“Soal perempuan bukanlah soal buat kaum perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh, satu soal masyarakat dan negara yang amat penting.” – Soekarno dalam Sarinah
PinterPolitik.com
BPS (Badan Pusat Statistik) bekerjasama dengan KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mengeluarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada Kamis (30/03) kemarin di Kantor BPS Jakarta.
Survei ini, membeberkan angka-angka kekerasan yang terjadi pada perempuan, pelaku, bentuk tindakan, hingga hal-hal yang melatarinya. Walaupun angka kekerasan di Indonesia terus menerus membengkak tiap tahunnya, Indonesia baru tahun ini merekam segala bentuk kekerasan perempuan yang terjadi, resmi oleh negara melalui BPS (Badan Pusat Statistik).
Sebelumnya, ketersediaan data dan informasi statistik mengenai kekerasan perempuan di Indonesia sangat minim dan disinyalir terlalu rendah. Dengan demikian, usaha pencegahan dan penanggulangan yang dicanangkan, melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, seringkali tak efektif bahkan tidak tepat sasaran karena tidak bergerak secara rizomatik kepada permasalahannya.
Dalam hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), tercatat satu dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Dalam satu tahun terakhir (2015-2016), sekitar 8,2 juta perempuan atau 9,4 persen mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Dalam hasil survei, perempuan yang tinggal di perkotaan mengalami kekerasan fisik dan seksual paling tinggi dibandingkan perempuan di pedesaan. Yang paling banyak mengalami kekerasan adalah mereka yang berlatar pendidikan SMA ke atas (39,4 persen) dan berstatus tak bekerja (35,1 persen).
Sebuah Langkah dan Terobosan Baru
Terobosan SPHPN ini, mengadopsi kuisioner WHO “Women’s health and life experiences” yang memang didisain khusus untuk informasi kekerasan terhadap perempuan. Para peneliti dipilih yang sudah berpenglaman. Mereka juga mendapat pelatihan selama 10 hari sebelum melakukan wawancara. Pelatihan tersebut seputar materi wawancara, materi etika dan keselamatan, gender dan kekerasan, serta praktek wawancara.
Sebagai sampel data, selain demografi perempuan berumur 15-64, penelitian dilakukan dalam letak geografis secara nasional. Jadi, daerah perkotaan dan pedesaan juga terekam dalam survei SPHN. Hasilnya, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.
Pasangan yang dimaksud adalah suami, pasangan yang hidup bersama (tidak menikah), pasangan seksual yang tinggal terpisah. Sedangkan selain pasangan, figur yang juga melakukan kekerasan antara lain, orangtua, keluarga (kakek/paman/sepupu/dll), teman atau tetangga, guru, aparat keamanan, majikan, dan lainnya.
Kekerasan yang dialami juga tidak hanya fisik, tetapi juga seksual. Perempuan mengalami empat jenis kekerasan yang sering dialami yakni, ditampar, dipukul, didorong atau dijambak, ditendang dan dihajar. Sedangkan kekerasan seksual yang menimpa perempuan yang paling banyak terjadi pada pasangan antara lain, pemaksaan hubungan secara fisik, baik dengan tindakan mengancam atau dengan cara merendahkan.
Hasil survei juga mengungkap kekerasan yang dilakukan oleh pasangan yang pernah atau yang sudah menikah. Kekerasan dilakukan secara emosional berupa membuat diri menjadi rendah, mengintimidasi, dan mempermalukan dengan orang lain. Sedangkan secara ekonomi, perempuan seringkali tidak diperbolehkan bekerja oleh pasangan, menolak memberikan uang belanja, hingga mengambil penghasilan tanpa izin. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh pasangan juga merunut pada sikap yang selalu ingin tahu keberadaan setiap saat, marah jika berbicara dengan laki-laki lain, dan selalu curiga.
“Selama ini, data kekerasan yang digunakan hanya berdasarkan data kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan, seperti gunung es, yang hanya terlihat puncaknya saja. Oleh sebab itu, survei ini menjadi sangat penting agar mempunyai data yang representatif, yang dapat manggambarkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan sehingga diharapkan hasilnya dapat menjadi dasar dalam perencanaan dan evaluasi berbagai program, kebijakan, dan kegiatan yang dilakukan dalam upaya perlindungan terhadap perempuan,” jelas Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Venetia R Danes, ketika merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 bersama BPS di Jakarta, Kamis (30/3).
