Cross BorderPutin Disesatkan Dua Filsuf?

Putin Disesatkan Dua Filsuf?

- Advertisement -

Invasi Vladimir Putin ke Ukraina disebut dipengaruhi oleh pemikiran dua filsuf Rusia, yakni Lev Gumilyov dan Aleksandr Dugin. Menurut associate professor Departemen Ilmu Politik NaUKMA Andreas Umland, kedua filsuf itu penuh dengan pemikiran konspiratif, sehingga Putin telah terjebak pseudo-intelektual.


PinterPolitik.com

“War is failure of diplomacy” – John Dingell

Derasnya penetrasi globalisasi, khususnya di sektor ekonomi, membuat pembahasan perang menjadi begitu bergeser. Ekonomi dunia yang menempatkan negara-negara saling terkait satu sama lain disebut membuat perang konvensional menjadi tidak relevan lagi.

Terlalu besar kerugian ekonomi yang diakibatkan apabila perang terjadi. Pada Perang Dunia II, misalnya, ditaksir menghabiskan biaya sebesar US$ 4,1 triliun atau sekitar Rp 60,8 kuadriliun, dan merenggut 85 juta jiwa.

Namun, seperti yang ditulis Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century pada 2018, “Sayangnya, bahkan jika perang tetap menjadi bisnis yang tidak menguntungkan di abad ke-21, itu tidak akan memberi kita jaminan mutlak akan perdamaian.”

Apa yang diwanti-wanti Harari dengan jelas terjadi. Pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin meluncurkan serangan militer ke Ukraina. Ancaman dan sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan sekutu nyatanya tidak membuat Putin menghentikan invasi hingga saat ini.

Dalam tulisannya yang berjudul Russia’s Pseudo-Intellectuals di American Purpose pada 31 Oktober 2022, associate professor Departemen Ilmu Politik Kyiv-Mohyla Academy (NaUKMA) Andreas Umland, menyebut Rusia telah terjebak pseudo-intelektual.

Ada dua filsuf atau pemikir yang disebut Andreas Umland mempengaruhi invasi Rusia, yakni Lev Gumilyov dan Aleksandr Dugin. Keduanya adalah pemikir besar Rusia yang mempopulerkan eurasianisme dan membangun landasan teoretis anti-Barat.

Sedikit konteks, euranisme adalah gerakan politik di Rusia yang menyatakan bahwa peradaban Rusia tidak termasuk dalam region Eropa maupun Asia. Rusia dipercaya sebagai peradaban yang berdiri sendiri. Gerakan ini disebut juga sebagai Rusia Raya yang bertujuan untuk merebut kembali seluruh atau sebagian wilayah bekas Uni Soviet.

infografis ada filsuf di belakang putin

Putin’s Brain

Lev Gumilyov adalah putra dari penyair terkenal Rusia, Nikolay Gumilyov dan Anna Akhmatova. Meskipun Gumilyov meninggal tidak lama setelah runtuhnya Uni Soviet, tulisan-tulisannya terus diterbitkan dan memberikan dampak mendalam bagi masyarakat Rusia. 

Karya Gumilyov digunakan sebagai buku teks di sekolah dan universitas, serta dihormati sebagai pemikir jenius Rusia abad ke-20. Dalam pidatonya pada musim panas 2004, Vladimir Putin mengatakan, “Gagasan Gumilyov menaklukkan massa.”

Dalam magnus opusnya Ethnogenesis and the Earth’s Biosphere, Gumilyov mengembangkan teori komprehensif tentang sejarah dunia yang sebagian didasarkan pada studi biologi. Dalam pembacaan Umland, Gumilyov menyebut terbentuknya kelompok etnis dan konglomerat super-etnis adalah bentuk alamiah peradaban. 

Baca juga :   Putin dan Rusia Berduka

Sederhananya, adalah alamiah apabila terdapat super-etnis yang menempati puncak piramida. Dalam sejarah peradaban, selalu terjadi siklus pergantian super-etnis. 

Kemudian, terkait Aleksandr Dugin, ia memulai kariernya di bidang jurnalistik setelah kematian Gumilyov. Dugin memposisikan dirinya sebagai anti-sistemik terhadap kebijakan Rusia yang pro-Barat pada tahun 1990-an. Tulisannya disebut memiliki pembaca setia di akademi militer dan layanan keamanan Rusia. 

Tidak seperti Gumilyov yang kurang dikenal secara internasional, Dugin terkenal di luar Rusia sebagai ekstremis Rusia. Berbagai media bahkan menyebutnya sebagai Putin’s Brain. Kendati demikian, Umland menyebut eurasianisme yang diproklamirkan Putin sedikit berbeda dengan gagasan neo-eurasianisme Dugin.

Yang menarik dari tulisan Umland bukanlah penjabarannya terkait gagasan Gumilyov dan Dugin, melainkan komentarnya terhadap Gumilyov, Dugin, dan para pemikir Rusia yang disebutnya pseudo-intelektual.

Gagasan mereka dinilai Umland memiliki kelemahan metodologis, minimnya bukti empiris, dan tidak relevan dengan studi sejarah dan hubungan internasional pasca-Soviet.  

Secara lugas, Umland bahkan menyebut gagasan Gumilyov dan Dugin sebagai konspirasi. Itu tidak lebih dari imajinasi metafisik atas pencarian jati diri Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet. Teks-teks euranisme dinilai hanya untuk mengisi kekosongan ideologi yang ditinggalkan komunisme. 

