HomeNalar PolitikRisma Melawan Dominasi Mega?

Risma Melawan Dominasi Mega?

Alotnya pembahasan nama calon wali kota Surabaya menambah daftar panjang friksi internal PDIP terkait Pilkada 2020. Mungkinkah fenomena ini mengindikasikan kader di daerah mulai gerah dengan dominasi Megawati Soekarnoputri, yang kerap menjadi sumber tunggal dari segala keputusan PDIP ?


PinterPolitik.com

Dalam setiap kontestasi elektoral, sosok ketua umum partai politik (parpol) hampir bisa dipastikan tak luput dari sorot media. Meski tak selalu ikut berkompetisi langsung, nyatanya pemberitaan mengenai ketua umum parpol tak kalah gurih dari pemberitaan mengenai kandidat-kandidat yang berlaga.

Parpol memang masih menjadi kendaraan yang paling praktis untuk mencapai kekuasaan. Maka tak heran jika menjelang pelaksanaan pemilu, peran ketua umum parpol selalu mendapatkan signifikansinya.

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sistem dan budaya politik di Indonesia. Kultur partai yang kerap kali mengkultuskan sosok ketua umum, mau tak mau membuat manuver-manuver mereka menjadi penting untuk disimak.

Ambil contoh pada Pilpres 2019 lalu. Saat itu, santer terdengar kabar bahwa sebenarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Mahfud MD sebagai pendampingnya di periode kedua.

Sayangnya, keinginan mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak mendapat restu dari pemimpin parpol. Akibatnya, Jokowi disebut terpaksa menerima pencalonan Ma’ruf Amin di detik-detik terakhir.

Kehadiran sembilan orang pucuk pimpinan partai saat acara deklarasi Jokowi-Ma’ruf juga seolah menegaskan betapa pentingnya posisi mereka dalam menentukan sosok pemimpin di negeri ini.

Dari sekian banyak partai yang ada di Indonesia, PDIP boleh jadi merupakan partai yang paling kental dengan nuansa otoritarian ketua umumnya. Bagaimana tidak, dalam setiap momen penting, kader-kader PDIP selalu menegaskan semua keputusan yang diambil partai merupakan ‘hak prerogatif’ Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum.

Tak terkecuali saat menentukan siapa calon yang akan diusung partai berlambang banteng ini di Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Surabaya 2020. Di tengah alotnya penentuan pengganti sosok petahana, Tri Rismaharini, Sekjen PDIP Hasto Kristianto kembali menegaskan bahwa semua keputusan ada di tangan Mega.

Penundaan pengumuman calon wali kota Surabaya oleh PDIP diduga kuat karena Risma tak sepakat dengan calon pilihan partai yang disebut akan mengusung wakilnya sendiri, Whisnu Sakti Buana. Ia diyakini lebih mendukung Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeko) Kota Surabaya, Eri Cahyadi untuk menggantikan dirinya.

Indikasi adanya konflikinternal antara pengurus pusat dan daerah PDIP terkait pencalonan pilkada sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Seperti diketahui, pencalonan dua kerabat Presiden Jokowi di Pilwalkot Solo dan Medan juga sempat menimbulkan riak serupa.

Lantas pertanyaannya, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mungkinkah kader-kader PDIP di daerah mulai enggan mengikuti keputusan pengurus pusat, yang mungkin saja bersumber dari hak prerogatif Mega? Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi Risma lebih condong mendukung Eri Cahyadi ketimbang wakil dan rekan separtainya sendiri?

Baca juga :  Jokowi Makin Tak Terbendung?

Dominasi Mega Munculkan Friksi?

Pada Agustus 2019, pengurus DPD dan DPC PDIP se-Indonesia kembali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum. Mega sendiri telah memimpin sejak partai tersebut berdiri pada 1999.

Marcus Mietzner dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Popullism, Dynasties, and the Consolidation of the Party System mengungkapkan bahwa permasalahan besar yang tengah dihadapi PDIP saat ini adalah soal regenerasi partai.

Menurutnya, persoalan tersebut berawal dari pemikiran yang menyebut bahwa PDIP haruslah dipimpin oleh trah Soekarno. Di sisi lain, keturunan Mega, yakni Puan Maharani dianggap belum mampu menggantikan sosoknya. Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan Mega di partai banteng seolah tak tertandingi.

Gaya kepemimpinan Mega yang menempatkan semua keputusan penting berada di tangannya dinilai sangat identik dengan konsep kepemimpinan otokratis (autocratic leadership).

Kendra Cherry dalam tulisannyayang berjudul Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses menyebut bahwa gaya kepemimpinan autocratic ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok. Ciri pemimpin ini biasanya mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri dan jarang sekali meminta saran dari bawahannya.

