HomeRuang PublikDilema Pilkada 2020 Kala Covid-19

Dilema Pilkada 2020 Kala Covid-19

Oleh Rendy Merta Rahim

Banyak pihak mengusulkan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ditunda akibat ancaman Covid-19. Meski begitu, terdapat dilema yang bisa saja menghantui.


PinterPolitik.com

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan beberapa anggotanya dinyatakan positif virus Corona. Mereka lantas melakukan isolasi mandiri dan menjalankan tugas secara work from home (WFH) karena kondisi mereka terlihat sehat tanpa gejala.

Salah satunya, Evi Novida Ginting, sudah dinyatakan sembuh dan kembali bekerja secara normal. Begitu pun anggota pengawas pemilu (Bawaslu), Ratna Dewi Pettalolo.

Di daerah-daerah ada juga beberapa penyelenggara pemilu terpapar oleh Corona seperti di Jimbaran, Bali, Gresik, Jawa Timur; Agam, Sumatera Barat; Sibolga, Sumatera Utara; Boyolali, Jawa Tengah; Tangerang Selatan, Banten; dan Gorontalo. Sementara itu, tes swab terus digalakkan – bukan tidak mungkin kondisi di daerah-daerah lain kondisinya sama.

Karena itu, beberapa kantor penyelenggara, di jajaran peserta pemilu, yakni para calon kepala daerah (cakada) juga tidak sedikit yang telah terinfeksi virus Corona. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan pada saat mendaftar saja, sudah puluhan cakada yang terkonfirmasi positif.

Di antaranya bahkan ada yang meninggal dunia seperti di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dengan mencermati perkembangan kasus Corona baik di kalangan penyelenggara maupun peserta, jelas bahwa Pilkada 2020 yang akan di gelar di 270 daerah meliputi 9 Pilkada Provinsi, 224 Pilkada Kabupaten, dan 37 Pilkada kota benar-benar dalam ancaman wabah Corona.

Opsi Penundaan

Setelah melihat perkembangan wabah Corona yang semakin tidak terkendali, sudah banyak kalangan yang mengusulkan Pilkada sebaiknya ditunda penyelenggaraannya sampai batas waktu yang sekiranya memungkinkan untuk diselenggarakan secara aman. Untuk saat ini, hingga jadwal yang telah ditetapkan, 9 Desember 2020, kondisinya masih sangat mengkhawatirkan.

Meskipun ada ketentuan penerapan protokol kesehatan secara ketat, sama sekali tidak menjadi jaminan Pilkada aman dari ancaman wabah Corona. Pasalnya, pada tahap pendaftaran bakal calon 4-6 September 2020 saja, menurut Bawaslu telah terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan. Pelanggaran yang sangat tampak terutama dari ketentuan menjaga jarak dan kewajiban memakai masker.

Terlebih, pada saat bakal calon melakukan deklarasi, yang masing-masing berlomba unjuk kekuatan dengan menciptakan kerumunan massa dalam jumlah yang sangat besar. Dalam batas-batas tertentu hampir dapat dipastikan terjadi pelanggaran protokol kesehatan, baik yang dilakukan oleh bakal calon maupun oleh para pendukung mereka.

Sebagai dampaknya, pasca-deklarasi dan pendaftaran dilaporkan semakin banyak orang yang dinyatakan terpapar Corona. Tidak bisa dibayangkan, pada saat kampanye yang merupakan ajang perlombaan kekuatan massa, disertai dengan kemungkinan pentas musik yang tidak dilarang pula, sudah tentu suasananya semakin mengkhawatirkan, oleh karena itu usul penundaan penyelenggara Pilkada menjadi semakin kuat untuk dipertimbangkan.

Baca juga :  Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Keselamatan Jiwa Diutamakan

Di antara pihak yang sudah mengusulkan penundaan pelaksanaan Pilkada ialah ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Komnas HAM, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Penundaan terutama disebabkan oleh kekhawatiran luar biasa akan semakin meledaknya kasus Corona.

Pilkada pada dasarnya merupakan pekerjaan mulia, yakni untuk memilih pemimpin daerah yang harapannya akan melahirkan perubahan yang konstruktif terutama di daerah masing-masing. Dalam Pilkada, terdapat proses politik yang menjadi pelajaran penting bagi setiap warga negara, tentang bagaimana menentukan pilihan dengan pertimbangan yang rasional dan objektif. Juga tentang bagaimana meminta dan menuntut pertanggung jawaban dari setiap janji yang diucapkan oleh para pemimpin politik.

Namun, pekerjaan mulia ini harus diabaikan jika suasananya berpotensi membahayakan jiwa manusia. Pada saat kita dihadapkan oleh dua pilihan antara mengambil manfaat dengan menghindari bahaya, menghindari bahayalah yang harus didahulukan.

Jangankan Pilkada yang merupakan transaksi politik antar manusia, bahkan ibadah yang menjadi sarana audiensi antara manusia dan Tuhan pun harus ditinggalkan jika berada dalam bahaya. Semua pihak yang memiliki tanggung jawab serta memiliki kewenangan dalam pelaksanaan Pilkada; KPU, Bawaslu, dan Pemerintah harus benar-benar memberi perhatian dan fokus terhadap masalah keselamatan jiwa.

Menyelamatkan jiwa dan nyawa warga setiap negara harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah yang ditempuh, termasuk dalam penyelenggaraan Pilkada yang menurut dalam setiap langkah yang ditempuh, termasuk dalam penyelenggaraan Pilkada yang menurut kajian para ahli epidemiologi akan menjadi medan terbuka bagi berkembangnya virus Corona.

Pada saat sumber daya negara dan segenap warga negaranya tengah memberikan kosentrasi tertinggi dan penuh dalam upaya mencegah penularan virus atau wabah Corona akan sangat ironis tentunya jika Pilkada serentak yang diselenggarakan dengan menyedot anggaran lebih dari Rp 27,84 triliun justru menjadi arena penyebaran virus Corona atau menciptakan kluster penyebaran wabah terbaru.

Ini bukan sekedar prediksi, apalagi halusinasi karena faktanya sudah tersaji di depan mata. Pada tahapan-tahapan persiapan awal Pilkada sudah terbukti mengakibatkan banyak orang terpapar oleh virus Corona ini.

Ketatnya protokol kesehatan pun tidak memberikan jaminan akan amannya proses pelaksanaan Pilkada serentak ini. Karena sudah terbukti pula bahwa masyarakat pun mengabaikannya. Serta, tidak lupa pula dan masih segar dengan ingatan kita bersama pada Pemilu 2019 yang lalu, KPU sebagai penyelenggara mencatat ada 469 orang penyelenggara yang meninggal dunia dan sebanyak 4.602 orang jatuh sakit akibat kelelahan karena menjalankan tugas dan kewajiban sebagai petugas penyelenggara Pemilu.

Dalam Pilkada serentak tahun ini, meskipun dalam ruang lingkup kecil, tetap akan melibatkan ribuan orang sebagai penyelenggara Pilkada serentak ini. Selain terbebani oleh tugas-tugas yang begitu melelahkan, juga turut berada di bawah ancaman paparan virus Corona.

Baca juga :  Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Perppu sebagai Alat Kepastian Hukum

Pilihan untuk menunda Pilkada ini bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi potensi kekacauan elektoral akibat kebijakan yang akan menyelenggarakan Pilkada secara serentak secara Nasional pada November 2024 nanti, sebagaimana pengaturannya dalam Undang-Undang Pilkada saat ini. Padahal, di tahun yang sama juga akan berlangsung pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres).

Jika memang opsi yang diambil nantinya adalah menunda Pilkada serentak tahun ini, maka produk hukum berupa Perppu sangat dibutuhkan, dengan pengaturan yang begitu rinci dan mendetail. Guna menjamin Pilkada bisa mendapatkan kepastian alokasi dana tidak menghadapi kendala dalam pelaksanaannya nanti pasca penundaan.

Untuk sebaiknya pembiayaan Pilkada serentak ini yang telah dianggarkan atau telah dialokasikan dari APBN, sebab konsolidasi penganggaran akan lebih mudah dilakukan bila berasal dari mekanisme satu pintu dibanding diberikan kepada mekanisme penganggaran pada standar daerah masing-masing.

Selama masa fase penundaan proses penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini, KPU dan Bawaslu selaku institusi puncak penyelenggara Pemilu/Pilkada bisa melakukan penyusunan rancangan biaya pilkada dengan mekanisme partisipatoris. Namun, pembiayaan APBN ini tetap memberi ruang dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mengoptimalisasi kualitas tata kelola Pilkada di setiap daerah penyelenggara termasuk pasca penundaan Pilkada 2020 ini.

Sebagai sebuah produk hukum untuk menjawab situasi darurat dan kegentingan memaksa maka kita perlu merasionalisasi dan mengukur secara wajar ekspektasi atas substansi yang diatur perpu. Meskipun banyak hal yang ingin didorong untuk penguatan dan perbaikan kualitas tata kelola Pilkada, namun Perppu sebagai instrumen hukum yang urgen untuk disahkan sebagai legalitas untuk penundaan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020, dengan proses pembahasan yang tidak bisa secara berlarut-larut.

Perppu mesti disahkan sebelum berakhirnya waktu penundaan yang dilakukan oleh KPU. Bahkan demi kepastian hukum pengalihan dana Pilkada serentak 2020 bisa untuk penanganan wabah pandemic Corona.

Dan yang paling penting, jika Pemerintah serta kita semuanya benar-benar peduli dengan keselamatan jiwa setiap warga negara, inilah momentumnya mengambil kebijakan atau pilihan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada 2020 sampai pada batas waktu dengan kondisi yang benar-benar kondusif dan aman.


Tulisan milik Rendy Merta Rahim, Penulis Lepas.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...