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap yang selama ini terjadi di Indonesia pada akhirnya memiliki bentuk dan tolak ukur berkat Survei Pengalaman Hidup Nasional (SPHN). Dengan ini, cara menanggulangi dan memperkecil angka kekerasan melalui usaha yang spesifik akan dpaat dilaksanakan. Selain itu, pastinya negara dapat melakukan langkah konkret yang efektif untuk menekan kecilnya angka kekerasan perempuan di Indonesia.
Selama ini, jejak kekerasan berhasil ditilik berdasarkan laporan-laporan yang datang ke Komnas Perempuan. Setelah laporan datang, pihak komisioner akan terjun dan mendampingi atau memediasi korban untuk mendapatkan peradilan atau bantuan hukum. Namun, belum ada penelitian khusus yang menelaah kekerasan terhadap perempuan. Sehingga, langkah ini merupakan sebuah terobosan sekaligus kemajuan dalam usaha ‘memanusiakan’ perempuan.
Mula Kekerasan, Dari Privat ke Publik
Karena titel sebagai alat reproduksi, alat pemuas, hingga alat tukar pada tubuh perempuan, atas dasar relasi kepemilikan laki-laki, perempuan menjadi sasaran tindakan, kontrol, dan objek kepemilikan.
Perempuan didomestifikasi, dipenjara, dan kemampuannya direduksi hanya sebagai kerja reproduktif, pelayanan, dan pemeliharaan. Dari ranah privat tersebut, dilanjutkan ke ranah publik, lalu dipantulkan kembali ke ranah privat, sehingga hampir semua perempuan mengalami semua atau salah satu kekerasan seperti: diskriminasi, marjinalisasi, labelisasi (stereotip), komodifikasi, objek seksual, dan korban pemiskinan (feminisasi kemiskinan).
Serupa Namun Tak Sama
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi atas basis SARA, kebangsaan, kemampuan tubuh dan orientasi seksual, begitu yang diungkapkan Zely Ariane. Sedangkan eksploitasi, merupakan pengambilan nilai lebih (surplus) dari hasil akumulasi kerja kelas tertentu oleh kelas lain. Eksploitasi terjadi atas kelas kapitalis (pemilik modal) terhadap kelas pekerja (pemilik kerja/buruh), sehingga memungkinkan beberapa kelompok masyarakat memiliki kapital jauh lebih banyak dibandingkan beberapa kelompok masyarakat atau golongan tak berpunya.
Dengan begini, kepentingan yang bersebrangan juga tercipta. Seorang pemilik usaha berjenis kelamin perempuan, belum tentu memiliki keberpihakan terhadap kesejahteraan pekerja perempuannya. Ia bisa saja tidak membela pekerjanya yang mengalami kekerasan, atau bahkan (mungkin) ikut berkontribusi atas terjadinya hal tersebut.
Eksploitasi merupakan cikal bakal kemiskinan struktural, menyebabkan terciptanya kelas 1 persen, atau mereka yang aset dan kekayaannya sangat terkonsentrasi, sementara mayoritas masyarakat hidup bertolak belakang. Dengan demikian, beberapa perempuan yang berasal dari kelas yang diuntungkan oleh kelas pemilik kapital, mempunyai lebih banyak pilihan terkait pendidikan, layanan kesehatan, teknologi, kebudayaan dibandingkan dengan perempuan yang berasal dari kelas non-pemilik kapital.
Sama halnya ketika Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris berjenis kelamin perempuan, yang pertama kali memberlakukan kebijakan pencabutan subsidi layanan sosial atas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga mengecilkan akses perempuan untuk hidup maju dan sehat.
Contoh lainnya, seperti yang dikisahkan Zely, adalah perbedaan nasib yang menimpa Rihanna, penyanyi kenamaan Amerika Serikat, dengan Bu Sri, seorang buruh KBN Cakung, yang sama-sama mengalami kekerasan terhadap pasangannya. Rihanna yang memiliki akses serta kekayaan lebih tidak bergeming untuk melawan kekerasan yang dialaminya dibandingkan Bu Sri yang dengan tegas berani melepas diri dari suami yang menyiksa.
