Cross BorderSiasat Luhut Tawar-tawar Kuota Haji

Siasat Luhut Tawar-tawar Kuota Haji

- Advertisement -

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman Al Saud (MBS), guna membahas penambahan kuota haji untuk Indonesia. Mengapa diplomasi kuota haji begitu merepotkan bagi pemerintah Indonesia?


PinterPolitik.com

“Satu, syahadat. Dua, salat. Tiga, puasa. Empat, bayar zakat. Lima, naik haji jika sudah mampu. Itu rukun Islam yang harus kita amalkan” – Nussa, “Rukun Islam” (2019)

Meski sempat timbulkan polemik, kehadiran franchise kartun Nussa bisa jadi angin segar bagi industri animasi Indonesia. Jalan ceritanya pun sederhana – menceritakan bagaimana nilai dan kebiasaan anak-anak Indonesia digambarkan dalam kartun yang mudah dinikmati.

Ada satu lagu menarik yang turut diproduksi dari serial dan film kartun ini, yaitu lagu yang berjudul “Rukun Islam”. Intinya sebenarnya hampir sama dengan apa yang sering diajarkan kepada anak-anak Muslim Indonesia ketika masih belia, yakni lima rukun Islam yang terdiri atas syahadat, salat, ibadah puasa, membayar zakat, dan pergi haji. 

Namun, seperti apa yang juga biasa diajarkan, ada satu prakondisi yang dilekatkan pada rukun Islam kelima, yakni sebuah klausul “bila mampu”. Terlepas dari bagaimana ajaran soal haji, klausul ini setidaknya turut merefleksikan apa yang terjadi di dunia nyata, yaitu bagaimana sulitnya bagi seorang Muslim Indonesia untuk bisa bepergian haji ke Makkah dan Madinah.

Bagimana tidak? Belum bersiap apa-apa saja, masyarakat Indonesia sudah harus dibayangi masa tunggu yang bisa menghabiskan puluhan tahun setelah mendaftar untuk haji. Terakhir, kabarnya, daftar tunggu untuk calon jamaah haji di DKI Jakarta bisa mencapai 54 tahun.

Tentu, ini memang bukan tanpa sebab. Pemerintah Arab Saudi selama ini juga selalu menerapkan sistem kuota haji bagi setiap negara, termasuk Indonesia. 

Maka dari itu, pemerintah Indonesia selalu berusaha untuk melobi Arab Saudi agar kuota haji Indonesia bisa bertambah. Terakhir, upaya diplomasi ini dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kala bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman Al Saud (MBS), pada pertengahan Juni lalu.

Apa yang dilakukan Luhut ini bukanlah hal baru. Sejak dulu, pemerintah selalu mengupayakan hal yang sama melalui diplomasi dan negosiasi dengan pihak Arab Saudi.

Namun, dengan kuota haji yang rasanya tidak pernah tercukupi, bukan tidak mungkin sejumlah pertanyaan pun muncul. Mengapa diplomasi haji ini selalu menjadi urusan yang rumit? Apa yang membuat Arab Saudi berhak menjadi negara satu-satunya yang mengurusi haji?

Siapa Bisa Marahin Luhut

Semua-semua Dikontrol Arab Saudi

Bayangkan bila suatu saat nanti bukan Arab Saudi yang mengatur haji – sebut saja perandaian ini akhirnya terjadi di bawah kewenangan Indonesia. Tentu saja, perandaian ini menjadi sesuatu hal yang sangat sulit untuk terjadi.

Pertama, Indonesia bukanlah negara yang berdaulat atas dua kota suci Islam – Makkah dan Madinah. Kedua, bagaimana pun, Indonesia memiliki letak geografis yang terletak sangat jauh dari dua kota suci tersebut.

Fakta soal siapa yang berdaulat – baik secara de facto maupun de jure – atas dua wilayah suci tersebut hingga saat ini masih tidak terbantahkan, yakni Arab Saudi. Meski kedaulatan itu tidak dipersoalkan, apakah ini lantas memberi Arab Saudi hak penuh untuk memegang kontrol atas penunaian ibadah haji?

