HomeRuang PublikRefleksi ‘1984’ di Masa Kini

Refleksi ‘1984’ di Masa Kini

Oleh Muhamad Fardhansyah

Sudah 72 tahun sejak novel 1984 karya George Orwell diterbitkan. Namun, bukan tidak mungkin, situasi yang mirip dengan kisah novel tersebut semakin mencuat di kehidupan nyata pada masa kini.


PinterPolitik.com

Buku yang berjudul 1984 merupakan sebuah novel yang diterbitkan pada tahun 1949 oleh Eric Arthur Blair – atau dikenal sebagai George Orwell. Buku ini sangat terkenal pada masanya – bahkan hingga saat ini – karena menceritakan mengenai distopia yang dibayangkan oleh Orwell pada tahun 1984. Kisah ini dinilai masih relevan setelah 72 tahun sejak buku ini diterbitkan.

Winston Smith sebagai protagonis dari George Orwell hidup dalam kondisi pemerintahan totaliter. Dalam novel ini, dunia dibagi menjadi tiga negara adidaya, yakni Eurasian, Eastasian, dan Oceania yang menjadi tempat Winston tinggal.

Kondisi ketiga negara tersebut diceritakan sedang dalam situasi perang yang membuat struktur dalam negeri berantakan dan pemerintahan menjadi tersentralisasi. Winston bekerja sebagai pegawai di Kementerian Kebenaran (Ministry of Truthyang dalam buku ini disingkat menjadi “Minitrue”. Ia bertugas untuk menuliskan ulang sejarah setiap waktu sehingga fakta sejarah tidak ada yang tetap dan selalu berubah-ubah sesuai pemerintahan saat itu.

Masyarakat sipil Oceania, termasuk Winston juga hidup dalam pengawasan yang ketat selama 24 jam oleh Pemerintah di setiap aktivitasnya. Mereka diawasi oleh sebuah “teleskrin” atau televisi yang tidak bisa dimatikan dan menayangkan propaganda pemerintah tetapi sekaligus merekam setiap aktivitas masyarakat.

Lingkungan sekitar pun ditambah dengan banyaknya baliho pemimpin dengan seraut wajah pada baliho dan suara pada teleskrin pemimpin negara saat itu yang dikenal sebagai “Big Brother.” Baliho-baliho yang bertuliskan slogan “Big Brother is Watching You” menambah situasi yang lebih mencekam dengan tidak adanya kebebasan yang dimiliki oleh masyarakat sipil Oceania.

Masyarakat diawasi selama 24 jam, serta saluran komunikasi ditutup dengan tujuan agar tidak ada pembangkangan. Bagi mereka yang melakukan pembangkangan atau tidak sesuai dengan aturan pemerintah, maka akan diuapkan atau dihapus – mulai dari akta kelahiran, identitas, bahkan pikiran orang sekitarnya – seakan-akan orang tersebut tidak pernah ada.

Teleskrin serta mikrofon di setiap area publik maupun pribadi membuat masyarakat tidak akan berani untuk melewati garis yang telah ditetapkan pemerintah. Yang paling mengerikan adalah terbatasnya kebebasan sipil, seperti hak untul berpendapat hingga hak untuk berpikir. Oleh karena itu, pemerintah memiliki Polisi Pikiran untuk membatasi hak-hak itu.

Setelah 72 tahun berselang sejak buku ini diterbitkan, kehidupan Winston mungkin membuat kita merasakan déjà vu dengan beberapa peristiwa yang terjadi baru-baru ini – khususnya kebebasan dalam berpendapat yang dinilai semakin tergerus bahkan di media sosial. Banyaknya baliho politikus yang berkontestasi memenuhi ruang publik di setiap sisinya – seakan-akan sedang mengawasi kita.

Munculnya Polisi Siber yang seakan-akan merupakan pedang bermata dua dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat menjerat siapa saja akibat multi-tafsir terkadang membuat masyarakat takut ketika ingin berpendapat di media sosial.

Contohnya baru-baru ini adalah ketika salah satu akun sebuah institusi menanggapi komentar masyarakat sipil dan berlanjut dengan upaya pemanggilan orang tersebut serta adu mulut secara online melalui Instagram. Kemudian, viral juga tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat dalam sebuah acara televisi yang terekam memaksa untuk menggeledah ponsel milik wargasipil tanpa adanya surat dari pengadilan setempat.