Kendra mengakui bahwa konsep kepemimpinan ini sangat cocok diterapkan di proyek atau pekerjaan yang membutuhkan kepemimpinan kuat untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dengan cepat dan efisien. Ketika pemimpin adalah orang yang paling berpengalaman dalam grup, konsep ini dapat menghasilkan keputusan efektif.

Namun di sisi lain, gaya kepemimpinan otokratik juga dapat menimbulkan persoalan jika diimpelementasikan di waktu atau situasi yang tidak tepat. Ia menandaskan bahwa konsep kepemimpinan ini juga berpotensi merusak moral kelompok.

Hal ini terjadi lantaran pemimpin otokratis biasanya tidak menerima masukan dari anggota, sementara orang-orang cenderung merasa lebih bahagia dan tampil lebih baik ketika mereka merasa berkontribusi untuk masa depan kelompok. Hal ini berpotensi menyebabkan sejumlah pengikut mulai merasa tidak puas dan tertahan.

Berangkat dari pemikiran tersebut, bukan tak mungkin friksi-friksi di internal PDIP di daerah, termasuk Surabaya, merupakan akumulasi dari ketidakpuasan kader atas keputusan Mega dalam proses pencalonan kepala daerah di Pilkada 2020.

Apalagi dalam keputusan-keputusan tersebut, Ia kerap mengabaikan sejumlah kader-kadernya sendiri demi mengusung calon yang belum memiliki banyak kontribusi di partai, seperti pencalonan putra serta menantu Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilwalkot Solo dan Bobby Nasution di Pilwalkot Medan.

Jika dalam kasus-kasus tersebut muncul friksi lantaran PDIP tidak memprioritaskan kader-kadernya untuk maju dalam kontestasi Pilkada, lalu bagaimana dengan Risma? Bukankah Whisnu Sakti Buana adalah kader PDIP yang otomatis menjadi rekan satu partai Risma?

Baca juga :  Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Risma Outsider?

Meski sudah berstatus sebagai kader, Risma bukan berasal dari kalangan elite PDIP. Ia mengawali kariernya di pemerintahan sebagai PNS Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.

Kariernya terus melejit hingga Ia pernah menjabat sebagai kepala dinas dan Kepala Bappeko Surabaya. Kemudian Ia dicalonkan sebagai wali kota oleh PDIP. 

Posisi Risma agaknya sedikit bisa disamakan dengan posisi Jokowi di partai tersebut. Marcus Mietzner dalam tulisannyayang berjudul Reinventing Asian Populism, Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia menilai Jokowi bukanlah sosok presiden pilihan oligarki dan elite PDIP, melainkan Ia adalah sosok populis outsider yang memaksa mereka untuk memilih antara menentang atau mendukungnya.

Marcus menyebut sosok populis outsider seperti Jokowi ini akan selalu dipandang sebagai social climber atau orang luar yang berada di dalam lingkaran eksklusif (partai).

Jika kita menyamakan posisi Risma dengan Jokowi, maka dapat diprediksi Risma nantinya akan kesulitan mewarisi kekuatan dan pengaruhnya di pemerintahan Kota Surabaya jika Whisnu yang terpilih menggantikan dirinya.

Hal ini lantaran Whisnu berasal dari kalangan elite. Ayahnya yang merupakan mantan Ketua MPR sekaligus tokoh senior PDIP Soetjipto Soedjono, membuat Whisnu memiliki kedekatan emosional dan loyalitas yang kuat terhadap partai.

Sebaliknya, jika Eri Cahyadi terpilih menjadi pengganti Risma, maka Ia dapat lebih mudah mewarisi pengaruhnya. Apalagi Eri selama ini kerap disebut-sebut sebagai ‘anak emas’ Risma. Belum lagi, keduanya sama-sama pernah menjabat sebagai Ketua Bapeko Surabaya.

Christin Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam tulisannyayang berjudul Political Legacies mengatakan bahwa political legacy atau warisan politik merupakan pencapaian, kebijakan, memori, atau perasaan, atau ide yang berkaitan dengan seorang politisi dan dapat bertahan meski Ia sudah turun jabatan.

Berangkat dari sini, bisa saja sikap Risma yang menentang pencalonan Whisnu dilatar belakangi oleh keinginannya untuk mewarisi pengaruhnya kepada pemimpin sesudahnya. Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri Risma memang memiliki segudang prestasi saat memimpin Ibu Kota Jawa Timur tersebut. Tentu Ia menginginkan segala kebijakan dan pemikirannya dikenang oleh penerusnya.

Meski akhirnya Risma mengaku siap mengikuti apapun keputusan partai, namun dengan mempertimbangkan segala kemungkinan, asumsi yang mengatakan Risma tengah melawan dominasi Mega demi mewarisi political legacy-nya mungkin saja benar adanya. Namun yang jelas, hingga tulisan ini dibuat, PDIP belum membuat keputusan siapa yang akan menggantikan Risma. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...