HomeNalar PolitikSyahwat Politik Artis, Pribadi atau Partai?

Syahwat Politik Artis, Pribadi atau Partai?

Politik kerap tak pandang bulu, bahkan seorang artis, yang tanpa pengalaman di roda pemerintahan sebelumnya, pun bisa dibuatnya menjadi politisi.


Pinterpolitik.com

[dropcap size=small]A[/dropcap]hmad Dhani dan Sigit Purnomo Syamsuddin Said alias Pasha ‘Ungu’ tampaknya punya nafsu kuasa yang tidak terpuaskan jika hanya bersuara di depan mikrofon. Keduanya pun menjajal dunia politik. Tahun lalu, dicalonkan sebagai wakil walikota Palu, Pasha menang dan berhasil menjadi wakil walikota Palu. Sebaliknya, tahun ini Dhani tak semujur Pasha. Saat mencalonkan diri menjadi wakil bupati Bekasi, Dhani dan pasangannya keok telak.

Tumbuh di era pasca Orde Baru, fenomena artis di Indonesia umbar nafsu mencari peruntungan di politik di Indonesia bukan lagi barang baru. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 silam, sebanyak 15 artis lolos terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di golongan eksekutif, sebelum Pasha, ada lima artis yang pernah mencicip duduk di kursi kuasa, dari Deddy Mizwar (Wakil Gubernur Jawa Barat), Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Barat), Zumi Zola (Gubernur Jambi), Rano Karno (Gubernur Banten), sampai Dicky Chandra (Wakil Bupati Garut).

Tidak bisa dipungkiri, nama-nama di atas sudah lebih dulu bernasib mujur di belantika musik dan perfilman tanah air. Terkenal? Sudah. Banyak harta? Juga sudah. Latas apa lagi yang dikejar para artis dari politik?

Anang Hermansyah, musisi yang pada Pileg 2014 lalu lolos sebagai anggota DPR lewat Partai Amanat Nasional (PAN) mewakili daerah pemilihan Jawa Timur IV, menjadi anggota DPR membuatnya bisa langsung menyuarakan soal pembajakan di industri musik. Sedangkan Angel Lelga, calon anggota DPR partai PPP di Pileg 2014 lalu, mengatakan bahwa dia ingin membesarkan partai Islam yang dia nilai sedang terpuruk. Selain itu, Angel yang seorang mualaf juga ingin meningkatkan kualitas agamanya dalam menghadapi berbagai godaan.

Lihat Saja Amerika

Tidak hanya di Indonesia, jauh sebelumnya, fenomena ‘celebrity politics’ di Amerika Serikat (AS) sudah terlihat. Istilah ini dikenal dalam Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, pelawak, dan musisi menyusup ke dunia politik, tidak hanya jadi sang bintang pentas yang menjadi penghibur panggung kampanye namun mereka juga bertekad memburu jabatan publik seperti anggota legislatif, walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden.

Sebut saja Ronald Reagan yang berhasil menjadi presiden AS dan Arnold Schwarzenegger yang sukses memenangi pemilihan dan menjadi gubernur negara bagian California.

Baca juga :  Indonesia Akan Merapat ke AS di Era Prabowo?

Dalam kasus Schwarzenegger, kehidupan selebritis dan politiknya menarik untuk diulik. Dia adalah seorang imigran yang lahir di Austria yang baru saja pulih dilanda perang. Sebelum datang ke AS, pada usia 21, Schwarzenegger mulai membentuk tubuhnya guna menjadi binaragawan. Perjuangannya pun berbuah manis, soal ‘keindahan’ tubuh, dia cukup diperhitungkan di Austria. Kemudian dia datang ke Amerika. Schwarzenegger ingat, saat dirinya menginjak usia 10 tahun, di sebuah halte bus, dia mengatakan kepada seorang gadis di Austria, “Saya akan pergi ke Amerika.” Niatnya itu kesampaian pada tahun 1968.

Di Amerika Serikat, pada tahun 1970, dia menjadi “Mr. Olympia” termuda, sebuah gelar binaragawan bergengsi AS. Kemudian dia membintangi sejumlah film, di antaranya Conan the Barbarian (1982) dan The Terminator (1984). Pria yang lahir sebagai seorang anak imigran miskin kini telah muncul sebagai salah satu bintang terbesar Hollywood. Isi dompetnya dari dunia perfilman dihitung lebih dari $ 4 miliar.

Seolah tak ada habisnya sukses didulang Schwarzenegger, dia pun menikahi Maria Shriver, pada tahun 1986. Wanita ini adalah anggota keluarga politisi dan pebisnis AS, Kennedy. Ibu Maria Shriver adalah saudara perempuan John F. Kennedy, Robert F. Kennedy, dan Ted Kennedy.