Atau mungkin, ada juga peristiwa yang sempat viral di media sosial ketika seseorang mendapat banyak ancaman setelah mengkritik aparat kepolisian. Beberapa peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa, jika ingin aman, lebih baik tidak usah melewati batas –ama seperti di novel ‘1984’ yang digambarkan agar masyarakat Oceania tetap patuh dan tidak berbuat macam-macam.

Winston dihadapkan pada pilihan bisa hidup seperti biasa, bangun tidur, pergi bekerja selama 20 jam sehari, mengikuti aturan dari pemerintah, dan mati dengan tenang; atau mencoba untuk keluar dari garis batas tetapi mendadak ada polisi yang menembak ketika kalian berjalan di lorong yang gelap.

Potret kehidupan yang penuh dengan kontrol sosial melalui disinformasi dan pengawasan yang berlebihan merefleksikan minimnya transparansi yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti dalam novel, yang dikatakan negara sedang dalam kondisi perang tetapi masyarakat tidak tahu betul apakah negara benar-benar sedang berperang.

Disinformasi tersebut tercermin pada kondisi saat ini dan merupakan hal umum yang kerap ditemui saat ini, seperti kasus mengenai minimnya transparansi data mengenai kasus Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia.

Istilah transparansi sebenarnya muncul sebagai lawan dari korupsi – sama halnya dengan good governance yang berkembang sebagai selubung untuk menutupi fakta bad governance (Nuitjen et al, 2007). Pada akhirnya, oposisi biner tersebut memproduksi stereotip dan menjadi masalah.

Orwell mengungkapkan hal tersebut dengan menggambarkan masyarakat Oceania untuk bersikap “doublethink”, yakni berusaha untuk menerima perspektif lain meskipun bertentangan di satu waktu. Mereka pada akhirnya tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah.

Kebenaran di sini hanya apa yang sesuai dengan narasi pemerintah, misalnya jika pemerintah mengatakan 2+2=5, maka 2+2=4 sudah tidak berlaku lagi. Kondisi masyarakat tersebut mungkin menjadi pemantik apakah sebuah kebenaran berlaku kepada siapa penguasa saat itu. Bagi mereka yang memiliki kebenaran lain maka ‘teleskrin’ akan merekam orang tersebut yang langsung terhubung dengan saluran partai tunggal di Oceania, yakni Ingsoc.

Peristiwa yang sempat viral di media sosial mengenai komentar “mampus” oleh salah satu netizen pada unggahan akun instansi kepolisian mungkin menjadi contoh bahwa kebenaran itu relatif dan, bahkan dari pihak kepolisian, mengimbau orang tersebut untuk ke kantor untuk dimintai keterangan.

Kemudian, dalam sebuah acara stasiun televisi, menayangkan tindakan kepolisian yang memaksa untuk menggeledah ponsel salah satu masyarakat sipil secara paksa dengan dalih memiliki wewenang yang pada akhirnya berujung panjang. Sebuah tanda tanya besar mencuat. Mungkinkah masyarakat dapat dengan bebas berpendapat dan memiliki kuasa atas ranah privatnya?

Tidak hanya menarasikan ulang sejarah, dalam novel 1984, pemerintah bahkan membuat ulang kosa kata baru agar sesuai dengan tujuan pemerintah saat itu. Mereka memangkas dan membatasi kata-kata menjadi sebuah bahasa baru yang dinamakan “Newspeak”.

Dengan membatasi kata-kata yang dalam masyarakat, maka pemerintah secara otomatis bisa memaksa masyarakatnya untuk berpikir sesuai dengan tujuan pemerintah. Pemerintah dapat dengan sangat mudah mengubah sebuah definisi yang sudah ada sebelumnya.

Dengan membaca buku 1984, kita dapat menemukan banyak kesamaan yang dirasakan sebagai masyarakat pada kondisi saat ini. Pengawasan (surveillance) baik dalam novel itu ataupun dalam kehidupan nyata tidak hanya untuk mengontrol masyarakat, melainkan juga menciptakan paranoid atau rasa takut dalam masyarakat mengenai apa yang harus dan tidak dilakukan sebagai masyarakat.

Memang, faktanya, kita tidak benar-benar hidup dalam situasi dan kondisi yang dialami oleh Winston. Namun, hal tersebut dapat menjadi gambaran ke depan mengenai situasi dan kondisi negara yang dipimpin oleh sekelompok elite.

Jangan sampai kebebasan berpendapat dipereteli sedikit demi sedikit. Masyarakat harus dapat mendorong akan keterbukaan informasi. “Censoring information is called protecting the truth.”


Profil Ruang Publik - Muhamad Fardhansyah

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...