HomeNalar PolitikAkhir Dahlan di Jawa Pos

Akhir Dahlan di Jawa Pos

Gejolak sedang terjadi di kerajaan media Jawa Pos. Muncul desas-desus bahwa kekuasaan Dahlan Iskan di grup media yang dibesarkannya ini akan berakhir, apalagi pasca keinginannya melepas kepemilikan saham dan “kegagalan regenerasi” di grup media terbesar di Indonesia itu.


PinterPolitik.com

“From the beginning on, newspapers have prospered for one reason: giving readers the news that they want.”

– Rupert Murdoch, media mogul pemilik News Corp. –

[dropcap]T[/dropcap]ak ada yang meragukan bahwa Dahlan Iskan adalah salah satu media mogul – sebutan untuk taipan media – yang paling berpengaruh di Indonesia. Bersama dengan Jakob Oetama dari Kompas Gramedia, Dahlan Iskan dengan Jawa Pos adalah “rival” dalam artian yang sesungguhnya. Keduanya sama-sama punya latar belakang wartawan, namun juga sekaligus punya insting bisnis yang mumpuni.

Namun, seiring usia, dua tokoh ini sepertinya ikut termakan perubahan zaman. Setelah Kompas Gramedia mengalami “shifting paradigm”, kini hal serupa juga disebut-sebut sedang dialami oleh Jawa Pos dan Dahlan Iskan. (Baca: Shifting Paradigm of Kompas Gramedia?) Maka benarlah kata-kata Heraclitus: tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan.

Sejak pertengahan November 2017 lalu, berhembus kabar bahwa Dahlan sedang berencana untuk melego kepemilikan sahamnya di grup Jawa Pos kepada para pemilik saham lain. Sontak pemberitaan yang dimuat di portal berita Warta Ekonomi ini mengundang perhatian banyak pihak, terutama para pegiat media.

Kabar yang berhembus menyebutkan saham Dahlan akan dilego ke taipan bisnis Ciputra yang juga menjadi salah satu pemilik saham mayoritas di grup Jawa Pos – walaupun grup Ciputra kemudian membantah hal tersebut.

Sehari setelah berita tersebut dimuat, Dahlan dikabarkan memang membatalkan niatnya itu. Namun, para pegiat media dan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan Dahlan telah melihat indikasi kemungkinan perubahan signifikan yang akan terjadi pada Jawa Pos pasca kejadian tersebut.

Fakta bahwa perkembangan teknologi informasi menggerus posisi koran memang menjadi pukulan untuk para taipan media, utamanya yang usahanya besar dari koran. Tanpa pembacaan kondisi bisnis yang baik, sulit untuk melihat perusahaan media bisa bertahan dalam tahun-tahun ke depan.

Bagi Dahlan, sejak pemberitaan tersebut mencuat ke permukaan, muncul berbagai spekulasi terkait masa depan mantan Menteri BUMN ini di grup bisnis media yang dibesarkan olehnya itu.

Selain karena berbagai kasus terkait dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya, beberapa pihak menyebut persoalan juga terjadi di internal Jawa Pos sebagai akibat dari “kegagalan” Dahlan meregenerasi pucuk pimpinan bisnis yang mengantarnya masuk daftar 150 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2013 versi Majalah Globe Asia.

Lalu, apakah ini akhir dari perjalanan Dahlan Iskan di Jawa Pos?

Dahlan Iskan adalah Jawa Pos

Bukan tanpa alasan banyak pihak mengidentikkan Jawa Pos dengan Dahlan Iskan. Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos.

Setelah Jawa Pos diakuisisi oleh PT Grafiti Pers yang merupakan penerbit majalah Tempo pada tahun 1982, Eric Samola selaku presiden direktur perusahaan tersebut, menunjuk Dahlan Iskan untuk memimpin Jawa Pos. Dahlan yang saat itu menjabat sebagai kepala biro Tempo Surabaya dipercayakan untuk memegang tampuk kepemimpinan di puncak Jawa Pos.

