HomeNalar PolitikWiranto Ditusuk, Investasi Terancam?

Wiranto Ditusuk, Investasi Terancam?

Politik nasional tengah berkabung selepas penyerangan yang menimpa Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten. Banyak pihak menyoroti perihal pengamanan sang menteri sehingga penyerangan dengan cara ditusuk menggunakan senjata tajam itu dapat terjadi. Nyatanya, aksi teror tidak hanya memberi dampak politik dan sosial, melainkan juga berpotensi menghambat laju ekonomi dan investasi.


PinterPolitik.com

Kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten benar-benar menyedot perhatian semua pihak. Bagaimana tidak, mantan Ketua Umum Partai Hanura ini adalah seorang menteri senior dan tokoh lama dalam perpolitikan nasional.

Tidak hanya diberitakan oleh media nasional, kasus ini juga tidak luput diberitakan dengan segera oleh media-media luar negeri, seperti Aljazeera (Qatar), AFP (Perancis), The Guardian (Inggris), The Straits Times (Singapura), dan SCMP (Tiongkok).

Atas kasus penusukan ini, banyak pihak mempertanyakan perihal pengamanan sang menteri. Tentu sangat masuk akal, bagaimana mungkin sekelas menteri yang memiliki tim pengaman dapat terkena serangan teror jarak dekat?

Di luar persoalan pengamanan, kasus penusukan Wiranto adalah aksi teror yang memberikan efek kerusakan psikologis yang besar. Ini bukan pada perkara skala aksi terornya, melainkan pada perkara siapa korban aksi teror tersebut.

Masyarakat secara kolektif akan mempertanyakan keselamatan dirinya mengingat keselamatan sekelas tokoh nasional saja terancam. Imbasnya, efek psikologis tersebut berpotensi besar diterjemahkan dalam sektor-sektor yang dipengaruhi oleh domain psikologis, termasuk ekonomi dan investasi.

Jika demikian, seberapa besar dampak tersebut bisa terlihat?

Dampak Psikologis yang Besar?

Kehebatan dari aksi teror terletak pada efek psikologis yang mampu diciptakannya. Bahkan jika kita tidak berdekatan dengan tempat aksi teror, kita tetap dapat merasakan dampak psikologisnya. Ini sebenarnya adalah hal yang aneh, namun terasa oleh kognitif kolektif kita.

Jawaban atas keanehan ini ada pada bias kognitif yang dikenal dengan availability bias atau bias ketersediaan. Bias ini akan menciptakan kondisi kognitif di mana individu cenderung untuk menciptakan gambaran tentang dunia menggunakan contoh yang paling mudah untuk diingat.

Sederhananya, pernahkan kita bertanya mengapa aksi-aksi teror selalu menjadi pusat pemberitaan media? Jawabannya tentu saja karena kasusnya jarang atau cukup langka terjadi.

Dalam ekonomi, kelangkaan (scarcity) suatu benda misalnya, akan berdampak pada peningkatan nilai atau harganya. Dalam konteks terorisme, berita-berita aksi teror yang jarang terjadi tersebut menjadi berita bernilai tinggi yang harus diangkat secara masif.

Kasus penusukan Wiranto adalah contoh berita yang sangat bernilai dan menimpa seluruh pemberitaan topik lain. Media luar negeri bahkan dengan segera turut memberitakan. Tidak mengejutkan karena kasus penyerangan pejabat publik memang teramat langka.

Karena diangkat terus menerus, kognitif masyarakat menerimanya sebagai kasus yang menghebohkan. Bahkan ketika ditanya perihal kasus kriminal apa yang mengerikan, sebagian besar masyarakat umumnya menjawab aksi teror.

Jawaban itu bukan pada indikator skala korban yang ditimbulkan, melainkan pada skala kehebohan yang tercipta dalam kognisi kita.

Efek psikologis ini kemudian menjadi berbahaya pada sektor-sektor ekonomi yang melibatkan psikologis di dalamnya, seperti asuransi, perdagangan, pariwisata dan Foreign Direct Investment (FDI) – investasi langsung luar negeri – karena menciptakan ketidakpastian pasar.

Sebesar Apa Dampak Itu?

Daniel Wagner dalam tulisannya The Impact of Terrorism on Foreign Direct Investment (2006) dengan mengutip studi dari Harvard University dan Pennsylvania State University, memaparkan bahwa serangan-serangan teror di berbagai belahan dunia memberi dampak negatif terhadap FDI.

Kasus 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS) membuat pasar keuangan benar-benar ditutup dan tidak pulih sampai berbulan-bulan.

