HomeBelajar PolitikNurdin Abdullah, "Jokowi" dari Timur?

Nurdin Abdullah, “Jokowi” dari Timur?

Nama Nurdin Abdullah, barangkali masih asing di telinga sebagian masyarakat, khususnya bagi mereka yang berdomisili di Jabodetabek. Namun di Sulawesi Selatan dan sekitarnya, bupati sekaligus profesor agrikultur ini jadi buah bibir karena prestasinya memajukan Bantaeng, Sulawesi Selatan. Apakah ia bisa disebut sebagai ‘Jokowi’ selanjutnya?


PinterPolitik.com

 

[dropcap size=big]N[/dropcap]ada bicaranya tenang tak terburu-buru, bahkan sekilas terlihat tak bertenaga. Tapi siapa sangka lelaki berpostur tinggi langsing tersebut, dianggap sebagai pembawa kemajuan di sebuah kabupaten kecil nan tua di Sulawesi Selatan, Bantaeng. Sejak menjabat sebagai Bupati Bantaeng selama dua periode berturut-turut, 2008 – 2013 dan 2013 – 2018, Nurdin Abdullah dinilai mampu mengadakan fasilitas pemerintah yang lebih baik serta mencetak angka pertumbuhan ekonomi yang awalnya hanya berkisar 4,7 persen di tahun 2008, meningkat menjadi 9,2 persen di tahun 2016.

Pembaharuan tersebut, membawa lulusan S3 Kyushu University itu, dengan segudang penghargaan. Mulai dari media Harian Seputar Indonesia (Sindo) sampai People of the Year (POTY) sebagai kepala daerah terbaik. Pengakuan terhadap kerja kerasnya terlihat pula dari banyaknya partai politik yang melirik dan mencoba menggandengnya di Pilkada Sulawesi Selatan 2018 mendatang. Langkahnya bisa dikatakan mulus karena politisi Golkar ini sudah mengantongi 16 kursi dukungan dari beberapa partai politik. Berdasarkan lembaga survei Populi Center, namanya bahkan menempati sosok dengan elektabilitas sebesar 20 persen.

Nurdin Abdullah Jokowi dari Timur

Nurdin, Popularitas dan Citra di Luar Bantaeng

 Popularitas dan elektabilitas tinggi yang diraih Nurdin, mengembalikan memori ketika Presiden Joko Widodo pertama kali disorot sebagai kepala daerah Solo beberapa tahun silam. Ia muncul di berbagai media, baik media massa maupun sosial, sebagai sosok pemimpin yang tak hanya dekat dengan rakyat, namun juga berprestasi sebagai kepala daerah. Bak meteor, karir politik Joko Widodo melesat cepat hingga ia berhasil menduduki posisi orang nomor satu di Indonesia.

Namun berbeda dengan Jokowi, Nurdin tak ‘selentur’ Jokowi ketika berhadapan dengan media, terutama media sosial. Nurdin terlihat hanya aktif di Instagram untuk mendokumentasikan kegiatannya sebagai pejabat maupun seorang ayah, serta mempromosikan wisata alam Sulawesi Selatan. Sementara Jokowi, sudah memasukan media sosial sebagai salah satu strategi ‘pemasaran’ politiknya sejak gelaran Pilkada Jakarta tahun 2012 lalu. Hingga menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi memiliki akun Youtube dan Twitter aktif, hingga didaulat sebagai salah satu pemimpin dunia terkesis di media sosial.

Sumber: Youtube

Hubungan Nurdin dengan media lebih jamak terjadi di beberapa stasiun televisi. Stasiun televisi besar nasional, seperti Metro TV, Net TV, dan Trans TV, pernah mengundang Nurdin sebagai narasumber atau contoh salah satu pemimpin yang berhasil membawa kemajuan di daerahnya. Dari sana, Nurdin memoles sedikit demi sedikit citranya sebagai pemimpin cakap namun tak banyak bicara.

