HomeNalar PolitikAda Agenda Pembusukan PDIP?

Ada Agenda Pembusukan PDIP?

Polemik pernyataan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani terkait Sumatra Barat (Sumbar) masih terus bergulir. Setelah sejumlah calon kepala daerah mengembalikan rekomendasi, kini muncul isu yang menyebut politikus PDIP Arteria Dahlan adalah cucu dari pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) Sumbar. Mengapa isu PKI kerap digunakan untuk menjatuhkan politisi?


PinterPolitik.com

“Fear doesn’t have to be real to be powerful.” – Matthew Dowd, Political Analyst

Istilah public enemy merujuk pada seseorang atau pihak yang dianggap sebagai ancaman. Biasanya istilah ini melekat kepada penjahat atau gangster yang telah menjadi buronan polisi.

Namun terminologi public enemy sepertinya telah mengalami perluasan makna. Selain digunakan dalam dunia kriminologi, istilah tersebut juga kerap digunakan masyarakat umum untuk menggambarkan seseorang atau pihak yang dimusuhi oleh khalayak luas.

Terminologi itu agaknya pas untuk menggambarkan kondisi yang tengah dialami PDIP saat ini. Bagaimana tidak, partai berlogo banteng hitam itu kini tengah jadi bulan-bulanan masyarakat maupun lawan-lawan politiknya.

Hujan kritik yang menerpa PDIP kemudian semakin memuncak karena pernyataan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani yang sempat menyentil masyarakat Sumatra Barat (Sumbar). Saat mengumumkan nama-nama calon kepala daerah beberapa waktu lalu, Puan sempat membuat pernyataan yang seolah-olah menyiratkan masyarakat Sumbar tak mendukung negara Pancasila.

Omongan Puan tersebut nyatanya terus bergulir bak bola salju. Tak hanya menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, pernyataan tersebut juga disebut membuat sejumlah calon kepala daerah mencampakkan dukungan PDIP di gelaran Pilkada 2020.

Belum usai polemik Sumbar, PDIP kini diterjang isu lain yang masih merupakan ekses dari pernyataan Puan. Baru-baru ini, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), budayawan Sumbar Hasril Chaniago menyinggung soal kakek Arteria Dahlan, Bachtaruddin yang merupakan pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) Sumbar. Arteria memang diundang dalam acara tersebut untuk mewakili PDIP.

Pernyataan Hasril kemudian menjadi tamparan hebat. Istilah “PKI Perjuangan” yang merupakan pleseten dari “PDI Perjuangan” bahkan menjadi trending di Twitter. Narasi PDIP diisi oleh PKI dan keturunannya juga kembali menghangat di tengah publik.

Melihat track record-nya, sebenarnya bukan baru kali ini PDIP diterjang isu PKI. Sebelumnya, partai besutan Megawati Soekarnoputri itu juga pernah dituding sebagai reinkarnasi PKI lantaran dianggap menjadi inisiator RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

PKI dan komunisme memang kerap menjadi senjata andalan untuk menjatuhkan lawan politik. Meski telah dibubarkan dan dilarang bertahun-tahun silam, nyatanya PKI selalu bangkit dari kuburnya ketika menjelang pelaksanaan kontestasi elektoral. 

Lantas pertanyaannya, mengapa isu PKI dan komunisme seakan tak pernah benar-benar mati di masyarakat?

Pembusukan Komunisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunisme merupakan paham atau ideologi politik yang menganut ajaran filsuf asal Jerman, Karl Marx. Salah satu ciri dari ideologi komunisme adalah penghapusan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Komunisme sebenarnya pernah tumbuh menjadi poros kekuatan dunia yang menentang para kapitalis dan pemilik modal. Ideologi inilah yang kemudian diusung oleh PKI.

Di Indonesia sendiri, PKI pernah menjadi partai yang cukup besar. Pada pemilu 1955, kekuatan PKI bahkan berada di urutan ke empat di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdatul Ulama (NU). Selama masa Orde Lama, PKI juga bisa dibilang cukup akrab dengan rezim Soekarno.

PKI baru mengalami kejatuhan di ujung kekuasaan Soekarno. Saat itu, PKI dituding sebagai dalang dari peristiwa percobaan kudeta dan pembunuhan keji terhadap tujuh jenderal di Lubang Buaya.

Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan nama G30S. Nama PKI kemudian disematkan pada peristiwa tersebut untuk mengingatkan publik siapa dalang di balik salah satu gejolak paling berdarah dalam sejarah Republik.

Kemudian, setelah Soeharto naik tahta, salah satu manuver pertamanya adalah membumihanguskan PKI dan ideologi komunis melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966. TAP MPRS ini tidak memberi ruang sama sekali bagi organisasi yang berideologi komunis untuk tumbuh di Indonesia.

Tak sampai disitu. Genderang perang melawan komunisme terus menerus ditabuhkan Soeharto dan rezimnya lewat berbagai saluran, mulai dari buku sejarah, media massa hingga film. Propaganda-propaganda Orde Baru ini nyatanya berhasil menjadikan PKI dan komunisme sebagai musuh bersama.