Keberanian dan kemandirian perempuan tidak selalu ditentukan oleh sejauh mana aksesnya terhadap kekayaan, namun sejauh mana ia sadar dan mau memperjuangkan kepentingannya sebagai perempuan. Namun, tingkatan kekerasan sangat ditentukan oleh derajat kelas, semakin dalam eksploitasi kelas, semakin tinggi tingkat kekerasannya.
Maka dari itu, kita tidak bisa menggeneralisir pengalaman kekerasan yang terjadi pada perempuan. Kekerasan, baik kepada perempuan, sifatnya sistemik dan bersifat universal, namun spesifik. Untuk mengatasinya, maka diperlukan pula usaha yang spesifik pula.
Membebaskan Perempuan dan Masyarakat
Kesadaran, pergerakan, dan perjuangan perempuan yang membuat masyarakat terus berjalan dan bergerak dinamis. Orientasi pembangunan dan hal-hal yang mereproduksi kebudayaan-kebudayaan yang menindas perempuan harus ditransformasi. Sekolah Feminis Perempuan Mahardhika menunjukan, institusi, yang kerap mereproduksi kekerasan terhadap perempuan, dan harus mengalami transformasi adalah,
- Keluarga
- Institusi Agama
- Negara
- Sistem Pendidikan
Perjuangan perempuan untuk bebas dari kekerasan dan penindasan, selalu terkait dengan perjuangan kelasnya. Kedua hal tersebut sama-sama bertujuan mengubah masyarakat yang tersegregasi dalam kelas, menjadi masyarakat baru yang adil dan setara.
Menjadi Perempuan (dan Laki-Laki) di Indonesia
Mari dalami makna Beauvoir dalam “One is not born, but rather becomes a woman” yang berarti seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan. Semua perempuan tertindas dan mengalami kekerasan sebagai perempuan, dan kekerasan tersebut terjadi bukan karena takdir sejarah.
Menjadi perempuan, membuat seseorang langsung diberikan sebuah peran, tempat, posisi, fungsi-fungsi tertentu yang dibedakan dari laki-laki (secara jenis kelamin). Ia menjadi perempuan hanya mengetahui peran, fungsi, dan posisi yang ditempelkan padanya oleh keluarga dan masyarakatnya. Karena itulah, sebagian besar perempuan tak sadar bahwa dirinya sebagai perempuan mengalami penindasan.
Inilah pengambaran gender, ia tidak lahir di ruang hampa, ia lahir akibat konstruksi masyarakat yang berkembang karena adanya relasi sosial dan kuasa penindasan dan eksploitasi antar manusia. Masyarakat sendiri pun tidak statis, selalu bergerak dan berubah seiring kontrasnya kekuatan sosial. Namun, selalu ada kamar-kamar kesempatan bagi perempuan untuk menjadi perempuan baru, perempuan yang selalu berjuang melawan eksploitasi dan kekerasan terhadap dirinya sebagai perempuan, sekaligus sebagai manusia.
Walau tak bisa diukur dan dikenali mata telanjang, ada relasi kuasa terhadap laki-laki dan perempuan yang lahir bukan atas keinginan laki-laki. Dalam keadaan tersebut, laki-laki mendapatkan previlese (keistimewaan). Sistem konstruksi tersebut bernama patriarki. Sayangnya, untuk mengenali patriarki, seseorang harus mengalami kekerasan yang menimpa dirinya maupun orang terdekatnya terlebih dahulu.
Laki-laki, dalam level yang berbeda (dari posisi dan skala), turut mengalami penderitaan dalam kekerasan gender. Kerugian yang dialami laki-laki lebih banyak dirasakan dalam ranah peran sosial dan ekspresi gender yang dilekatkan padanya. Contohnya, jika laki-laki diharuskan menjadi pencari nafkah, maka ketika ia tak bisa dan istrinya yang melakukannya, laki-laki tersebut dicitrakan sebagai laki-laki tak bertanggung jawab. Dengan demikian, patriarki menyakiti baik laki-laki dan perempuan, dalam level yang berbeda.
Dengan memahami data yang sudah dihimpun melalui SPHPN dan mengenali benih-benih kekerasan perempuan, Pemerintah dapat membuat sebuah badan perlindungan yang memanusiakan dan melindungi perempuan. Walaupun ‘terasa’ agak lambat, namun hadirnya SPHPN merupakan sebuah batu loncatan yang patut diapresiasi dalam usaha menekan kasus kekerasan perempuan di Indonesia.