HomeNalar PolitikAda Peluang Politik Blackpink vs Persija?

Ada Peluang Politik Blackpink vs Persija?

Perang komentar antara pendukung Persija Jakarta, The Jakmania dan penggemar girl band Blackpink asal Korea, Blink di media sosial terkait pemakaian Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menggambarkan level fanatisme masyarakat Indonesia terhadap sesuatu yang diidolakan begitu tinggi. Jika dilihat lebih dalam, fenomena fanatisme semacam ini tampaknya akan menjadi peluang bagi para aktor politik, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Penggunaan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) belum lama ini menjadi polemik di media sosial (medsos). Hal tersebut terkait ditundanya pertandingan Liga 1 antara Persija Jakarta vs Persib Bandung karena stadion sudah terlebih dahulu dipesan untuk konser girlband asal Korea, Blackpink. 

Pendukung Persija, The Jakmania, beranggapan stadion haruslah dipergunakan untuk kegiatan sepak bola sebagai prioritas. Sementara, penggemar girlband Blackpink merasa stadion sudah dipesan lebih dahulu untuk konser, jauh sebelum pihak Persija Jakarta mengajukan untuk menggelar pertandingan. 

Menurut pengelola SUGBK, Blackpink telah mengajukan penggunaan stadion sejak Mei 2022 untuk tanggal 2 Maret sampai 14 Maret 2023. Sedangkan, pihak Persija baru mengajukan sekitar bulan Februari 2023. 

Lebih lanjut, pihak pengelola mengatakan SUGBK terbuka untuk umum dan berbagai kegiatan, bukan hanya kegiatan olahraga atau sepak bola. Sistem pemesanan siapa cepat, dia dapat pun diberlakukan bagi siapa pun yang ingin menggunakan SUGBK. 

Adu argumen di medsos pun tak terhindarkan dari dua penggemar yang memang terkenal akan fanatismenya tersebut. 

Penggemar sepak bola terlihat lebih dulu menyerang kolom komentar media sosial resmi Blackpink, yang kemudian juga dibalas oleh penggemar Blackpink yang menyerang kolom komentar media sosial resmi Persija Jakarta. 

infografis the jak vs blink

Berkaca dari kasus tersebut, terlihat fanatisme terhadap sepak bola dan Korean Pop atau K-Pop di Indonesia sangat tinggi. Para penggemar itu akan membela jika ada hal menyinggung apa yang mereka idolakan. 

Sepak bola dan K-Pop dikenal memang memiliki banyak penggemar di Indonesia dengan fanatisme yang tinggi. 

Fanatisme penggemar keduanya bahkan bisa dikatakan sudah diakui oleh dunia atas “kegilaannya” terhadap apa yang di idolakan. Fenomena fanatisme yang terjadi di Indonesia seperti ini pun jarang ditemui di dunia. 

Dengan banyaknya penggemar dan fanatisme yang tinggi, tak jarang fenomena fanatisme yang terjadi di sepak bola dan K-Pop turut dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk mencari simpati politik dari para penggemarnya. 

Para aktor politik tersebut tampaknya melihat ada peluang mendapatkan dukungan politik jika berhasil menarik simpati dan fanatisme penggemar sepak bola maupun K-Pop yang terkenal militan. 

Melihat hal tersebut, mengapa fenomena fanatisme itu kerap dimanfaatkan oleh para aktor politik? Dan benarkah demikian? 

Fanatisme Buta Adalah “Senjata”? 

Fenomena fanatisme terhadap sesuatu bukanlah hal yang buruk jika dilakukan sesuai dengan porsinya. Hal ini yang harus diwaspadai dan mendapatkan perhatian khusus adalah ketika fanatisme memberikan dampak negatif. 

Baca juga :  Siasat Rahasia NasDem Soal Hak Angket? 

Sadie Wolfe dalam tulisan berjudul The Rise of Fanaticism and The Impact on Society menjelaskan fanatisme bisa mengarah ke dampak negatif dan merusak. Penyebabnya, fanatisme buta dapat menjustifikasi pemahaman mereka untuk mencapai suatu kepentingan. 

gaji pemimpin tertinggi di dunia

Berkaca pada penjelasan Wolfe, dalam kasus antara The Jakmania vs Blink terlihat kedua penggemar seolah-olah sudah mengarah pada fanatisme “buta” terhadap apa yang mereka idolakan. Sehingga, tak menutup kemungkinan akan berdampak negatif dalam beragam hal. 

Mereka juga seakan saling menjustifikasi bahwa idola mereka adalah yang paling benar dan pantas dalam menggunakan SUGBK. Padahal, jika melihat penjelasan pengelola SUGBK pada bagian sebelumnya bahwa tidak ada yang pantas dan tidak pantas menggunakan SUGBK, tapi siapa cepat, dia yang dapat. 

Saling serang di kolom komentar media sosial (medsos) dengan kata-kata yang kurang pantas justru akan membuat citra negatif terhadap fanatisme di Indonesia. 

Kalmer Marimaa menjelaskan dalam tulisan yang berjudul The Many Faces of Fanaticism, bahwa secara umum fenomena fanatisme bisa mengarah ke arah positif, netral, hingga destruktif. 

Hal itu dikarenakan fanatisme adalah sebuah fenomena yang sudah tidak asing dengan kegiatan manusia. 

Imbas dari fanatisme kemudian terciptalah sebuah labelling yang berbeda dengan orang lain. Misalnya, seseorang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan namun di mata para pendukungnya, sosok tersebut dianggap sebagai pahlawan. 

Berkaca dari tensi The Jakmania dan Blink, seharusnya fenomena fanatisme yang tinggi tersebut bisa menjadi modal positif. 

Dalam hal sepak bola, misalnya, dengan fanatisme yang tinggi bisa menjadi daya tarik tim-tim atau pemain-pemain top luar negeri untuk bermain sepak bola di Indonesia. 

Sementara dalam konteks K-Pop, fanatisme penggemarnya akan membuat girlband atau boyband asal “negeri gingseng” tersebut akan sering membuat pertunjukan dan menyapa penggemar di Indonesia. 

Fenomena fanatisme The Jakmania dan Blink menunjukkan fanatisme yang membabi buta bisa berakhir pada “kehancuran”, khususnya perpecahan. 

Namun, bukan berarti fanatisme tidak dapat menjadi hal yang positif. Tetapi, kemana fenomena fanatisme itu akan mengarah semua tergantung dari individu dan kelompok penggemar itu sendiri. 

Berkaca pada dampak dan fenomena The Jakmania dan Blink, tak berlebihan kiranya fanatisme itu dapat dimanfaatkan pihak ketiga untuk mengambil keuntungan, dalam hal ini para aktor politik terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). 

Lalu, apakah fanatisme itu benar-benar bisa dimanfaatkan atau dikonversi menjadi keuntungan para aktor politik pada 2024? 

anies dapat kartu kuning 1

Demi Sebuah Gimik? 

Karena secara hakikat memiliki massa, fenomena fanatisme kiranya dapat dipastikan berpeluang dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk membuat diri mereka menarik di mata masyarakat. 

Seperti yang dijelaskan oleh Erving Goffmann dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, terdapat sebuah penekanan terhadap istilah impression management yang secara garis besar menjelaskan tentang suatu pembentukan persepsi yang dilakukan oleh seseorang dengan strategi yang cenderung lebih halus, sehingga objek yang didekati merasa nyaman. 

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Aktor politik akan menggunakan cara tersebut untuk mengeksploitasi sesuatu yang mempunyai basis penggemar fanatik, dalam hal ini sepak bola dan K-Pop untuk kepentingan tertentu. 

Mereka akan menunjukkan seolah mengenal dan menggemari sepak bola dan K-Pop, hal ini diharapkan menjadi strategi untuk menarik perhatian para penggemar tersebut. 

Cara ini pernah dilakukan oleh beberapa aktor politik, seperti saat dua mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Anies Baswedan mendekati dan seolah menaruh perhatian terhadap Persija Jakarta dengan tujuan untuk mendapatkan simpati dari The Jakmania pada Pilkada DKI Jakarta. 

Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Ridwan Kamil saat ikut menaruh perhatian dengan menonton atau bahkan merayakan saat Persib Bandung juara Piala Presiden 2015 lalu. Dengan cara ini para aktor politik tersebut akan mendapat perhatian lebih dari para penggemar. 

Menurut tulisan yang berjudul Sepak Bola Sebagai Bentuk Komunikasi Politik Indonesia karya Kiki Esa Perdana, hal ini akan menimbulkan asumsi politik yang kurang lebih menyebutkan bahwa siapa pun aktor politik yang mampu dekat dengan satu tim sepakbola, maka sikap dari aktor politik tersebut akan dinilai positif oleh khalayak. 

Hal tersebut karena aktor politik yang bersangkutan merupakan mendukung tim yang sama dengan yang masyarakat dukung dan masyarakat merasakan memiliki kedekatan emosional dengan aktor politik itu. Aktor politik tersebut juga akan banyak membantu pada tim sepakbola tersebut dalam segala urusannya dengan regulasi yang berhubungan dengan pemerintahan. 

Dalam konteks K-Pop, berbagai aktor politik juga menunjukkan cara yang sama agar mendapat perhatian dari para penggemar K-Pop tersebut. Seperti, Ridwan Kamil, Erick Thohir, Ganjar Pranowo. Terbaru, Partai Gerindra seolah memainkan impression management itu saat memberikan giveaway tiket konser Blackpink di Twitter. 

Sayangnya, “niat baik” admin Twitter Partai Gerindra itu mendapatkan pro-kontra. Mereka yang tak sepakat menilai giveaway itu sebagai bentuk kampanye dan menyeret hiburan ke ranah politik. 

Keberhasilan membangun opini publik adalah kunci dari terbentuknya dukungan dari khalayak dalam komunikasi politik, mengingat pendapat umum sangat sensitif terhadap masalah yang menyangkut kepentingan dan dirasakan oleh masyarakat luas. 

Bahkan, bagaimana cara aktor politik berpakaian hingga aksesoris bisa pula bisa menjadi bagian dari bentuk pernyataan politik dan sering digunakan untuk mendekati khalayak untuk keperluan politik. 

Namun, sejauh mana efek elektoral dari impression management para aktor politik itu belum dapat dipastikan. Oleh karena itu, akan menarik untuk menantikan kelanjutannya. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?