HomeNalar PolitikAlat Kampanye Masker ‘Untungkan’ Jokowi?

Alat Kampanye Masker ‘Untungkan’ Jokowi?

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendukung penggunaan masker, hand sanitizer, dan face shield sebagai alat kampanye yang dibagikan pada umum di Pilkada 2020. Siasat apa yang ada di baliknya?


PinterPolitik.com

“What happened to COVID? Nobody remember” – Lil Baby, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Di masa pandemi Covid-19 seperti ini, sudah sewajarnya setiap orang kini mengenakan masker agar dapat terhindar dari penularan yang disebabkan oleh virus Corona (SARS-Cov-2). Bahkan, hampir setiap tempat sekarang telah mewajibkan penggunaan masker.

Kebutuhan akan masker ini terlihat dari bagaimana kelangkaan terjadi di masa awal pandemi. Bahkan, harga masker dan hand sanitizer sampai meningkat berkali-kali lipat pada sekitar bulan Maret.

Banyak kegiatan dan tempat terpaksa menghentikan segala operasinya. Pedagang, pengusaha, kantor pemerintahan, penjaja makanan, dan sebagainya harus mengalah pada virus satu ini.

Namun, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akhirnya tidak memiliki pilihan lain untuk kembali membuka kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut. Pasalnya, Indonesia kini disebut-sebut berada di ambang resesi ekonomi.

Baru-baru ini, misalnya, bioskop yang notabene menjadi tempat di mana penularan dapat mudah terjadi direncanakan akan dibuka operasinya dalam waktu dekat. Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito bahkan menyebutkan bahwa pembukaan bioskop dapat membantu mencegah penularan karena dapat meningkatkan kebahagiaan masyarakat.

Tidak hanya bioskop, sejumlah kegiatan ekonomi lainnya juga mulai dibuka. Pengusaha mal, misalnya, telah mengoperasikan kegiatan bisnisnya sejak beberapa bulan lalu.

Dengan dibukanya kembali berbagai aktivitas ekonomi ini, pemerintahan Jokowi akhirnya mendorong penggunaan masker oleh masyarakat. Kampanye penggunaan masker juga mulai digenjot oleh berbagai institusi pemerintahan, seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Presiden Jokowi sendiri beberapa kali mendorong narasi akan pentingnya penggunaan masker oleh masyarakat. Bahkan, melalui instruksinya, para pelanggar protokol kesehatan bisa saja dikenakan sanksi, baik administratif maupun yang bersifat sosial.

Di sisi lain, terdapat sebuah studi yang dirilis oleh Goldman Sachs yang mengatakan bahwa penggunaan masker sebenarnya memiliki dampak yang sama dengan pembatasan sosial. Bisa jadi, masker ini menjadi pilihan yang lebih baik guna menyelamatkan Indonesia dari ancaman ekonomi yang terus memburuk akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Pentingnya masker ini akhirnya juga didorong oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satunya adalah dengan memperbolehkan penggunaan masker sebagai bahan kampanye di Pilkada 2020.

Usulan ini tentunya mengubah kebiasaan kampanye yang menjadikan kaus dan bentuk pakaian lainnya sebagai bahan kampanye. KPU sendiri disebut tengah menyiapkan rancangan aturan baru mengenai pembagian alat kampanye ini melalui Peraturan KPU (PKPU) yang baru.

Terlepas dari pentingnya masker ini, beberapa pertanyaan pun timbul. Mengapa akhirnya KPU memperbolehkan penggunaan masker dan barang kesehatan lainnya dalam kampanye Pilkada 2020? Kira-kira, apa dampak dari kebijakan ini terhadap politik dan ekonomi Indonesia?

Baca juga :  Qodari, Jokowi's Man?

Politik Bencana

Bukan tidak mungkin, diizinkannya masker untuk dijadikan alat kampanye di Pilkada 2020 ini berkaitan dengan persaingan politik di dalamnya. Bisa jadi, penggunaan masker sebagai alat kampanye ini memiliki dampak politik bagi para kandidat.

Pasalnya, barang-barang kesehatan seperti masker, hand sanitizer, dan face shield merupakan komponen penting dalam mengatasi bencana pandemi. Dalam hal ini, apa yang bisa diberikan oleh pemimpin dan politisi dalam bencana ini menjadi penting dalam diskursus politik.

Alexander J. Oliver dan Andrew Reeves dalam tulisan mereka yang berjudul The Politics of Disaster Relief menjelaskan bahwa respons pemimpin dan politisi terhadap bencana menjadi determinan yang penting dari para pemilih. Pasalnya, bencana merupakan peristiwa yang berdampak besar (dramatic events) bagi masyarakat.

Oliver dan Reeves juga mengutip Niccolo Machiavelli dalam tulisannya. Setidaknya, bagi pemikir asal Italia tersebut, kemampuan untuk merespons bencana – seperti banjir – turut menentukan seberapa panjang politisi tersebut dalam kekuasaan.

Pagi tadi, Kementerian Kesehatan membagikan 1.500 masker kepada penumpang kereta di Stasiun Tebet, Jakarta (27/8). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari kampanye menggunakan masker di era Adaptasi Kebiasaan Baru untuk menghindari penularan COVID-19. pic.twitter.com/6OgvHiLlqb— Kemenkes RI (@KemenkesRI) August 27, 2020

Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton sendiri menyebutkan bahwa persoalan bencana dapat menjadi salah satu determinan keterpilihan seseorang ketika bencana itu datang – meskipun sebelumnya bencana bukanlah satu-satunya penentu dalam Pemilu.

