Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?
Di tengah tekanan global dan dinamika domestik terhadap stabilitas fiskal, sorotan terhadap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali mencuat.
Meski selama ini Kemenkeu identik dengan teknokratisme yang mapan, belakangan kementerian yang kerap dijuluki “Kementerian Sultan” oleh netizen ini dipandang publik sebagai stagnan, bahkan gagal memenuhi target-target fiskal strategis.
Salah satunya yang paling mencolok adalah kegagalan memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak pada tahun 2024.
Kondisi ini menjadi krusial karena Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal mengusung agenda besar transformasi ekonomi nasional, menekankan pentingnya kemandirian fiskal sebagai fondasi program-program populis dan strategisnya, termasuk makan siang gratis, hilirisasi, serta modernisasi pertahanan.
Dalam teori kebijakan publik, hal ini dapat dibaca sebagai kebutuhan akan policy reorientation, yaitu perubahan arah kebijakan akibat ketidaksesuaian antara kapasitas institusi dengan ambisi program pemerintah.
Langkah Prabowo dalam merespons kegagalan fiskal tersebut tak hanya bersifat teknokratis tetapi juga politis. Ia turun tangan langsung dengan meluncurkan proyek Danantara serta merancang pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
Ini seolah menunjukkan gejala pergeseran model tata kelola fiskal dari centralized ministerial control ke arah agency-based management, di mana otoritas pengelolaan penerimaan mungkin saja akan dipisah dan dilepaskan dari dominasi eksklusif Kemenkeu.
Seiring dengan itu, muncul gejala penting lainnya, mulai dari isu rotasi signifikan pejabat eselon I Kemenkeu, hingga penunjukan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara.
Dinamika ini menimbulkan pertanyaan besar, sedang terjadi apa sebenarnya di tubuh Kementerian Keuangan? Apakah ini sekadar upaya penataan ulang teknis atau bagian dari agenda besar restrukturisasi kekuasaan fiskal nasional yang memiliki irisan politik yang menarik?
Konsolidasi Kuasa Fiskal?
Untuk memahami dinamika ini, kita dapat menggunakan lensa teori institutional change yang membagi perubahan institusional menjadi empat bentuk, yakni displacement, layering, drift, dan conversion.
Dalam konteks ini, agenda pembentukan Badan Penerimaan Negara dan kehadiran figur non-struktural seperti Hadi Poernomo kiranya menunjukkan gejala layering dan conversion.
Artinya, struktur lama (Kemenkeu) tidak dihapus, tetapi diberi lapisan baru berupa institusi dan aktor yang menggeser pusat kekuasaan fiskal ke lingkaran Istana.
Penunjukan Hadi Poernomo boleh jadi dapat dibaca sebagai langkah strategis, di mana dirinya bukan sekadar teknokrat senior, tapi sosok yang mewakili “generasi berpengalaman” dalam dunia perpajakan, dengan jejaring luas dan pengalaman lintas rezim.
Secara simbolik, langkah ini menandakan bahwa Presiden Prabowo kiranya mendiversivikasi trust-nya terhadap struktur internal Kemenkeu hari ini, bahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikenal sebagai simbol ortodoksi fiskal dan reformasi birokrasi ala Bank Dunia.
Lebih jauh, proyek Danantara sebagai corong terpadu penerimaan negara yang dibangun lintas kementerian, menandai upaya pengambilalihan otoritas fiskal dari dalam ke luar.
Alih-alih bergantung pada sistem pajak internal Kemenkeu, Presiden Prabowo tampak ingin membangun parallel infrastructure, sesuatu yang dalam teori bureaucratic politics disebut sebagai creation of rival agencies, yaitu penciptaan lembaga atau sistem baru untuk mengimbangi kekuatan birokrasi lama yang dianggap tidak efisien atau bahkan menghambat agenda presiden.
Langkah ini pun agaknya bisa dibaca melalui kerangka kerja state capacity theory, yang menyebutkan bahwa untuk menjalankan program besar, negara harus memiliki tiga kapasitas utama, yang meliputi kapasitas administrasi, fiskal, dan koersif.