Popularitas gagasan Gumilyov dan Dugin, dilihat Umland hanya merupakan gejala dari kebangkitan anti-liberalisme. Ribuan tulisan dan produk media yang mempromosikan anti-Barat merupakan penolakan Rusia dari region Eropa.

Bertolak dari penjabaran lugas Umland, mungkinkah Putin telah disesatkan oleh kedua filsuf tersebut? Apakah Putin telah terjebak pada angan-angan konspiratif karena menolak liberalisme alias tatanan dunia liberal setelah runtuhnya Uni Soviet?  

infografis putin jokowi saudara ku

Benturan Paradigma

Untuk menjawabnya, buku The Structure of Scientific Revolutions karya Thomas Samuel Kuhn, dapat menjadi pijakan yang bagus. Dalam bukunya, Khun memberikan jalan tengah atas paradigma ilmu pengetahuan (sciences) yang terkadang saling menegasi atau bertentangan.

Sebagai contoh, studi biologi dan fisika pada dasarnya memiliki paradigma yang berbeda terkait unit terkecil organisme. Dalam biologi, unit terkecil organisme adalah sel (dan turunnya), yang mana merupakan entitas hidup. Sementara dalam fisika, unit terkecil organisme adalah karbon atau atom, yang mana merupakan entitas mati.

Sekarang pertanyaannya, asumsi atau paradigma mana yang lebih tepat? Apakah biologi atau fisika?

Menurut Khun, alih-alih meributkan mana yang lebih baik, yang semestinya dipahami adalah paradigma keduanya memang tidak bisa dikomparasikan. Ini disebut dengan incommensurability yang berarti “tidak dapat dibandingkan” atau “tidak memiliki ukuran umum”.

Pada pembahasan lebih lanjut, gagasan Khun soal incommensurability kemudian digunakan untuk memahami bahwa perbedaan cara pandang adalah sebuah keniscayaan. Pada kasus Rusia, misalnya, seperti yang disebutkan Umland, pandangan euranisme disebut keliru karena merupakan antitesis dari tatanan dunia liberal.

Baca juga :   Putin dan Rusia Berduka

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah gagasan dunia liberal merupakan gagasan yang paling benar? 

Jangankan membahas gagasan dunia liberal, liberalisme yang menjadi akar gagasan itu sendiri masih mengundang perdebatan yang tak kunjung selesai. 

Salah satu ilmuwan politik yang paling keras menyuarakan liberalisme, yakni Francis Fukuyama, bahkan secara jujur mengakui gagasan liberalisme memiliki berbagai persoalan. 

Dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right, Fukuyama menyebut liberalisme yang lekat dengan demokrasi bekerja secara perlahan melalui musyawarah dan kompromi, serta tidak pernah mencapai tujuan komunal atau keadilan sosial selengkap yang diinginkan para pendukungnya. 

Jika kita melihat AS yang disebut sebagai negara penjaga tatanan dunia liberal, langkah hipokrit dan paradoksal juga terlihat nyata. Atas dalih sebagai polisi dunia, AS merasa memiliki legitimasi moral untuk melakukan invasi ke Irak pada 2003.

Michael R. Gordon dalam tulisannya Presenting the depths of miscalculation in the Iraq war, menyebut invasi itu bertujuan untuk mendirikan pemerintahan Irak yang demokratis dan stabil. Namun, seperti yang disebutkan Gordon, visi itu hanya berakhir di slide-slide perencanaan militer AS.

Bahkan belakangan, Presiden ke-43 AS George W. Bush juga mengakui secara terbuka bahwa keputusannya untuk menginvasi Irak adalah sebuah kesalahan.

Seperti disinggung banyak pihak, mereka yang mengaku mendukung liberalisme Barat justru tidak banyak berbicara atas invasi dan gerakan militer yang dilakukan AS. Pun demikian dengan yang dilakukan sekutu AS, seperti Israel di Palestina. 

Singkatnya, tudingan keras Umland bahwa gagasan euranisme Rusia merupakan konspirasi semata adalah bentuk keyakinan bahwa tatanan dunia liberal adalah nilai yang lebih baik atau mungkin yang paling baik. Padahal, apabila kita membedahnya secara filosofis, sampai saat ini tidak ada konsensus bersama terkait apa itu kebebasan.

Seperti yang ditegaskan Plato jauh-jauh hari dalam bukunya Republic, kebebasan memiliki paradoks. Ketika diberikan, seseorang akan terus menuntut kebebasan tambahan. Yang pada akhirnya, tidak diketahui batasan yang disebut kebebasan itu.

Bertolak dari konsep incommensurability Kuhn, kesimpulan Umland pada dasarnya tidak dapat dibenarkan. Suka atau tidak, apa yang terjadi saat ini adalah benturan antara dua paradigma. Satu adalah paradigma Rusia yang mengusung euranisme, dan satunya lagi adalah paradigma Barat yang mengusung liberalisme.

Sebagai penutup, sekiranya kita perlu menarik kembali pernyataan John Dingell di awal tulisan. Perang sebenarnya adalah bentuk dari kegagalan diplomasi. Ini bukan soal klaim adanya pandangan yang konspiratif atau kurang ilmiah. (R53)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?