Kerja keras Nurdin, pernah membuat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menyebutnya sebagai pejabat daerah yang layak maju Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2015 menggantikan Jokowi. Ahok saat itu berbicara jika banyak putera daerah memiliki kapasitas mumpuni dalam memimpin daerahnya. Ia menyebut, Nurdin layak disandingkan dengan pejabat daerah yang dianggap berkompeten lainnya seperti Ridwan Kamil, Sementara Jokowi sewaktu memimpin Solo di tahun 2012, sudah menempati posisi ketiga sebagai kepala daerah terbaik yang diadakan oleh The City Mayors Foundation yang berbasis di Inggris.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Di luar Bantaeng sendiri, citra Nurdin menempati posisi yang jauh lebih baik dibandingkan sang gubernur. Tak banyak diketahui memang, bila Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, membangun pemerintahan ‘dinasti’ di Sulawesi, dengan menempatkan sang adik, Ichsan Yasin Limpo, sebagai Bupati Kabupaten Gowa dan Dewie Yasin Limpo sebagai anggota komisi VII DPR RI.

Dalam kendaraan berpolitik, Syahrul Yasin Limpo, juga mencetak jejak tak sedap, karena ia dicopot sebagai Ketua Partai Golkar Sulawesi Selatan di tahun 2016. Tak hanya itu, di tahun 2009, Syahrul tercatat sebagai pejabat terkaya di Sulawesi Selatan dengan kekayaan sebanyak Rp. 8 miliar. Dengan latar belakang demikian, rakyat menjatuhkan dukungan pada profesor sekaligus pejabat daerah pertama di Indonesia ini.

Maju ke Kursi Utama, Mampukah?

Di tengah pujian dan pengakuan prestasi kepada Nurdin Abdullah, Bupati Mamuju Utara, Agus Ambo Djiwa, malah menyebut Nurdin sebagai contoh bupati gagal memimpin daerah. Menurutnya, bupati baru bisa dikatakan berhasil jika mencapai lima tujuan, yakni menuntaskan pengangguran, memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meningkatkan pendapatan perkapita, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan angka kemiskinan.

Nurdin, menurut Agus, belum bisa dikatakan sebagai bupati yang berhasil. “Betul, Pak Nurdin Abdullah mampu menginovasi Bantaeng dengan taman yang indah, pantai yang bagus, bahkan infrastruktur jalanannya bagus. Sehingga seorang Nurdin Adullah dikenal banyak orang. Tetapi, belum mampu mengatasi kemiskinan. Bahkan belum mampu mencapai lima syarat tadi,” paparnya di tahun 2016 lalu.

Tak hanya itu, Agus juga membandingkan daerah yang dipimpinnya, Mamuju Utara, memiliki  jumlah penduduk miskin terendah kedua di Sulawesi Selatan. Penduduk miskin, tuturnya, hanya mencapai 4,75 persen, sedangkan tingkat pengangguran 1,4 persen. “Kalau se-Sulawesi, Mamuju Utara rangking pertama dengan angka kemiskinan terendah. Kemudian Kabupaten Sidrap menempati urutan kedua se-Sulawesi, yakni hanya 5,5 persen,” sebut Agus.

Sumber: BPS

Perkara kemiskinan, Kabupaten Bantaeng memang memiliki angka persentase kemiskinan yang tinggi bila dibandingkan Sidrap dan Mamuju. Dalam data yang diolah Badan Pusat Statistik di tahun 2014, Kabupaten Bantaeng, memiliki persentase kemiskinan sebesar 9,68 persen, sementara Sidrap berada di angka 5,82.

Bantaeng sendiri memang masih jatuh bangun mengatasi kemiskinan setiap tahunnya. Masih dalam data yang diolah BPS, kabupaten ini sempat mengalami penurunan angka kemiskinan di tahun 2012, sebesar 8,89. Namun di tahun 2013, angka kembali meningkat menjadi 10,45 dan turun beberapa poin sebesar 9,68 di tahun 2014.

sumber: BPS

Agus, Bupati Mamuju yang menyatakan kepemimpinan Nurdin sebagai contoh kegagalan, tentu memiliki alasannya sendiri. Walaupun masih jatuh bangun memperbaiki angka kemiskinan dan kesejahteraan, Nurdin di sisi lain mampu meningkatkan kemampuan konsumsi masyarakat Bantaeng dari senilai Rp. 161.499 naik ke angka Rp. 217.595 di tahun 2015. Selebihnya, Nurdin banyak melakukan pemolesan tempat wisata dan menggenjot produksi pertanian.