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Akhir Dahlan di Jawa Pos

Dahlan-lah menjadi tokoh utama yang mengubah Jawa Pos dari koran yang beroplah hanya 6.000 eksemplar per hari menjadi 300.000 eksemplar per hari hanya dalam 5 tahun. Cita-cita membesarkan Jawa Pos juga yang akhirnya melahirkan Jawa Pos News Network (JPNN) yang menjadi salah satu jaringan koran terbesar di Indonesia.

Insting bisnis Dahlan membuat Jawa Pos berkembang dari hanya entitas koran, menjadi kerajaan media dengan 174 koran dan majalah, 43 stasiun TV dan radio, 28 percetakan, 1 pabrik kertas dan 2 pembangkit listrik independen. Jika grup Kompas dianggap sebagai penguasa di wilayah barat, maka Jawa Pos menjadi penguasa di wilayah timur dengan Surabaya sebagai pusatnya.

Berkembangnya Jawa Pos juga ikut berdampak pada Dahlan secara pribadi. Pria kelahiran Magetan, Jawa Timur ini diperkirakan mempunyai kekayaan sekitar US$ 370 juta pada tahun 2013. Ia juga menyebut dirinya sangat mungkin menembus daftar 30 besar orang terkaya di Indonesia andai tidak pensiun dari Jawa Pos.

Namun, nasib Dahlan dan Jawa Pos mulai berubah setelah pria yang lahir pada 17 Agustus 1951 atau saat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan ke-6  itu mempercayakan grup bisnis tersebut ke anaknya, Azrul Ananda. Dahlan sibuk di luar perusahaan, apalagi pasca diangkat menjadi Direktur Utama PLN pada tahun 2009, menyusul jabatan menteri BUMN pada 2011.

Azrul atau yang dikenal dengan nama kecil Ulik menjadi “putera mahkota” kerajaan bisnis Jawa Pos. Ia adalah lulusan perguruan tinggi luar negeri. Namun, ijazah International Marketing dari Universitas California Amerika Serikat nyatanya dianggap belum mampu menyejajarkan insting bisnisnya dengan sang ayah.

Beberapa sumber juga menyebut posisi Azrul di Jawa Pos juga melahirkan konflik internal yang melibatkan baik petinggi di perusahaan koran Jawa Pos, petinggi di grup bisnis, hingga di lingkaran para pemegang sahamnya.

Keinginan Ulik untuk melebarkan bisnis dengan memiliki klub sepakbola (Persebaya), membuat kompetisi bola basket bertajuk Development Basketball League (DBL), dan berbagai ide lain faktanya tidak berdampak banyak secara bisnis bagi Jawa Pos.

Bahkan beberapa pihak – misalnya dalam tulisan di portal Nusantara.news – menyebut gaya kepemimpin Ulik terkesan “seenaknya”. Ia juga disebut memiliki hubungan yang kurang baik dengan tokoh-tokoh senior dan jajaran redaksi Jawa Pos sendiri. Akibatnya, lingkungan internal Jawa Pos sendiri menjadi tidak kondusif.

Dampaknya, secara bisnis Jawa Pos terus mengalami penurunan. Pada tahun 2013 pendapatan koran Jawa Pos masih mantap di angka Rp 686,56 miliar. Namun, mulai tahun 2014 pendapatan Jawa Pos menurun tipis ke angka Rp 653,57 miliar. Pada 2015 dan 2016, angka tersebut terus menurun hingga Rp520,40 miliar. Penurunan paling tajam terjadi pada tahun 2017. Hingga Oktober 2017, pendapatan Jawa Pos baru berkisar Rp 345,57 miliar.

Turunnya pendapatan, otomatis mempengaruhi laba perusahaan. Pada 2013, koran JP tercatat meraup laba bersih Rp257,52 miliar. Selang tiga tahun berikutnya, jumlah laba hanya mencapai Rp 148,81 miliar. Laba ini juga merosot lagi pada 2017 karena hingga Oktober 2017, laba bersih Jawa Pos diperkirakan baru sekitar Rp 65 miliar.

Baca juga :  Jokowi Makin Tak Terbendung?