Baca juga :  Arab Saudi, Korban Perang Selanjutnya?

Pertanyaan inilah yang akhirnya terus mencuat di antara negara-negara Muslim lainnya. Salah satu momentum terbesar dari kemunculan pertanyaan ini adalah ketika Ayatollah Khomeini melancarkan kampanye anti-Saudi setelah Revolusi Iran pada tahun 1979.

Mengacu pada tulisan Robert R. Bianchi yang berjudul The Hajj and Politics in Contemporary Turkey and Indonesia, kampanye anti-Saudi dari Khomeini ini akhirnya membawa suara-suara yang mendesak agar kontrol penuh Saudi dikurangi dalam mengatur penunaian ibadah haji. Ini akhirnya sempat membuat pemerintah Arab Saudi untuk berjanji lebih mendengarkan suara-suara negara-negara Muslim lainnya terkait penanganan haji.

Namun, setelah Khomeini meninggal dunia, kampanye anti-Saudi pun menurun. Alhasil, janji pemerintah Arab Saudi untuk lebih mendengarkan negara-negara Muslim lainnya turut buyar dan tidak berlanjut.

Di sisi lain, Arab Saudi dianggap selalu mengklaim diri mereka sebagai Penjaga Dua Kota Suci (Custodian of the Two Holy Mosques) – membuat mereka merasa memiliki legitimasi pada tingkat tertentu atas Makkah dan Madinah karena ada asumsi bahwa sang penjaga secara de facto adalah kalifah bagi umat Islam. Gelar ini pun disebut sudah ada sejak kerajaan-kerajaan lain menguasai dua kota tersebut – mulai dari Dinasti Ayyubiyah, Kesultanan Mamluk, Kesultanan Turki Utsmani, hingga Kerajaan Hijaz.

Terlepas dari persoalan legitimasi, kontrol penuh Arab Saudi atas penanganan ibadah haji ini membawa sejumlah konsekuensi. Setidaknya, terdapat dua konsekuensi, yakni (1) konsekuensi politik dan (2) konsekuensi ekonomi.

Luhut Sang Sutradara

Dalam hal politik, kontrol penuh atas haji ini akhirnya membuat Arab Saudi memiliki daya tawar (leverage) atas negara-negara Muslim lainnya. Saat konflik diplomatik dengan Qatar kembali memanas pada tahun 2017 silam, misalnya, Arab Saudi dituding memblokir akses jemaah haji dari Qatar.

Dalam segi ekonomi, ibadah haji jelas menjadi bisnis yang menjanjikan bagi Arab Saudi. Setiap tahunnya, haji mendatangkan uang sebesar USD12 miliar – sekitar Rp178 triliun – bagi negara tersebut. Nilai ini pun memberikan sumbangsih sekitar 20 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB) non-minyak bagi ekonomi Arab Saudi.

Namun, tentunya, kontrol penuh Arab Saudi ini mendatangkan ketidakpuasan bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mengapa kontrol penuh tersebut membuat banyak negara tidak puas? Apa saja persoalan yang dihadapi oleh Indonesia akibat penguasaan penuh tersebut?

Luhut Mau Dobrak Kuota Haji?

Kemunculan sosok Luhut dalam diplomasi haji Indonesia terhadap Arab Saudi ini banyak menimbulkan tanya. Pengamat politik bernama Rocky Gerung, misalnya, menyebutkan bahwa harusnya Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mestinya tersinggung karena ranahnya dilangkahi oleh sang Menko Marves.