Ketika dibandingkan kembali dengan sosok Jokowi saat menjabat sebagai Walikota Solo, ternyata Nurdin tak jauh berbeda dengannya. Mantan Sekertaris Daerah (Sekda) periode 2009 – 2010, Supradi Kertamenawi, berkata Joko Widodo semasa menjadi walikota Solo ternyata tak sesukses yang dibicarakan banyak pihak. Menurutnya, banyak program Jokowi yang mangkrak, antara lain pembangunan beberapa taman, seperti Sekar Taji, Terminal Tirtonadi, City Walk, Railbus, Pasar Tradisional, dan lain-lain. “Kalau pemindahan ribuan PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo itu kan peran Pak Rudy (wakil wali kota saat itu). Kemuadian juga adanya bantuan modal dari Kementerian Koperasi pada tiap PKL sebesar Rp. 5 juta. Itu yang membuat pemindahan PKL lancar,” ujarnya.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Namun begitu, prestasi Jokowi tak begitu saja ditepis oleh kalangan legislatif DPRD Solo. Warga Kota Solo mengakui program pelayanan asuransi kesehatan untuk warga miskin, serta layanan kesehatan dengan biaya APBD, memberikan kemudahan dan menganggap sebagai sebuah perubahan positif. Namun, menuju Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, diakui oleh pihak DPRD, belum terlepas dari pencitraan.

Kepada Media Politisi Kembali

Jalan Nurdin Abdullah menuju kursi nomor satu Indonesia, masih terlalu dini untuk ditebak dan diprediksi. Namun, tak dipungkiri jika dirinya sudah memiliki modal dan kendaraan cukup, berupa partai politik, citra yang baik, serta prestasi yang banyak. Menuju Pilkada Sulsel 2018, Nurdin Abdullah belum banyak beraktifitas di media sosial, berbeda seperti saat Jokowi maju ke Pilkada DKI Jakarta di tahun 2012 lalu.

Mempersiapkan Pilkada DKI 2012 lalu, Jokowi banyak menonjolkan aktivitas blusukan turun ke jalan, yang berperan menciptakan citra sebagai pemimpin merakyat dan pembawa gagasan membenahi Jakarta. Kegiatan ini, seakan juga meniadakan sekat antara pemimpin dengan rakyatnya, sehingga menumbuhkan keterlibatan warga yang tinggi. Dari sini pula, Jokowi menjadi media darling karena kegiatannya banyak diliput oleh jurnalis media.

Jokowi (foto: istimewa)

Tak hanya pembaharuan melalui gerakan blusukan, Jokowi juga sangat piawai memanfaatkan media sosial dan internet. Melalui internet, barisan relawan Jokowi terbentuk dan dengan sukarela mendukungnya. Dukungan ini menyebar di media sosial dan mengisi forum internet, memberi nada positif tentang Jokowi. Melalui internet pula, anak-anak muda, kelompok terbesar pengguna internet dan media sosial, bersatu karena pandangan politik yang sama untuk mendukung Jokowi.

Sementara Nurdin Abdullah, agaknya belum bisa menyentuh ruang internet dan media sosial seperti Jokowi. Dirinya sudah mengantongi nilai elektabilitas tertinggi berdasarkan lembaga survei Poltrack dalam Pilkada Sulsel 2018, memiliki kendaraan politik melalui partai Golkar dan masih dilirik oleh beragam partai politik lain, citra sebagai akademisi dan politisi sukses, serta penghargaan yang banyak. Bila Nurdin berani menyelam ke dalam internet dan media sosial, bisa dipastikan ia akan menerima jalan mulus seperti yang dialami Jokowi.

Nurdin Abdullah, kedua dari kanan (foto: istimewa)

Media sosial dan internet, selain bisa memangkas biaya untuk mengakses media demi membentuk citra positif, juga memiliki potensi membangkitkan kembali keterlibatan rakyat dalam isu politik dan kebijakannya. Dari sana, masyarakat akan merasa terlibat lebih jauh dalam aktivitas yang dilakukan Nurdin Abdullah, jika dirinya bisa lebih luas mengeksplorasi media sosial dan internet. Keloyalan yang terbentuk itu, akhirnya bisa berakhir dalam kotak suara saat pemilihan berlangsung. Dengan demikian, bila Nurdin Abdullah bisa apik memoles citranya di media sosial layaknya Jokowi, tak menutup kemungkinan bupati cum profesor pertama di Indonesia ini, melesat menjadi pemimpin masa depan dari Timur. (Berbagai Sumber/A27)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....