Apa yang dibilang oleh Clinton ini mungkin dapat dilihat dari bagaimana Presiden AS Donald Trump mengalami kesulitan dalam memenangkan Pemilu AS 2020. Pasalnya, tingkat kepercayaan publik negara Paman Sam pada pebisnis tersebut terus menurun.

Belum lagi, isu partisan turut memengaruhi diskursus soal pandemi Covid-19. Masker, misalnya, dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh sebagian besar pendukung Trump.

Meski begitu, masker dan alat pelindung diri lainnya tetap menjadi kunci utama bagi Trump untuk memenangkan Pemilu tersebut. Setidaknya, asumsi inilah yang dijelaskan oleh Marc A. Thiessen dalam tulisan opininya di Washington Post.

Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa Trump mulai mempromosikan penggunaan masker melalui alat kampanye barunya yang berbentuk masker. Masker tersebut pun berisikan simbol dan narasi ala Trump, seperti “Make America Great Again”.

Bahkan, Trump yang sebelumnya tidak mau mengenakan masker kini mulai mengirimkan surel ke para pendukungnya akan pentingnya penggunaan masker. Thiessen pun menjelaskan bahwa masker ala Trump ini bukan tidak mungkin menjadi kunci baginya untuk memenangkan Pemilu AS 2020.

Bila berkaca pada apa yang dilakukan oleh Trump, bukan tidak mungkin masker dapat menjadi alat kampanye yang menentukan keterpilihan kandidat dalam Pemilu.

Namun, meski begitu, kandidat yang ada di Pilkada 2020 tentulah tidak hanya berasal dari golongan tertentu. Lantas, apakah ada alasan lain di balik diizinkannya penggunaan masker sebagai alat kampanye ini?

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Siasat Ekonomi?

Meski penggunaan masker sebagai alat kampanye merupakan hal yang penting bagi para politisi, kebijakan ini secara tidak langsung juga membantu pemerintahan Jokowi. Pasalnya, alat kampanye juga memiliki kontribusi yang besar bagi perekonomian.

Dilibatkannya masker sebagai salah satu komponen kampanye politik bukan tidak mungkin dapat membantu kebutuhan pemerintahan Jokowi. Bisa jadi, penggunaan masker dalam kampanye-kampanye Pilkada 2020 dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.

Setidaknya, narasi penggunaan masker dapat sekaligus menjadi bagian dari penyaluran informasi terkait pandemi Covid-19. Seperti yang dijelaskan oleh Richard Nadeau, Neil Nevitte, Elisabeth Gedingel, dan André Blais dalam tulisan mereka yang berjudul Election Campaigns as Information Campaigns, kampanye elektoral juga dapat menjadi cara untuk memberikan informasi pada para pemilih.

Informasi yang disalurkan bisa berupa informasi terkait pemimpin-pemimpin mereka, isu-isu yang ada, dan posisi mereka dalam isu-isu tersebut. Bisa jadi, pandemi Covid-19 akan banyak mengisi narasi isu yang ada di Pilkada 2020 – mengingat besarnya dampak sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi ini.

Bisa jadi, melalui penggunaan masker sebagai alat kampanye, penyaluran informasi pun turut terjadi. Pasalnya, pemerintahan Jokowi sendiri mengalami kesulitan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait penggunaan masker itu sendiri.

Namun, di sisi lain, diizinkannya masker sebagai alat kampanye ini juga dapat menjadi salah satu cara untuk meminimalisir dampak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun mengatakan bahwa Indonesia sudah hampir pasti akan masuk ke dalam resesi ekonomi.

Asumsi keuntungan ekonomi ini bisa didasarkan pada bagaimana kontribusi besar dihasilkan dari kegiatan belanja yang dilakukan oleh aktor-aktor politik pada masa Pemilu. Pada Pilpres 2019 lalu, misalnya, belanja kampanye – seperti produksi kaus dan atribut kampanye – memberikan dorongan ekonomi yang bersifat sementara.

Tidak hanya di Indonesia, dampak Pemilu pada ekonomi ini juga terjadi di negara-negara lain. Filipina, misalnya, juga mendapatkan efek pertumbuhan ekonomi dari perhelatan Pemilu.

Asumsi ini dijelaskan oleh Carmina Angelica V. Olano dalam tulisan analisisnya yang berjudul How Much Economic Boost Does Election Spending Deliver?. Bahkan, kampanye Pemilu dinilai dapat menciptakan pekerjaan baru di sejumlah industri yang berujung pada peningkatan konsumsi.

Berkaca pada penjelasan Olano ini, bukan tidak mungkin kontribusi ekonomi yang serupa juga bisa terjadi di Pilkada 2020. Setidaknya, produksi masker dapat memberikan dorongan ekonomi pada industri tertentu – seperti bisnis konveksi.

Apalagi, masker sendiri kini wajib digunakan oleh setiap orang. Bukan tidak mungkin, diizinkannya masker dapat membantu pencegahan penularan Covid-19.

Meski begitu, kemungkinan akan keuntungan dijadikannya masker sebagai alat kampanye Pilkada 2020 ini belum tentu akan terjadi – mengingat pandemi sendiri dapat membatasi kegiatan kampanye yang menciptakan kerumunan. Mari kita nantikan saja bagaimana dampak lanjutan dari masker sebagai alat kampanye ini. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Puan Maharani ‘Reborn’?

Puan Maharani dinilai tetap mampu pertahankan posisinya sebagai ketua DPR meski sempat bergulir wacana revisi UU MD3. Inikah Puan 'reborn'?