HomeNalarAgnez Mo dan Identitas Keindonesiaan

Agnez Mo dan Identitas Keindonesiaan

Beberapa waktu lalu, penyanyi Agnez Mo yang kini telah berkarier di Amerika Serikat diundang dalam sebuah wawancara BUILD Series. Ceritanya mengenai identitas dirinya yang berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan menjadi perbincangan publik di Indonesia.


PinterPolitik.com

“Try and talk and they ain’t listenin’ but they’ll point it out when you get ignorant” – Dreezy, penyanyi perempuan asal Amerika Serikat

Siapa yang tidak kenal dengan Agnez Mo? Penyanyi dan aktris yang sebelumnya dikenal sebagai Agnes Monica ini telah memulai kariernya sebagai figur publik di Indonesia semenjak masih kecil.

Siapa sangka? Agnes kecil yang pada tahun 1990-an dikenal identik dengan acara televisi Tralala Trilili kini telah bernyanyi dan berkarya bersama musisi-musisi Amerika Serikat (AS), seperti Timbaland, Chris Brown, dan French Montana.

Kiprah Agnez Mo di AS ini mungkin merupakan hasil perwujudan ambisinya untuk go international yang pernah digaungkannya sekitar tahun 2000-an. Namun, kiprah internasionalnya ini kini tampaknya tengah menuai kontroversi.

Dalam wawancara yang dilakukan dalam BUILD Series milik Yahoo!, pernyataan Agnez Mo menjadi buah bibir bagi warganet – dan politisi – di Indonesia. Pasalnya, selain membahas mengenai single barunya yang berjudul “Diamonds” bersama French Montana, Agnez Mo dan Kevan Kenney juga membahas mengenai perjalanan hidupnya sebagai musisi yang berasal dari Indonesia.

Ketika ditanyai oleh Kenney mengenai identitas dirinya, Agnez Mo menyebutkan bahwa dirinya kerap merasa berbeda dengan kebanyakan warga Indonesia. Pelantun lagu “Coke Bottle” ini menceritakan latar belakangnya yang tidak berdarah asli Indonesia, melainkan merupakan campuran keturunan Jerman, Jepang, dan Tionghoa.

Pernyataan itu sontak dipermasalahkan oleh sebagian warganet dan politisi. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, menyamakan Agnez Mo seperti Malin Kundang yang durhaka karena dianggapnya mengedisasosiasikan dirinya dengan Indonesia.

- Advertisement -

Banyak pihak menilai bahwa Agnez Mo yang kini tengah sukses di luar negeri ini lupa daratan terhadap tempat kelahirannya. Mereka pun menuntut permintaan maaf dari penyanyi tersebut atas ucapannya.

Terlepas dari benar atau tidaknya interpretasi makna pernyataan itu, apa yang sebenarnya mendasari pernyataan Agnez Mo? Apa yang tercermin dari pernyataan itu?

Kebanggaan Nasional

Pernyataan yang diungkapkan oleh Agnez Mo dalam wawancara dengan BUILD Series sebenarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana identitas sosial yang dimilikinya berbeda dengan sebagian besar masyarakat Indonesia. Terlepas benar atau tidak Agnez Mo memiliki kebanggan akan Indonesia, persoalan identitas ini bisa saja memengaruhi keterikatan diri terhadap identitas nasional.

Andreas Wimmer dari Columbia University dalam tulisannya yang berjudul Power and Pride menjelaskan bahwa diskriminasi yang didasarkan pada identitas – khususnya latar belakang etnis – dapat memengaruhi bangga atau tidaknya seseorang terhadap negaranya. Banyak studi juga mengungkapkan bahwa kelompok minoritas cenderung kurang mengidentifikasikan dirinya dengan identitas nasional.

Wimmer menekankan bahwa kecenderungan ini disebabkan oleh kesenjangan status politik yang terjadi antar-kelompok. Dengan melihat kelompok mana yang menguasai pusat kekuatan politik nasional, Wimmer menyebutkan adanya tendensi distribusi public goods yang menguntungkan kelompok dominan.

Baca juga :  Anies, "Tiran" Kelompok Minoritas Indonesia?

Kelompok dominan akan mendapatkan public goods yang lebih banyak dari pejabat-pejabat politik yang berasal dari kelompok yang sama. Bahkan, adanya kekuasaan di tangan kelompok dominan dianggap Wimmer dapat menumbuhkan rasa kepemilikan atas negara.

Oleh sebab itu, kelompok dominan akan lebih merasa bangga terhadap negaranya. Beberapa kelompok semacam ini yang dicontohkan dalam tulisan tersebut adalah kelompok Uzbek di Uzbekistan dan kelompok Kreol di Trinidad dan Tobago.