Ketika kapasitas fiskal negara dianggap tidak sejalan dengan ambisi pembangunan, maka negara (dalam hal ini Presiden) akan terdorong untuk melakukan rekalibrasi institusional.
Dalam konteks Indonesia saat ini, Presiden Prabowo tampaknya tengah melakukan itu—dengan cara-cara yang tidak frontal tetapi perlahan dan terukur, melalui figur, struktur baru, dan teknologi.
Lantas, apakah ini adalah optimisme baru yang benar-benar akan berhasil nantinya?

Berisiko Namun Harus Dilakukan?
Satu hal yang menarik dari proses ini adalah bagaimana dinamika yang terjadi agaknya bisa berdampak ke posisi-posisi strategis lain di Kementerian Keuangan dan kementerian yang terhubung secara fiskal, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Kepala Bappenas.
Isu krusialnya bukan semata akan digantikan atau tidaknya Sri Mulyani, tetapi bagaimana konfigurasi baru ini akan mempengaruhi power equilibrium dalam kabinet dan mesin fiskal nasional.
Jika Presiden Prabowo benar-benar melanjutkan pembentukan Badan Penerimaan Negara di luar Kemenkeu, maka posisi Menteri Keuangan kemungkinan akan mengalami penyusutan otoritas, meski tidak secara formal.
Kemenkeu akan tetap penting, tetapi tidak lagi menjadi pusat kekuatan fiskal tunggal. Ini bisa menyebabkan posisi Sri Mulyani atau siapapun penggantinya menjadi lebih simbolik, yaitu sebagai administrator anggaran, ketimbang arsitek kebijakan fiskal murni.
Dalam jangka menengah, hal ini agaknya bisa membuka peluang bagi figur-figur yang lebih politis ketimbang teknokratis untuk mengisi posisi-posisi strategis di Kemenkeu.
Dari sisi politik, langkah ini juga bisa dibaca sebagai strategi konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo dalam bidang fiskal. Dengan membangun sistem yang lebih terpusat ke Istana, ia dapat mengamankan pembiayaan program-program prioritas tanpa tergantung pada struktur birokrasi lama yang tidak ia bentuk.
Ini selaras dengan teori neo-patrimonialisme, di mana pemimpin cenderung menciptakan jaringan loyalis dan lembaga baru untuk menyalurkan sumber daya langsung dari dan ke pusat kekuasaan. Tentu harapannya adalah agar anggaran demi kepentingan rakyat lebih cepat cair dan terdistribusi.
Namun risiko dari strategi ini juga tidak kecil. Dualisme institusional bisa menciptakan tumpang tindih kewenangan, konflik kepentingan antarlembaga, hingga resistensi dari dalam tubuh Kemenkeu sendiri.
Dalam kerangka public choice theory, restrukturisasi fiskal ini juga bisa dianggap sebagai upaya mengatasi bureaucratic inertia, tetapi bisa menjadi bumerang jika tidak diiringi dengan reformasi struktural dan transparansi.
Jika benar-benar terbentuk, Badan Penerimaan Negara bisa saja justru menjadi ladang baru konflik kepentingan jika desain kelembagaannya tidak disertai akuntabilitas dan oversight yang kuat.
Apa yang tengah terjadi di posisi terkait anggaran dan keuangan negara agaknya bukan sekadar rotasi pejabat atau penunjukan penasihat.
Hal ini bukan tidak mungkin adalah bagian dari gejala perubahan paradigma fiskal nasional.
Presiden Prabowo, dengan gayanya yang lebih campuran antara populis dan sentralistik, boleh jadi tengah merancang ekosistem baru pengelolaan penerimaan negara yang lebih terhubung ke pusat kekuasaan.
Pada akhirnya, rakyat Indonesia sedang menyaksikan babak baru relasi antara teknokrasi dan kekuasaan dalam pengelolaan fiskal. Dan Kemenkeu, sekali lagi, menjadi panggung utama tarik menarik antara efisiensi, otoritas, dan agenda besar kekuasaan. (J61)