Performa bisnis yang terus menurun inilah yang dipercaya menjadi salah satu alasan mengapa Dahlan Iskan disebut-sebut ingin melego kepemilikan sahamnya. Selain grup Ciputra, saham Jawa Pos juga masih dimiliki oleh keluarga Samola, serta beberapa pihak lain termasuk pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad.

Akhir Dahlan di Jawa Pos
Komposisi kepemilikan saham Jawa Pos. (Sumber: Nusantara.news)

Banyak pihak yang menganggap apa yang terjadi di Jawa Pos adalah akibat dari “kegagalan regenerasi”. Pasca didera kasus hukum terkait dugaan korupsi dan mengalami gangguan kesehatan, posisi Dahlan di Jawa Pos memang terus menurun, seiring performa perusahaan yang juga disebut terus memburuk secara keseluruhan.

Tampuk kekuasaan yang ada di pundak sang anak nyatanya tidak mampu mendatangkan hal positif untuk perusahaan tersebut, apalagi dalam beberapa kesempatan Dahlan seolah terlihat “putus hubungan” dengan perusahaan yang dibesarkannya itu, terutama pasca sibuk dengan urusan menteri atau ketika mencalonkan diri menjadi presiden melalui konvensi di beberapa partai politik.

Lalu, apakah ini menjadi epilog dari kekuasaan pria penyuka olahraga senam itu di Jawa Pos?

Akhir Kejayaan The Media Mogul?

Kondisi yang menimpa Jawa Pos dan Kompas Gramedia adalah akibat dari perubahan yang signifikan dalam teknologi informasi dan komunikasi. Koran sebagai media informasi lama nyatanya mulai tergantikan oleh kehadiran media daring yang makin menjamur dan tidak terkendali pertumbuhannya.

Tidak heran, ketika wartawan Kompas, Bre Redana membuat tulisan berjudul Inikah Senjakala Kami? yang berisi curahan hati wartawan media cetak atas kondisi meruginya bisnis koran, perdebatan muncul terkait apakah koran benar-benar akan berakhir.

Nyatanya, sejak tahun 2009, penurunan bisnis koran telah terjadi dan dirasakan di beberapa negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat, seiring penurunan pendapatan dari sektor iklan. Tapi, apakah benar demikian?

Sesungguhnya hal sebaliknyalah yang terjadi. Bisnis koran masih bisa hidup. Pemilik Amazon yang saat ini menjadi orang terkaya di dunia, Jeff Bezos bukanlah pengusaha “ecek-ecek” yang sebegitu gilanya menghabiskan US$ 250 juta ketika ia membeli The Washington Post pada 2013 lalu.

Ia tentu melihat koran masih bisa hidup di era yang semakin maju ini. Artinya, prospek bisnis media cetak masih bisa bertahan di tengah digitalisasi informasi dan komunikasi, tergantung bagaimana ia dikelola oleh pemiliknya.

Dengan demikian, apa yang terjadi pada Jawa Pos boleh jadi bukan karena kemunduran bisnis koran yang tersaingi oleh media daring, tetapi pada bagaimana bisnis tersebut menyesuaikan diri pada perkembangan zaman. Jika demikian, maka faktor regenerasi memang menjadi masalah utama yang menimpa Dahlan Iskan dan Jawa Pos.

Pada akhirnya, publik masih akan mengamati apakah Dahlan dan Jakob Oetama sebagai dua media mogul utama Indonesia yang berlatar belakang wartawan akan benar-benar berakhir kekuasaannya? Apakah mereka akan digantikan oleh pengusaha-pengusaha lain yang memandang koran sebagai entitas bisnis tunggal – terpisah dari cita-cita jurnalismenya?

Yang jelas, seperti kata Rupert Murdoch di awal tulisan ini: kesuksesan koran sedari awalnya adalah ketika ia menyediakan berita yang menjadi kebutuhan para pembacanya. Selama itu bisa dipenuhi, baik Jawa Pos maupun Kompas Gramedia masih akan tetap menjadi “kaki-kaki” jurnalisme di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

TikTok menjadi salah satu media kampanye paling populer bagi pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.