Di sisi lain, kelompok minoritas akan semakin merasa tidak terwakili dan tidak bangga dengan negaranya. Hal ini terlihat pada kelompok Muslim di Serbia, kelompok Rusia di Latvia, dan kelompok Albania di Makedonia.

- Advertisement -

Selain kelompok-kelompok tersebut, salah satu perdebatan mengenai perasaan nasionalisme dan patriotisme yang sempat populer di media internasional adalah aktivisme para pemain National Football League (NFL) yang berlutut ketika lagu kebangsaan AS “The Star-Spangled Banner” diperdengarkan.

Colin Kaepernick – atlet NFL yang memulai gerakan berlutut – menjelaskan bahwa dirinya tak ingin merasa bangga atas negaranya yang dianggapnya menindas kelompok Afrika-Amerika dan kelompok minoritas lainnya. Aksi Kaepernick menuai tanggapan negatif dari kelompok konservatif, termasuk Presiden AS Donald Trump.

Fenomena Kaepernick di AS ini boleh jadi merupakan cerminan dari penjelasan Wimmer mengenai korelasi diskriminasi terhadap perasaan bangga terhadap negara. Semakin rendah status politik kelompok negara tersebut – dan adanya disparitas distribusi public goods antar-kelompok, semakin sedikit rasa bangga seseorang dari kelompok tersebut terhadap negaranya.

Lantas, bagaimana dengan kelompok minoritas di Indonesia? Apa kaitannya dengan pernyataan Agnez Mo?

Diskriminasi di Indonesia

Pernyataan Agnez Mo sebenarnya turut mencerminkan adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, diskriminasi seperti ini juga dirasakan oleh beberapa individu minoritas yang pernah membawa nama harum Indonesia ke panggung dunia.

Susi Susanti dan Alan Budikusuma misalnya, merupakan pemain-pemain bulutangkis yang berhasil memenangkan beberapa pertandingan di laga internasional, seperti dengan meraih medali emas dalam Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol. Sosok-sosok ini bahkan hingga kini masih diingat sebagai simbol keunggulan Indonesia di bidang olahraga bulutangkis.

Namun, identitasnya sebagai kelompok minoritas tampaknya sempat menghambat hak keduanya untuk menikah. Sebelum menikah, Susi dan Alan dipersulit dengan persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Selain Susi dan Alan, terdapat juga Tong Sin Fu (atau Tang Xianhu) – mantan pelatih nasional Perserikatan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bagi Alan – merupakan mantan atlet Tiongkok kelahiran Indonesia yang akhirnya permohonannya atas status kewarganegaraan Indonesia ditolak pada 1998. Tong akhirnya kembali ke Tiongkok dan melatih pemain-pemain top dunia asal Tiongkok, seperti Lin Dan.

Terdapat juga pemain bulutangkis lain yang mengalami persoalan hampir sama dengan Tong, yakni Hendrawan. Atlet yang pernah meraih Juara Dunia pada tahun 2001 mengalami kesulitan dalam pengurusan status kewarganegaraannya. Akibatnya, presiden harus turun tangan agar status itu dapat diberikan.

Apa yang dialami oleh pemain-pemain bulutangkis berdarah Tionghoa ini sejalan dengan penjelasan Chang Yau Hoon dari Singapore Management University (SMU) dalam tulisannya yang berjudul Assimilation, Multiculturalism, and Hybridity. Hoon menjelaskan bahwa terdapat konsepsi kewarganegaraan yang berbeda terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia.

Adanya pembedaan antara warga negara Indonesia (WNI) asli dan WNI asing melambangkan alien-ness kelompok minoritas Tionghoa. Click To Tweet

Terdapat pembedaan antara warga negara Indonesia (WNI) asli dan WNI asing. Menurut Hoon, adanya istilah “WNI asing” ini melambangkan alien-ness kelompok minoritas Tionghoa. Bukan tidak mungkin persoalan inilah yang dialami individu-individu minoritas seperti Susi, Alan, Tong, Hendrawan, hingga Agnez Mo.

Kasus-kasus diskriminatif yang terjadi pada sosok-sosok berprestasi di bulutangkis Indonesia ini setidaknya menggambarkan bahwa persoalan identitas yang dialami Agnez Mo – dan kelompok minoritas Indonesia lainnya – bukanlah isapan jempol.

Adanya pembedaan yang berdampak pada perlakuan diskriminatif dari negara ini sejalan dengan penjelasan Wimmer. Dengan adanya diskriminasi ini – seperti permohonan status kewarganegaraan yang dipersulit, bukan tidak mungkin individu-individu minoritas semakin merasa tidak bangga dengan negaranya.

