HomePolitikTidak Semua Sayang Susi Pudjiastuti

Tidak Semua Sayang Susi Pudjiastuti

Oleh Aditya Eka Pratama, Sarjana Manajemen dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memang dikenal sebagai salah satu pejabat yang sangat populer di masyarakat. Namun, meski begitu, tak semua orang sebenarnya sayang terhadap Susi. Siapa mereka?


PinterPolitik.com

Susi Pudjiastuti menjadi idola baru di kancah perpolitikan Indonesia. Jauh sebelum penunjukan Nadiem Makarim sebagai menteri mengejutkan banyak pihak, Susi sudah membuat heboh lebih dulu – apalagi kalau bukan karena dirinya yang dipercaya mengisi posisi Menteri Kelautan dan Perikanan di awal masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Walaupun tidak ada yang meragukan pengalamannya di sektor bisnis perikanan, latar belakangnya yang hanya lulusan SMP, merokok, dan memiliki tato di badannya membuat Susi terlihat lebih cocok menjadi musisi rock ketimbang pejabat negara.

Belum lagi ditambah dengan aksinya yang suka nyeleneh – seperti fotonya yang sedang ngopi santai diatas paddle board di tengah laut viral di dunia maya sampai keberaniannya melempar tantangan kepada pendiri Facebook, Mark Zuckerberg untuk lomba paddling dengan dirinya. Betul-betul berlawanan dengan gambaran seorang pejabat pada umumnya yang kalem, serta berusaha menjaga image di depan kamera.

Tentu, bukan cuma itu saja yang bisa dilakukan Susi. Gebrakannya dengan meledakkan kapal asing yang berani mengambil ikan di perairan Indonesia mengundang kontroversi di berbagai penjuru negeri. Tercatat sudah lebih dari 500 kapal asing yang ditenggelamkan karena tetap nekat menerobos laut Indonesia.

Kapal tersebut rata-rata berasal dari negara tetangga sendiri, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, hingga Tiongkok. Sikap kerasnya tersebut diklaim berhasil meningkatkan produksi nelayan dalam negeri dengan naiknya tangkapan mereka, serta menegakkan kembali harga diri dan kedaulatan bangsa di hadapan negara asing – sesuatu yang selama ini dianggap hilang dari pemerintahan sebelumnya.

Mungkin, inilah yang membuat Susi menerima penghargaan dari Line Indonesia Awards 2019 sebagai Tokoh Publik Paling Dikagumi. Tindak-tanduknya menarik perhatian masyarakat. Tak ayal, Susi menjadi kesayangan banyak orang.

Sayangnya, nama Susi tidak masuk dalam kabinet periode kedua Jokowi. Sementara itu, wajah-wajah lama seperti Sri Mulyani Indrawati, Budi Karya Sumadi, dan Basuki Hadimuljono tetap dipertahankan.

Padahal berdasarkan banyak survei, kinerja Susi mendapat respon paling positif dari publik. Dibandingkan dengan Sri Mulyani yang sering dikritik sebagai “menteri utang”, Susi justru jarang mendapat serangan dari pihak lain terkait kebijakannya, bahkan oleh oposisi sekalipun. Tanpa ada cela, lantas mengapa Susi tetap terpental dari kursi menteri?

Baca juga :  Indonesia Akan Merapat ke AS di Era Prabowo?

Memanen Musuh

Susi bisa saja menjadi idola baru di tengah masyarakat tetapi tidak semua keputusan yang diambilnya bisa menyenangkan semua pihak. Pihak yang paling pertama terpukul akibat kebijakan Susi sudah pasti adalah nelayan asing.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah tangkapan ikan laut nelayan-nelayan dari Thailand mengalami penurunan di tahun 2014 —  bertepatan dengan keluarnya moratorium kapal eks-asing dan pelarangan transhipment ke luar negeri. Tren penurunan tersebut masih berlanjut hingga tahun 2017. Ini belum menghitung dampak yang juga dialami negara lain.

Larangan yang ditujukan untuk menyasar nelayan asing tersebut nyatanya juga membuat “mafia” dalam negeri meradang. Berdasarkan laporan investigasi Majalah Tempo di tahun 2015 lalu, kapal asing dari negara luar selama ini bisa bebas keluar masuk perairan Indonesia justru karena ada bantuan dari orang Indonesia sendiri.

Disinyalir, sejumlah pengusaha asal Indonesia bekerja sama dengan pihak nelayan asing dengan cara berpura-pura membeli kapal dari luar negeri. Setelah kepemilikan kapalnya dialihkan, pengusaha Indonesia tersebut mengubah status kapalnya, dari kapal asing menjadi kapal Indonesia.

Hal ini dilakukan karena hanya kapal berbendera Indonesia lah yang dapat menangkap ikan di perairan Nusantara. Faktanya, kapal tersebut hanya berpindah tangan di atas kertas. Di lapangan kapal tersebut masih milik nelayan asing tadi.

Tujuannya adalah untuk menutupi identitas pemilik kapal yang sebenarnya sehingga kapal milik asing tersebut leluasa masuk perairan Indonesia. Jelaslah sudah kongkalikong yang selama ini banyak merugikan nelayan-nelayan kita.

Selain itu, praktik illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing diperkirakan telah menggerogoti potensi pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS atau sekitar 56 triliun rupiah per tahunnya. Dengan jumlah perputaran uang sebesar itu, wajar ada pihak-pihak tertentu yang kemudian merasa terusik dengan Susi. Alih-alih mendapat teman, Susi justru menuai musuh baru.

Baca juga :  Mengapa Trah Jokowi Sukses dalam Politik?

Susi Disingkirkan?

Sudah menjadi rahasia umum apabila pebisnis kerap kali menjalin hubungan gelap dengan penguasa untuk mengamankan kepentingan pribadinya. Sergei Guriev dan Andrei Rachinsky dalam tulisannya The Role of Oligarchs in Russian Capitalism mengungkapkan bahwa para pebisnis Rusia membentuk semacam kelompok lobi yang mempromosikan agenda-agenda mereka. Mengandalkan kedekatannya dengan Vladimir Putin, kelompok lobi ini bisa mengintervesi pemerintah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka, seperti pengurangan tarif pajak, menolak perbaikan sistem pengadilan, mencegah reformasi birokrasi terjadi, hingga mematikan pendatang baru di bisnis yang mereka geluti. Bahkan, dalam satu kasus, mereka sanggup mempengaruhi kebijakan luar negeri pemerintah Rusia.

Hal yang sama terjadi pula di Indonesia. Muhammad Ali Azhar dengan tulisan yang berjudul  Relasi Pengusaha-Penguasa Dalam Demokrasi menyebutkan di negara berkembang seperti Indonesia, para pengusahanya berusaha masuk ke dalam lingkaran elite agar dapat menikmati perlakuan istimewa dan perlindungan politik dari penguasa. Sebagai gantinya, pengusaha harus memberi dukungan pula dalam bentuk finansial atau politik kepada penguasa yang telah membantunya.

Hubungan mutualisme ini membuat pengusaha di Indonesia bisa leluasa untuk menegosiasikan hambatatan-hambatan yang mereka alami. Terlepas benar atau tidaknya dugaan tersebut, yang pasti patut dicurigai adanya pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai tindakan Susi karena mengganggu urusan mereka.

Jika sekelompok orang tersebut kebetulan memiliki akses politik yang luas, mereka bisa saja memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan sejumlah lobi untuk menjegal Susi.

Hal tersebut sepertinya sedikit lagi akan tercapai setelah Menteri Perikanan dan Kelautan yang baru, Edhy Prabowo, mengeluarkan wacana untuk menghapus sejumlah kebijakan-kebijakan yang selama ini diterapkan Susi. Edhy mungkin memiliki alasan tersendiri tetapi, apapun hasilnya, kita berharap nelayan Indonesia lah yang berjaya di laut sendiri, bukan nelayan asing.

Tulisan milik Aditya Eka Pratama, Sarjana Manajemen dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...