HomeNalar PolitikSetelah Timor Leste, Papua for Sale?

Setelah Timor Leste, Papua for Sale?

Dokumen yang dideklasifikasi NSA menyebutkan bahwa Australia punya kepentingan yang kuat terasa saat Timor Leste memperjuangkan kemerdekaannya. Kepentingan tersebut terkait penguasaan atas sumber daya alam di mantan provinsi ke-27 Indonesia itu. Kondisi konflik yang mirip dengan yang kini terjadi di Papua dan Papua Barat, membuat banyak pihak bertanya-tanya, apakah mungkin hal yang serupa akan terulang di wilayah paling timur Indonesia ini?


PinterPolitik.com

“Conflict is good in a negotiation process… it’s the clash of two ideas, which then, all being well, produces a third idea”.

:: Luke Roberts, aktor asal Inggris ::

Sebuah tulisan di media kenamaan asal Inggris, The Guardian beberapa hari lalu menarik perhatian banyak pihak. Pasalnya, tulisan tersebut membahas dokumen yang dideklasifikasi atau dibuka ke hadapan publik – umumnya berupa surat kawat diplomatik dan sejenisnya yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan perwakilan-perwakilannya di seluruh dunia.

Salah satu dokumen terbaru yang dideklasifikasi oleh National Security Archives (NSA) tersebut adalah mengenai bagaimana sikap Australia sebenarnya terkait upaya AS mengirimkan pasukan perdamaian ke Timor Leste pasca wilayah yang sempat menjadi provinsi ke-27 Indonesia itu memutuskan untuk menjadi sebuah negara sendiri lewat referendum pada tahun 1999.

Selama ini, Australia memang selalu dianggap sebagai “pahlawan” bagi kemerdekaan Timor Leste. Namun, dokumen yang dideklasifikasi menunjukkan bahwa Negeri Kanguru itu dianggap berupaya “menunda” kehadiran pasukan perdamaian yang kala itu akan dikirimkan oleh AS. Alasannya adalah demi tetap menjaga hubungan baiknya dengan Indonesia.

Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa Australia sebenarnya tetap berharap agar Timor Leste tetap menjadi bagian dari Indonesia – hal yang besar kemungkinan memang berkaitan dengan pemenuhan kepentingan tertentu di wilayah tersebut.

Hal itulah yang membuat banyak pihak menyebutkan bahwa Australia sebetulnya tidak murni berjuang untuk masyarakat Timor Leste. Bahkan beberapa dokumen lain yang dideklasifikasi juga menyebutkan kepentingan minyak dan gas di Celah Timor (Timor Gap) sebagai hal yang dikejar oleh negara benua tersebut.

Persoalan ini tentu saja menjadi topik bahasan yang menarik. Pasalnya, ini menunjukkan bahwa persoalan lepasnya provinsi tersebut dari Indonesia juga melibatkan faktor “tangan” asing, dalam hal ini kepentingan Australia di dalamnya yang belakangan makin terlihat bentuk jelasnya.

Persoalan ini membuat seolah-olah konflik yang terjadi di wilayah tersebut pernah melewati status “for sale” – jika ingin disebut demikian – merujuk pada kepentingan ekonomi politik atas penguasaan sumber daya alamnya.

Konteksnya juga kini menjadi sangat relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia, terutama pasca pecahnya kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Kerusuhan yang berawal dari isu rasisme itu kini dibumbui oleh perjuangan kemerdekaan yang besar kemungkinan punya relasi dengan persoalan sumber daya alam di wilayah tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah kali ini ada juga status “Papua for sale” dan mungkinkah suatu saat nanti wilayah tersebut akan lepas dari Indonesia?

Baca juga :  The Tale of Two Sons

Timor Leste Pernah “for Sale”?

Pada tahun 2006, Robert Greenwald memproduksi sebuah film dokumenter berjudul Iraq for Sale. Film tersebut menggambarkan beberapa pihak yang mengambil keuntungan ekonomis dari perang yang dilaksanakan oleh AS di Irak kala itu.

Konteksnya memang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan macam Blackwater yang menyediakan perlengkapan perang, persenjataan dan tentara-tentara bayaran. Hal tersebut belum terhitung masalah penguasaan sumber energi dan minyak di Irak yang menjadi salah satu alasan utama perang tersebut pecah.

Film ini menarik untuk dilihat pertautannya dengan apa yang terjadi dalam kasus Timor Leste. Memang konflik terkait perjuangan kemerdekaan Timor Leste tak sampai melibatkan tentara bayaran dan sejenisnya yang adalah intisari dari Iraq for Sale. Namun, dalam konteks tangan-tangan yang mengambil keuntungan dari dalamnya – katakanlah dalam hal ini Australia misalnya – konflik tersebut memang punya nuansa “for sale”.