Arnold Schwarzenegger dan Maria Shriver (Gambar: Ron Galella/WireImage)

Dekat dengan kehidupan politisi, Scwarzenegger pun masuk ke dunia politik secara perlahan. Dia ditunjuk sebagai President’s Council on Physical Fitness and Sports dari tahun 1990 sampai 1993. Oleh George H. W. Bush, dia dijuluki “Conan the Republican“. Karir politiknya berlanjut dengan jabatan Governor’s Council on Physical Fitness and Sports di bawah Gubernur California Pete Wilson, yang berasal dari partai Republican.

Pada tanggal 7 Oktober 2003, Schwarzenegger akhirnya terjun ke politik elektoral California. Hasilnya, dia terpilih menjadi gubernur California, yang berpenduduk sekitar 34 juta jiwa itu.

Dalam suatu kesempatan Schwarzenegger mengungkapkan rasa bangganya selama hidup di AS.

My fellow Americans, this is an amazing moment for me. To think that a once scrawny boy from Austria could grow up to become Governor of California and stand in Madison Square Garden to speak on behalf of the President of the United States that is an immigrant’s dream. It is the American dream,” ujarnya.

Syahwat Politik Artis, Pribadi atau Partai

Jangan Cuma Aji Mumpung

Dalam buku Celebrity Politics, Darrell West angkat bicara. Menurutnya, artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi. Televisi menjadi wadah sempurna bagi selebiriti untuk mendulang popularitas dan citra diri. Sementara sistem pemilihan langsung, menjadi celah selebriti yang sudah tenar untuk dipilih oleh masyarakat.

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Dalam hal ini, memang tidak masalah apabila para selebritis yang terjun ke dunia politik memiliki bekal kapabiltas. Dalam kasus Schwazenegger misalnya, sebelum jadi Gubernur, dia lama menjabat sebagai penasihat presiden dan gubernur sebelumnya. Kalau artis di Indonesia? Berbeda sekali. Para artis di Indonesia tiba-tiba saja masuk ke arena politik tanpa pengamalan di bidang pemerintahan, bahkan beberapa ada yang tidak melalui proses kaderisasi atau perekrutan partai politik.

Popularitas artis memang sangat menggairahkan untuk dimanfaatkan. Sekarang, hampir seluruh partai di Indonesia memboyong artis sebagai calon anggota anggota DPR. Untuk pemilihan kepala daerah, beberapa partai bahkan ketagihan mencalonkan artis. Ketenaran yang sudah terbangun membuat partai tidak perlu susah-susah melakukan promosi calon yang diusungnya. Terlebih lagi apabila partai politik tidak memiliki kader yang mumpuni, menggaet artis bisa jadi langkah instan untuk mendulang suara.

Namun demikian, ada dimana kader-kader partai? Kaderisasi apa yang sudah partai lakukan sehingga akhirnya lebih memilih artis ‘politik karbitan’ ketimbang kadernya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan, karena munculnya para artis itu bisa jadi pertanda bahwa kaderisasi internal partai politik seolah mandek karena tidak dapat menelorkan nama-nama dari internal partai yang mampu bersaing secara elektoral.

Selain itu, jika memang partai yang memiliki kader yang mumpuni tapi tetap saja mengajukan artis-atis politik karbitan, pertanyaannya, terjunnya artis dalam bidang politik apakah benar-benar kehendak pelakunya atau hanya syahwat nafsu partai politik belaka yang ingin mendulang suara sebesar-besarnya?

Seperti diketahui, belakangan ini citra lembaga partai politik dipandang rendah dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, karena maraknya korupsi dan kontroversi yang dibuat pejabat didikan partai politik. Terlihat, salah satu cara instan partai politik guna mengembalikan citra tersebut adalah dengan menggandeng para artis. Akan tetapi dengan begitu, dalam pemilihan-pemilihan elektoral, artis hanya dijadikan tameng dan balon penghias ruangan – sekadar gimmick begitu.

Sisi positifnya, politik terkesan semakin ramah dan menghibur, tidak lagi dipandang berat dan mengerikan. Sisi negatifnya, politik jadi terkesan suka-suka, asal punya modal tampang dan popularitas seseorang akhirnya bisa jadi pejabat publik. Apakah itu yang kita harapkan dari orang-orang yang kita gaji dengan uang pajak kita?

Berikan pendapatmu.

(H31)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Simpang Siur Suara Yusril

Heboh, kata Yusril, Jokowi sudah bisa digulingkan dari jabatan presidennya karena besarnya utang negara sudah melebihi batas yang ditentukan. Usut punya usut, pernyataan tersebut...

Elit Politik Di Balik Partai Syariah 212

Bermodal ikon '212', Partai Syariah 212 melaju ke gelanggang politik Indonesia. Apakah pembentukan partai ini murni ditujukan untuk menegakan Indonesia bersyariah ataukah hanya sekedar...

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme...