HomeSejarahGreen Day dan Narasi Politik Punk Rock

Green Day dan Narasi Politik Punk Rock

Dalam perjalanan sejarahnya, musik tidak hanya menjadi penghibur manusia, melainkan juga menjadi sarana dalam mengungkapkan narasi-narasi politik. Band punk rock asal Amerika Serikat (AS) Green Day adalah salah satu yang menunjukkannya.


PinterPolitik.com

Bagi yang lahir tahun 90-an, pasti tidak asing dengan lagu berjudul Boulevard Broken Dreams yang menjadi karya band punk rock asal Amerika Serikat (AS) Green Day. Lagu ini bisa dibilang jadi salah satu tembang-nya generasi milenial.

Green Day adalah band yang berdiri sejak tahun 1987. Digawangi oleh Billie Joe Armstrong, Mike Dirnt, dan Tré Cool, grup musik ini menjadi penghias panggung musik dan populer sejak era 90-an akhir, hingga awal 2000-an. Kiprah mereka tak perlu diragukan. Mereka telah meraih 20 nominasi Grammy Award dan memenangkan 5 di antaranya. Demikian pun dengan segudang penghargaan lainnya.

Adapun lagu Boulevard Broken Dreams berasal dari album American Idiot yang nyatanya merupakan album yang sangat politis. Ini terkait kritik-kritik sosial-politik yang ditampilkan Green Day di dalam lagu-lagu di album tersebut.

Lagu Wake Me Up When September Ends yang merupakan salah satu lagu di album itu,misalnya, ditampilkan dalam video klip dengan narasi anti perang. Pun begitu dengan lagu American Idiot, yang dari judulnya saja sudah berisi kritik.

Bicara soal kritik politik bukanlah hal yang asing untuk Green Day. Banyak lagu yang mereka buat memang menjadi media mereka menampilkan kritik sosial dan politik. Album 21st Century Breakdown, misalnya, juga sarat akan kritik dan sikap anti terhadap perang.

Pengaruh Ideologi Punk

Konteks kritik politik dalam lagu-lagu Green Day sebenarnya bukanlah hal yang aneh. Sebagai sebuah band bergenre punk rock, jelas Green Day mendapatkan banyak pengaruh dari ideologi punk itu sendiri.

Dikutip dari The Oxford Handbook of Music and Disability Studies, ideologi punk identik dengan nilai-nilai egalitarianisme, humanitarianisme, anti-otoritarianisme, anti-konsumerisme, anti-perang, anti-korporatisme, anti-konservatisme, dan masih banyak yang lainnya.

Ideologi punk ini termanifestasi juga dalam punk subculture. Gerakan ini muncul di Inggris pada pertengahan tahun 1970-an dan bisa dilihat dalam bentuk fashionvisual artdance, musik, sastra, dan film. Punk juga dianggap sebagai salah satu counterculture.

Counterculture sendiri adalah gerakan budaya yang nilai-nilai dan normanya berbeda secara substansial dari masyarakat umum atau mainstream society. Tidak jarang bahkan perbedaan itu sangat diametral atau berlawanan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Beberapa contoh counterculture yang lain adalah Levellers, Bohemianism, Beat Generation, dan lain sebagainya.

Nah, punk subculture – atau dalam konteks musik, punk rock itu sendiri – pada dasarnya memiliki banyak turunan. Dari semua turunan itu yang jelas mereka umumnya merepresentasikan nilai anti terhadap mainstream society.

Mungkin itulah salah satu alasan mengapa lagu-lagu Green Day punya narasi-narasi kritik politik dan sosial.

Menariknya, Green Day sendiri juga tidak lepas dari sasaran kritik. Mengingat salah satu akar dari punk subculture adalah anti-korporatisme, keberadaan Green Day dalam industri musik oleh beberapa pihak dianggap berseberangan dengan narasi punk subculture.

Terlepas dari kritik tersebut, dengan ada dalam industri, suara protes dan kritik politik Green Day menjadi lebih didengar dan punya resonansi yang lebih besar.

Musik sebagai Corong Politik

Hal lain yang menarik untuk disoroti adalah kemampuan musik menjadi alat representasi sikap politik. Musik memang untuk waktu yang lama sering kali dianggap sebagai alat ekspresi dalam gerakan perubahan atau revolusi. Musik juga menjadi intisari dari gerakan anti-kemapanan atau antiestablishment.

Sebenarnya, masih sedikit penelitian terkait seberapa besar dampak musik terhadap pandangan politik seseorang. Namun, Mark Pedelty dan Linda Keefe menyebutkan bahwa musik bisa menjadi alat untuk menyatukan komunitas masyarakat berdasarkan kesamaan identitas maupun kepentingan politik.

Dalam konteks Green Day, kesamaan identitas itu adalah dalam narasi punk rock. Sementara dalam nilai kebangsaan, kita bisa melihat lagu Arirang yang menjadi identitas masyarakat Korea. Terkait persoalan kebangsaan itu pula kita mengenal lagu-lagu kebangsaan. Lagu-lagu tersebut menjadi intisari nilai yang dipercaya mewakili kesatuan komunitas masyarakat.

Sebagai tambahan, lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus merupakan lagu kebangsaan tertua di dunia dan telah digunakan sejak tahun 1572. Sementara lirik lagu kebangsaan Jepang Kimigayo adalah yang tertua, dipercaya ditulis antara tahun 794 hingga 1185.

Anyway, pada akhirnya, musik memang punya pertalian dengan idealisme. Beethoven saja bisa marah-marah ketika mengetahui Napoleon Bonaparte yang dibuatkan Symphony No 3 yang begitu merdu akhirnya mengkhianati janji demokrasi setelah mengangkat dirinya menjadi Kaisar Prancis.

Demikian pun dengan Green Day, mereka bisa marah-marah dalam lagu-lagunya, bahkan menyebut masyarakat di negaranya sebagai “idiot”. Apapun itu, yang jelas karya-karya musik memang indah, tetapi juga punya makna politis dalam setiap interpretasinya. Sebab, it is music and it is politic.


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...