Apalagi, citra Indonesia yang sempat memburuk akibat Tragedi Mei 1998 turut berdampak pada individu-individu Tionghoa yang berpergian ke negara-negara yang beretnis sama. Salah satu sumber PinterPolitik.com menjelaskan bahwa sebuah insiden pernah terjadi padanya ketika dirinya berpergian ke Hong Kong pada tahun 1998.

Hal ini dialaminya ketika menaiki taksi. Pada awalnya, supir taksi mengira dirinya berasal dari Singapura. Namun, setelah mengobrol lama dan ketika supir taksi tersebut mengetahui bahwa penumpangnya berasal dari Indonesia, kendaraan langsung diberhentikan dan penumpang dipaksa turun di tengah-tengah jalan tol Hong Kong.

Emosi anti-Indonesia ini di luar negeri ini bisa saja makin berdampak pada rasa keterikatan kelompok-kelompok minoritas terhadap Indonesia. Bagaimana tidak? Identitasnya sebagai orang Indonesia turut menjadi tantangan bagi mereka, seperti individu-individu minoritas yang harus melarikan diri ke luar negeri pada tahun 1998.

Persoalan inilah yang harus menjadi fokus masyarakat dan negara. Diskriminasi yang menghantui kelompok minoritas di Indonesia perlu diberhentikan bila ingin rasa bangga ini juga membara di hati saudara-saudara minoritas lainnya.

Jangan sampai ada kecenderungan melakukan diskriminasi tetapi menyalahkan individu minoritas yang sukses apabila rasa keterikatannya pada Indonesia menjadi berkurang.

Mungkin, lirik rapper Dreezy di awal tulisan dapat menggambarkan situasi yang dialami kelompok minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas tidak didengar ketika ingin berbicara tetapi dibesar-besarkan ketika melakukan sedikit kesalahan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

BLACKPINK dan Sisi Kelam Budaya FOMO

Konser BLACKPINK yang diselenggarakan tanggal 11 dan 12 Maret silam memunculkan diskursus tentang budaya Fear of Missing Out (FOMO). Mungkinkah kita terlepas dari budaya konsumtif tersebut?

Siapa Parpol Baru “Gerombolan Teroris”?

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar, menyebut ada partai politik (parpol) yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Ia juga mengungkapkan akan ada upaya infiltrasi teroris ke pergelaran Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Bagaimana kacamata politik memahami komunikasi publik ala Boy ini?

Pemerintah Bohong Soal Inflasi?

Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator untuk mengukur tingkat inflasi. Namun, bagaimana jika IHK bukan indikator untuk kepentingan itu? PinterPolitik.com “If you want to know about...

Tragedi Plumpang, Populisme, dan “Politik Nyawa”?

Tragedi kebakaran Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara yang terjadi pada tanggal 3 Maret 2023 kemarin menyisakan duka bagi para korban. Mengacu pada diskursus...

Salah Diagnosis, Inflasi Seharusnya Lebih Besar?

Setiap bulannya kita mendapat rilis data inflasi dari pemerintah. Namun, pernahkah kita bertanya, “darimana data inflasi itu muncul?” Kita tidak pernah mempertanyakan data itu...

Prabowo, Jalan Tengah Istana dan Teuku Umar?

Belakangan ini Prabowo Subianto terlihat semakin dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mungkin Prabowo adalah capres yang direstui oleh Jokowi dan Megawati Soekarnoputri? PinterPolitik.com Bagi yang...

Mengapa Kelakuan Oknum Bule Seenaknya?

Ketidakpatuhan hukum sejumlah oknum bule atau turis asing di Bali yang diikuti respons pemerintah dan pihak terkait setelahnya berdampak luas. Bahkan, hingga memantik respons minor duta...

Salah Kaprah Sebut Erdoğan Islamis?

Sosok Recep Tayyip Erdoğan kerap digadang-gadang jadi sosok pemimpin Islam. Namun, benarkah Presiden Turki Erdoğan ialah pemimpin Islamis?

More Stories

Tiongkok Ikutan “Curi” Indomie?

Sebuah video soal mi instan yang diduga asal Tiongkok viral. Pasalnya, kemasan produk itu benar-benar mirip dengan kemasan Indomie.

Erick Thohir Ingin Kuchiyose No Jutsu?

Ketum PSSI Erick Thohir menyentuh tanah Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Apakah Erick Thohir ingin kuchiyose no jutsu?

Puan Maharani ‘FOMO’ Konser?

Di saat ramai digelarnya konser-konser, Puan Maharani ikutan nonton konser. Apakah Puan ternyata merasa 'FOMO' karena jarang nonton konser?