Selain karena dilatarbelakangi oleh peristiwa G30S, Guru Besar FISIP Universitas Negeri Solo, Totok Sarsito menyebut salah satu alasan lain mengapa ideologi komunisme begitu dibenci oleh masyarakat Indonesia sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kepentingan agama.

Dia menyebut dalam ideologi komunisme, agama dianggap racun. Menurut Karl Marx, agama adalah candu bagi masyarakat yang mendoktrin umatnya pada etika ketertundukan. Faktor inilah yang menurut Totok membuat masyarakat Indonesia yang mayoritas religius tak bisa menerima ideologi komunisme.

Menambahkan pernyataan tersebut, Bagoes Wiryomartono dalam publikasinya yang berjudul The 1965-1966 Affairs and Communist Phobia in Post Suharto Indonesia mengatakan bahwa sampai saat ini, isu komunisme dan sosialisme dianggap oleh elite politik arus utama sebagai ideologi yang mengancam. Golongan Islam tertentu dan mantan perwira militer kerap mempertahankan ancaman ini sebagai syarat esensial status quo mereka dalam opini publik.

Lalu melengkapi pernyataan keduanya, Budayawan Jaya Suprana menyebut terminologi politik kerap bernasib nahas mengalami perubahan makna ke arah negatif akibat dibebani kesan buruk. Istilah komunisme yang semula merupakan ideologi politik, kini bergeser ke arah konotasi yang buruk akibat peristiwa G30S. Terlebih lagi, PKI juga dinilai sebagai dalang dari pembantaian kiai dan santri yang terjadi di berbagai daerah.Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan isu PKI yang kini menghantui Arteria Dahlan memang sengaja dihembuskan untuk menjadikannya musuh bersama. Sama seperti Komunisme, Arteria bisa dianggap sebagai orang yang keberadaannya mengancam masyarakat.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Menanggapi isu tersebut, Arteria sebenarnya telah memberikan bantahan. Dengan mengurai silsilah keluarganya, Ia menegaskan bahwa Bachtaruddin tidak memiliki hubungan dengan kakek dan neneknya.

Namun, dengan isu ini yang sudah terlanjur memanas, kira-kira apa artinya bagi PDIP?

PDIP Sedang Dibusukkan?

Secara umum, pernyataan Puan Maharani soal Sumbar memang dapat dimaknai sebagai sindiran berbasis identitas. Namun berbeda dari pendapat umum, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing justru menilai pernyataan Puan sama sekali tak menyinggung etnis tertentu.

Menurutnya, dalam pernyataan kontroversial itu Puan hanya menyinggung Sumbar sebagai provinsi. Sedangkan di Sumbar, ada banyak etnis yang mendiami wilayah tersebut. Sehingga keliru besar jika sindiran Puan terhadap Sumbar diartikan sebagai sindiran terhadap suku Minangkabau. Emrus menduga ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menarik pernyataan ini ke ranah politik identitas.

Politik identitas sendiri memang jamak digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Dalam setiap gelaran kontestasi elektoral misalnya, politik identitas hampir tak pernah absen dalam beberapa tahun terakhir.

Mengutip pemikiran psikolog sosial Jonathan Haidt, Connor Boyle dalam tulisannya yang berjudul Identity Politics: Commonality or Common Enemy? menyebut politik identitas dapat digunakan dalam dua cara.

Pertama politik identitas kesamaan. Dalam praktiknya, politik identitas jenis ini digunakan dengan cara menekankan persamaan. Dia memberi contoh politik identitas jenis ini digunakan oleh pemimpin dan aktivis HAM Martin Luther King. Menurut Haidt, dalam kampanye melawan rasisme, Martin Luther King sebenarnya juga menggunakan politik identitas untuk menyuarakan persamaan hak-hak orang kulit hitam dengan manusia lain pada umumnya.

Kedua adalah politik identitas musuh bersama. Ini adalah gagasan untuk menyatukan kelompok berdasarkan keyakinan bahwa ada kelompok lain yang merupakan akar dari segala kejahatan.

Berbeda dari politik identitas kesamaan yang menggunakan identitas kelompok untuk menyerap kelompok yang terpinggirkan menjadi satu kesatuan yang umum, politik identitas musuh bersama justru menggunakan identitas kelompok untuk mengadu kelompok masyarakat satu sama lain.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka pernyataan Puan soal Sumbar dan penggunaan isu PKI terhadap Arteria Dahlan boleh jadi memang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk membusukkan PDIP. Jika pembusukan ini berhasil, bisa saja nantinya PDIP akan dianggap sebagai musuh bersama sebagaimana masyarakat menganggap PKI sebagai musuh.

Namun, perlu diingat, asumsi yang menyebut isu Sumbar dan PKI adalah upaya pembusukan PDIP tentunya tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas, dinamika ini memiliki dampak yang cukup serius bagi PDIP. Bagaimana kira-kira partai besutan Megawati itu akan menyelesaikan persoalan ini? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...