HomeCelotehNetflix Bikin Hary Tanoe Kepanasan?

Netflix Bikin Hary Tanoe Kepanasan?

“Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin”. – Ahmad M. Ramli, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo


PinterPolitik.com

Sehari terakhir jagat media sosial diramaikan oleh pemberitaan terkait dua stasiun televisi milik pengusaha dan konglomerat media Hary Tanoesoedibjo. Adalah RCTI dan iNews, dua stasiun televisi yang dikecam dan dikritik habis-habisan oleh warganet itu.

Bukannya gimana-gimana ya, dua media ini diberitakan melayangkan gugatan terkait UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube, Instagram Live hingga Netflix, harus tunduk pada UU Penyiaran.

Alasan gugatannya sih katanya RCTI-iNews khawatir muncul konten yang akan bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Hmm, mulia sekali ya alasan gugatannya. Uppps.

Nah, konsekuensinya nih yang besar. Soalnya, jika gugatan ini dikabulkan, maka masyarakat nggak boleh lagi sembarangan bikin Live IG, Live YouTube, Live Facebook, dan lain sebagainya cuy. Soalnya, semua aktivitas tersebut harus tunduk pada UU Penyiaran dan menyebabkan semua yang pengen menggunakannya harus punya izin dulu.

Beh, ini mah udah kelewat batas ya. Soalnya, sama aja ini membatasi kebebasan berekspresi masyarakat yang seharusnya juga dilindungi oleh Undang-Undang. Makanya, nggak heran kalau banyak pihak yang marah-marah terkait gugatan RCTI-iNews ini.

Soalnya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi – kayak smartphone, medsos, dan lain sebagainya – sebetulnya telah mengubah diskursus kekuasaan dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat. Dengan adanya smartphone misalnya, power atau kekuasaan itu terdistribusi ke masyarakat, bahkan termasuk di tingkat terbawah sekalipun.

Contohnya, fitur Live Facebook sempat jadi alat para pemuda Palestina yang efektif untuk mengabarkan bagaimana serangan brutal dan pelanggaran yang dilakukan oleh para tentara Israel terhadap warga sipil Palestina. Akhirnya, dunia internasional jadi tahu dan sadar seperti apa aktivitas sesungguhnya yang terjadi di sana, dan hal tersebut melahirkan tekanan yang besar secara politik pada Israel.

Inilah yang disebut sebagai power yang terdistributif. Contoh lainnya pun bisa terjadi di berbagai bidang, termasuk juga di Indonesia.

Artinya, mencabut hak untuk melakukan Live Instagram dan YouTube Live misalnya, adalah penabrakan terhadap konsep distribusi kekuasaan tersebut. Beh, makin canggih pembahasannya.

Tapi, pada penasaran nggak sih, sebenarnya apa yang bikin RCTI-iNews jadi kepanasan dan bikin gugatan yang kayak gini? Jangan-jangan ini karena kehadiran media baru macam Netflix dan YouTube yang bikin banyak orang beralih menggunakan layanan konten hiburan berbasis streaming internet.

Beh, kalau itu benar, maka kasus ini bisa jadi beneran gara-gara banyak orang Indonesia mulai beralih meninggalkan TV dan lebih banyak menonton Netflix. Uwuwuwuwu. Upps. Hehehe. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012.

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Prediksi yang menyebut Jokowi akan tetap punya pengaruh dalam kekuasaan Prabowo Subianto – setidaknya dalam jangka waktu 1 tahun pertama – menjadi pergunjingan yang menarik di kalangan para pengamat politik.