Pasalnya, kepentingan penguasaan sumber daya alam ini sudah terjadi bahkan sebelum Fretelin – faksi politik yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste – mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste pada tahun 1975.

Terkait sumber daya alam misalnya, Indonesia dan Australia sudah mulai saling membagi wilayah yang akan dikuasai di Celah Timor – terkait sumber minyak dan gas di wilayah tersebut – sejak tahun 1960-an. Wilayah tersebut memang kaya akan sumber minyak dan gas.

Bahkan, untuk beberapa titik, Australia telah mendapatkan hingga US$ 2 miliar sejak tahun 1999, misalnya di Laminaria, Carollina. Akibatnya memang isu penguasaan sumber daya alam ini menjadi hal yang mendominasi hubungan Australia dan Timor Leste.

Beberapa aktivis di Timor Leste, seperti Ferdi Tanoni – yang menulis buku tentang kepentingan-kepentingan yang ada dalam konflik Timor Leste, termasuk dugaan silang kepentingan antara Indonesia dengan Australia – sedang berjuang menuntut garis batas yang jelas di wilayah perairan Laut Timor.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, hampir 90 persen kekayaan laut Timor Leste dikeruk oleh Australia.

Isu-isu yang demikian ini sempat memanas dan melahirkan kampanye di media untuk keadilan pengelolaan sumber daya alam di Timor Leste. Organisasi seperti East Timor Action Network (ETAN) – lembaga yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Timor Leste – juga ikut mengkampanyekan protes yang diselenggarakan di banyak negara tersebut.

Kampanye pembebasan Timor Leste dari penjajahan “baru” melalui eksploitasi ekonomi ini menjadi wajah baru kehidupan masyarakat di Timor Leste. Celah Timor yang dipercaya memiliki kandungan minyak dan gas yang besar saat ini masih menjadi sengketa antara Timor Leste dan Australia.

Tak heran, banyak pihak yang menduga kemerdekaan Timor Leste sangat mungkin menjadi win win solution yang bisa saja melibatkan kepentingan Australia dan Indonesia di dalamnya. Hingga kini negara tersebut masih kesulitan dalam membangun ekonominya. Pada 2017 lalu, pertumbuhan ekonomi Timor Leste bahkan berada di angka -4,6 persen.

Keberadaan “tangan-tangan” asing seperti Australia dalam kasus Timor Leste adalah dimensi yang menarik dalam konteks kaitannya dengan Indonesia. Ini juga menunjukkan adanya pertalian kepentingan yang besar di wilayah-wilayah Indonesia yang berkonflik, termasuk yang pernah terjadi di Aceh dan kini di Papua.

Akankah Papua “for Sale”?

Pemerintah telah mengumukan bahwa pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda sebagai sosok yang bertanggung jawab di balik kerusuhan yang terjadi di Papua. Menariknya, Benny kini bermukim di London, Inggris, dan beberapa waktu terakhir memang cukup kuat menjalankan diplomasi politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Publik mungkin masih ingat bagaimana Benny “diselundupkan” oleh delegasi Vanuatu ke Komisioner Tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss beberapa waktu lalu. Konteks keberadaan Benny memang menunjukkan bahwa bisa saja ada “tangan-tangan” dari luar yang ikut terlibat dalam berbagai kekacauan di Papua.

Pemerintah juga telah mendeportasi 4 warga Australia yang disebut-sebut ikut terlibat dalam demonstrasi di Papua dan Papua Barat.

Yang terbaru, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga telah “meminta bantuan” Amerika Serikat (AS) agar kedaulatan Indonesia bisa ditegakkan di Papua – sekalipun itu dibantah oleh Menko Polhukam Wiranto.

Hal-hal tersebut memang menunjukkan bahwa sangat mungkin ada tangan-tangan dari luar yang ikut mempengaruhi kondisi yang terjadi di Papua. Wilayah tersebut dalah provinsi yang kaya akan sumber daya alam. Konteksnya pun semakin mirip dengan yang terjadi di Timor Leste.

Pada akhirnya, semuanya tetap berharap ada jalan keluar terbaik yang bisa diambil oleh semua pihak tanpa harus melibatkan jalan kekerasan. Bagaimanapun juga, Papua adalah bagian dari Indonesia dan saat ini pemerintah telah melakukan banyak perbaikan untuk kehidupan masyarakat di sana.

Harapannya, Papua tak harus berakhir seperti Timor Leste. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

TikTok menjadi salah satu media kampanye paling populer bagi pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.