yang terlibat dan masing-masing memiliki Peraturan Menteri sendiri-sendiri. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian BUMN.

Teknisnya, bila terjadi penurunan produksi garam nasional akibat pengaruh cuaca seperti saat ini, maka KKP berhak mengeluarkan rekomendasi ke Kemendag agar BUMN bisa mendapat izin untuk secepatnya impor garam.

Menurut Menteri Susi, masalah belakangan terjadi akibat tidak selarasnya Permen masing-masing pihak terkait. Contohnya, Permendag yang memiliki Permen No. 125 tahun 2015, Permen Perindustrian No. 88 tahun 2014 dan KKP dengan UU Nomor 7 tahun 2016.

Dalam Permendag No 125 tahun 2015 mengklasifikasi garam konsumsi dengan kadar NaCI di bawah 97%. Sedangkan garam industri berkadar NaCI di atas 97%. Namun, Kemenperin dengan UU-nya No. 88 tahun 2014 mengatakan bahwa garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan NaCI minimal 94%, tanpa mengatur batas maksimal.

Aturan-aturan itulah yang menyulitkan PT Garam untuk melakukan impor tahun ini. Sebab, spesifikasi produk di pasar garam internasional tak sesuai dengan aturan. PT Garam kemudian mengusulkan perubahan izin impor dari garam konsumsi menjadi industri, agar impor berjalan lancar. Namun, dari perubahan izin itulah yang akhirnya menjerat AB mantan Dirut PT Garam dan dituduh mengakali bea masuk sekaligus menyelewengkan izin.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Impor, Kartel dan Hantaman Untuk Susi

Di luar fakta dari kasus tersebut, Menteri Susi menduga ada hal lain terkait kasus garam. Sampai kini ia juga belum melihat adanya kesalahan PT Garam terkait impor garam. Ia justru melihat adanya indikasi jebakan dari pihak-pihak tertentu kepada PT Garam, sehingga BUMN yang baru saja bangkit tersebut menjadi korban.

“Bahwa kemudian ada kemungkinan disalahgunakan. Baru kemungkinan ya, karena indikasi ada permainan yang menjebak sana sini juga kelihatan sekali,” ujarnya di Jakarta, pada 16 Juni 2017.

Tanpa menyebut siapa pihak yang dimaksud, namun Susi menyorot tajam para mantan importir garam yang kini perannya digantikan oleh PT Garam. Seperti diketahui, saat ini kebijakan impor garam hanya lewat satu pintu yakni PT Garam. Sebelumnya impor bisa dilakukan oleh banyak perusahaan swasta. Alhasil kondisi itu membuat pengusaha lain ‘gerah’.

Asinnya Politik Garam
foto: istimewa

Pernyataan Susi itu juga diperkuat keterangan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan yang membenarkan bahwa ada kekuatan yang terus berupaya melengserkan Susi. Menurutnya juga, ekonomi Indonesia dikuasai kartel pangan dan energi yang sulit diberantas.

“Contoh Bu Susi sekarang sedang mengalami serangan balik yang sangat kuat. Kekuatan inilah yang bermain agar Ibu Susi diganti,” ungkap Budi, pada 13 Juli 2017.

Bahkan sebelumnya, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli pernah menyebutkan ada tujuh kelompok pengusaha yang kini menguasai bisnis garam di Indonesia. Kelompok begal tersebut telah membentuk kartel yang menjalankan berbagai praktik kecurangan dalam bisnis garam nasional.

Namun, di luar masalah pergaraman nasional yang tengah bergejolak, sepertinya kita harus sedikit bersabar karena pemerintah yang di inisiasi tim dari KKP, Kemendag, Kemenperin, Kepolisian dan Badan Pusat Statistik (BPS) tengah melakukan verifikasi untuk meninjau kebutuhan bahan baku garam konsumsi.

Nantinya, hasil dari verifikasi tersebut akan ditelaah dan menjadi dasar penerbitan kembali rekomendasi impor bahan baku garam konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan tahun 2017.

Bersamaan dengan hal itu, masing-masing Kementerian terkait juga tengah menyelaraskan Peraturan Menteri masing-masing. Ini bertujuan agar ke depan tidak ada lagi korban yang dipolisikan lantaran terganjal masalah ketidakselarasan UU lintas sektoral.

Terakhir, yang lebih penting dilakukan pemerintah ke depan, segera lakukan swasembada garam agar tidak ada lagi ketergantungan impor. Hal itu harus secepatnya dilakukan untuk mengatasi faktor eksternal seperti cuaca. Selain itu, mengingat negara kita adalah negara yang memang kaya akan sumber daya alamnya.

Sumber : https://www.bumnwatchdog.com/asinnya-politik-garam/

(T29)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Laksamana Wanita Pertama Indonesia

Meski namanya tak begitu harum dan hanya sedikit tercatat dalam catatan sejarah perjuangan bangsa ini. Namun namanya tetap harum dan menjadi penyemangat bukan saja...

Politik Rini Pimpin BUMN

Desakan mundur dari berbagai kalangan terus bertubi menuju Menteri BUMN ke-8 ini. Namun mantan Menperindag era Megawati ini tetap untouchable, tak tergoyahkan sambil tetap piawai berpolitik.  PinterPolitik.com D esakan...

Zakir Naik dan Dakwanya

Beberapa hari lalu Indonesia kedatangan ulama kontroversial Dr. Zakir Naik. Rencananya ia akan melakukan safari dakwah di beberapa kota di Indonesia. Walaupun tengah dicari...