Terlepas dari sejauh mana peran yang dimainkan Luhut, kuota haji memang menjadi momok yang sulit diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Jumlah jemaah haji bagi Indonesia pun jumlahnya fluktuatif dari tahun 2011 hingga tahun 2019

Terakhir, jumlah kuota haji Indonesia menurun drastis pada tahun 2021 akibat pandemi Covid-19. Dari yang sebelumnya menyentuh angka dua ratus ribu lebih, menjadi hanya 60.000. Di sisi lain, pada tahun 2022, Indonesia hanya mendapatkan kuota haji sebanyak 100.051 jemaah.

Baca juga :  Iran-Israel: Ujian Terberat Biden 

Ketidakpuasan Indonesia akan sistem kuota ini pun bukanlah hal yang baru. Bianchi dalam tulisannya tadi juga menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara yang mengusung ide agar membongkar sistem kuota per negara.

Tidak hanya persoalan kuota haji, Bianchi juga menyebutkan bahwa Arab Saudi terkesan “seenaknya sendiri” dalam mengelola Makkah dan Madinah. Sejumlah situs bersejarah, misalnya, disebut dibongkar dan digantikan dengan bangunan-bangunan komersial.

Ini pun memunculkan kembali desakan agar reformasi terhadap manajemen haji global. Sejumlah usulan pun kemudian mencuat. Indonesia, misalnya, mengacu pada Bianchi, pernah mengusulkan agar kuota dihitung berdasarkan jumlah pendaftar dan uang yang dihabiskan oleh jemaah dari negara tersebut.

Luhut Enggak Tahu

Selain itu, Turan Kayaoglu dalam tulisannya di Brookings Institution menyebutkan bahwa salah satu cara reformasi yang tepat adalah dengan melibatkan negara-negara Muslim lainnya – melalui institusi dan rezim internasional yang sudah ada seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Lagipula, aspirasi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar bukan tidak mungkin juga perlu dipertimbangkan. Bagaimana pun, Indonesia memberikan kontribusi besar bagi pendapatan haji Arab Saudi.

Pada tahun 2017, misalnya, total pendapatan Arab Saudi dari jemaah haji Indonesia mencapai USD940,8 juta (sekitar Rp13,1 triliun). Rata-rata, satu jemaah Indonesia menghabiskan sekitar USD5.600 (sekitar Rp78,4 juta) pada tahun tersebut. 

Meski memiliki leverage ekonomi sebesar itu, pemerintah Indonesia tampaknya masih kesulitan dalam menggolkan diplomasi haji yang benar-benar memuaskan. Boleh jadi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi.

Pertama, muncul persoalan citra yang bahkan diakui sendiri oleh Luhut. Sang Menko Marves menyebutkan bahwa dirinya sempat diremehkan karena Indonesia dianggap hanya sebagai negara eksportir tenaga kerja. 

Ini menjadi masuk akal. Apabila mengacu pada tulisan Yuen Foong Khong yang berjudul Power as Prestige in World Politics, prestige (citra) menjadi mata uang sehari-hari dalam hubungan antar-negara.

Kedua, sejarah diplomasi Arab Saudi-Indonesia bisa jadi turut mempengaruhi. Hubungan Indonesia dan Arab Saudi tidaklah selalu erat – khususnya pada era Perang Dingin.

Bukan rahasia lagi bahwa Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet akhirnya melibatkan proxies (negara-negara lain yang menjadi semacam perwakilan kekuatan lebih besar) di kawasan-kawasan lain, termasuk Timur Tengah. Kala itu, terjadi Perang Dingin Arab antara Mesir dan Arab Saudi.

Presiden Soekarno kala itu justru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Mesir yang ditengarai lebih didukung Uni Soviet. Selain itu, pertunjukan persahabatan Soekarno dan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser semakin menjadi-jadi dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 dan Gerakan Non-Blok (GNB).

Bukan tidak mungkin, dua faktor ini turut menjadi tantangan Luhut bila benar-benar ingin mendobrak batasan kuota haji dari Arab Saudi terhadap Indonesia. Pada ujungnya, banyak orang Muslim Indonesia kembali terjebak pada klausul “bila mampu” seperti yang disebutkan di awal tulisan. (A43)


spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.