Kemudian serangan mematikan di Nice, Prancis pada tahun 2016 menambah sentimen bahwa negara tersebut mungkin menjadi tempat yang semakin tidak stabil untuk hidup dan melakukan bisnis.

Di Indonesia sendiri terjadi tren penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pasca bom dalam dua dekade terakhir. Tercatat, penurunan IHSG sebesar 10,36 persen terjadi pada kasus Bom Bali 1 pada tahun 2002.

Namun, banyak pihak menilai aksi teror sebenarnya tidak berdampak signifikan pada ekonomi karena dalam banyak kasus, efek yang dihasilkan hanya dalam jangka pendek. Hal ini dibuktikan dalam penelitian-penelitian terbaru yang mengkaji hubungan aksi teror dengan FDI dan pariwisata.

Olaniyi Evans dan Ikechukwu Kelikume, dalam tulisannya yang berjudul The Effects of Foreign Direct Investment, Trade, Aid, Remittances and Tourism on Welfare Under Terrorism and Militancy (2018) meneliti efek aksi teror terhadap FDI, perdagangan, bantuan (aid), pengiriman uang, dan pariwisata di Nigeria dari tahun 1980 sampai 2016.

Mereka menemukan bahwa hanya bantuan dan pengiriman uang yang mengalami dampak jangka panjang dari aksi teror. Sedangkan pariwisata, FDI, dan perdagangan hanya mengalami dampak jangka pendek.

Sementara Ye Mingque Mir Alam dalam tulisannya The Relationship between Terrorist Events, Foreign Direct Investments (FDI) and Tourism Demand: Evidence from Pakistan (2018) yang meneliti efek aksi teror terhadap FDI dan pariwisata di Pakistan dari tahun 1995 sampai 2016 menemukan bahwa aksi teror hanya memiliki dampak jangka pendek.

Kemudian, ada juga penelitian Maja Niksic Radic, Daniel Dragicevic, dan Marina Barkidija Sotosek yang berjudul Causality between Terrorism and FDI in Tourism: Evidence from Panel Data (2019) yang menyimpulkan bahwa relasi aksi teror dengan FDI tidak memiliki kausalitas Grenger (hubungan jangka panjang).

Atas temuan-temuan studi terbaru ini, tidak mengherankan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, dalam tanggapannya atas kasus penusukan Wiranto mengatakan kejadian tersebut tidak akan mengganggu dunia usaha termasuk investasi.

Pernyataan Hariyadi Sukamdi ini, besar kemungkinan tidak dimaksudkan dalam artian tidak ada dampak sama sekali, tetapi melihat pada trennya, dampak tersebut hanya terjadi pada jangka pendek.

Berlebihan Tanggapi Kasus Wiranto?

Melihat pada temuan-temuan penelitian terbaru, apakah terdapat kekhawatiran berlebihan mengaitkan penusukan Wiranto akan mempengaruhi iklim ekonomi dan investasi?

Tanpa bermaksud mendiskreditkan aksi-aksi teror sebelumnya, kasus penusukan Wiranto terbilang cukup berbeda karena Wiranto adalah pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di kancah perpolitikan tanah air.

Hal ini juga dipengaruhi oleh tensi politik yang saat ini tengah begitu memanas. Mungkin ada yang akan mengatakan itu hal biasa karena inheren dalam dinamika politik.

Tapi, masalahnya adalah tensi politik tersebut bukanlah tensi temporal yang umum terjadi, melainkan tensi yang telah mengendap sejak masa kampanye Pilpres 2019.

Pada Mei 2019 lalu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan terdapat empat nama tokoh nasional yang diancam akan dibunuh kelompok perusuh 21-22 Mei, yaitu Menko Polhukam Wiranto, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere.

Saat ini, satu dari nama tersebut bahkan telah terkena serangan. Artinya, ancaman tersebut bukanlah gertak semata yang akan berlalu seiring dengan redanya tensi politik.

Jika memang terdapat agenda terstruktur dan sistematis yang mengancam para pejabat publik, tentu ini akan memiliki dampak langsung yang destruktif terhadap kestabilan politik.

Konsekuensinya? Mudah ditebak, investasi akan menurun karena investor tidak ingin mengambil risiko berinvestasi di negara yang tengah mengalami gejolak politik.

Pada akhirnya, kasus penusukan Wiranto tidak dapat ditanggapi sepele. Langkah pertama tentu dengan meningkatkan keamanan pejabat publik. Jika tidak dilakukan, skenario buruk mengenai gejolak politik yang membuat investor untuk enggan berinvestasi di Indonesia mungkin menjadi tidak terhindarkan. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...