HomeCelotehGerindra, Partai Double Agent?

Gerindra, Partai Double Agent?

“Saya menduga Gerindra naik karena mampu memainkan dua kartu, satu sebagai bagian dari pemerintah, mendapatkan insentif sebagai the ruling party, tapi di sisi lain masih menjaga figur kritis yang mencoba merawat basis-basis Gerindra lama”. – Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia


PinterPolitik.com

PDIP mungkin jadi partai yang paling banyak disorot dalam beberapa waktu terakhir. Bukan tanpa alasan, kisruh yang terjadi akibat UU Cipta Kerja emang membuat sorotan masyarakat terarah pada si banteng moncong putih itu.

Selain karena Presiden Jokowi sebagai pihak utama yang mendorong UU ini selalu diidentikkan dengan PDIP, juga karena sang Ketua DPR RI Puan Maharani yang mengetok palu pengesahan UU ini berasal lagi-lagi dari si merah itu.

Makanya sentimennya jadi rada-rada negatif kalau bicara soal PDIP, walaupun partai tersebut kini masih menjadi yang tertinggi dalam hal elektabilitas – setidakya dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia.

Nah, makanya momentum politik kali ini ada di pesaing terdekatnya: Partai Gerindra. Bukan tanpa alasan, dalam survei yang sama disebutkan bahwa Gerindra adalah partai yang mengalami peningkatan elektabilitas paling tinggi. Pada Juli 2020, elektabilitas Gerindra berada di angka 17,7 persen. Jumlah ini naik pada bulan September menjadi 21,1 persen. Jumlah tersebut juga diperkirakan masih akan terus naik.

Wih, keren juga nih Gerindra bisa punya tren positif di tengah citra yang makin buruk yang dialami oleh partai-partai politik. Kok bisa ya?

Analisis dan spekulasi yang beredar memang menyebutkan bahwa elektabilitas partai berlambang kepala burung ini bisa tetap tinggi karena “bermain dua kaki”. Iyess cuy, nggak salah denger, main dua kaki.

Hmmm, main dua kaki nggak ada yang salah kan ya? Justru kalau main dengan satu kaki bisa jatuh loh. Nggak percaya? Coba aja sendiri main bola atau main basket dengan satu kaki. Niscaya bakal sulit minta ampun. Hehehe.

Tapi yang dimaksud di sini adalah Gerindra bermain dengan satu kaki di pemerintahan – lewat Pak Prabowo Subianto yang kini jadi Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan – dan satu lagi dimainkan oleh sosok seperti Fadli Zon yang masih sering banget bersikap seperti Fadli Zon sediakalanya. Hehehe.

Soal UU Cipta Kerja misalnya, semua orang tahu ini produk pemerintah. Gerindra pun mendukungnya di DPR. Tapi, Fadli Zon bisa memainkan posisi dengan menyebut dirinya tidak berkuasa menghadapi pilihan yang ada.

Hal serupa juga dianggap terjadi pada kasus-kasus yang lain. Makanya, selain karena momentum kemunduran PDIP, Gerindra sebetulnya mendapatkan dampak positif dengan adanya sosok seperti Fadli Zon yang masih bisa membina basis-basis pemilih tradisional Gerindra, terutama yang masih anti terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.

Wih, canggih banget nih strateginya. Berasa kayak kisah para double agent di film-film nih. Kayak Eddie Chapman misalnya, anggota militer Inggris yang ditangkap oleh tentara Nazi Jerman, terus minta direkrut sama mereka. Eh, nggak tahunya doi jadi semacam agen ganda yang melakukan sabotase di sana-sini.

Hmmm, Gerindra bakal kayak gitu nggak ya di tahun-tahun yang akan datang? Uppps. Menarik untuk ditunggu. (S13)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.