HomeNalar PolitikRevival Golkar, Partai Penguasa di 2024?

Revival Golkar, Partai Penguasa di 2024?

[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #33]

Saat mengisi acara soft launching dan kuliah umum Golkar Institute, Kishore Mahbubani menyebutkan pentingnya Indonesia menerapkan resep MPH – meritokrasi, pragmatisme dan honesty atau kejujuran. Rumusan ini nyatanya juga bisa dijadikan refleksi untuk posisi Partai Golkar saat ini yang merupakan partai paling senior di Indonesia, namun tak pernah lagi jadi partai penguasa sejak reformasi 1998. Mungkinkah semuanya akan berbalik di Pemilu 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Partai Golkar bisa dibilang menjadi kekuatan politik yang menyejarah. Telah berdiri sejak tahun 1964, sudah lebih dari setengah abad partai ini mengakar dalam panggung politik nasional. Partai yang identik dengan warna kuning ini juga menjadi penanda sejarah utama kekuasaan 32 tahun rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai pemain sejarah utamanya.

Tak hanya itu, dalam periode ini akar kekuasaan Golkar telah menjalar sampai ke daerah hingga masyarakat di pelosok sekalipun. Bisa dibilang, Golkar adalah simpul wajah partai berkuasa sejak dulu.

Namun, pasca reformasi 1998, posisi Golkar terus mengalami pergeseran. Banyak yang menilai partai ini telah melakukan transformasi yang signifikan untuk bisa tetap bertahan dalam dunia politik Indonesia. Golkar memang pada akhirnya bertahan, namun suara dukungan terhadapnya tak lagi sebesar dulu.

Baca Juga: Megawati Perlu Rebranding PDIP

Praktis Golkar tak pernah lagi menjadi the ruling party alias partai utama penguasa pemerintah. Habitat Golkar memang tak jauh dari kekuasaan. Maka untuk beberapa lama, partai tersebut selalu mendekat ke penguasa dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan. Inilah yang membuat banyak pihak mempertanyakan, apakah nature Golkar yang demikian tak bisa membuatnya kembali menjadi partai penguasa seperti dulu.

Seperti disinggung di awal, akademisi sekaligus mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani menekankan pentingnya resep MPH dalam tata kelola sebuah negara. Lalu, mungkinkah poin-poin pemikiran Mahbubani tersebut jugaditerapkan dalam tata kelola Partai Golkar dan membantunya kembali menjadi partai penguasa?

Revival Partai Golkar

Perjalanan politik Partai Golkar memang diwarnai pasang surut. Pasca reformasi 1998, Golkar bertransformasi dari hegemonic party – demikian istilah yang digunakan oleh Leo Suryadinata dari ISEAS – menjadi partai besar yang tidak lagi menjadi penguasa utama. Setidaknya dalam 2 dekade terakhir, posisi sebagai partai terbesar ada di tangan PDIP dan Partai Demokrat.

Golkar juga menjadi partai yang tidak lagi punya pusat kekuasaan, katakanlah seperti dulu di bawah Soeharto. Di era Orde Baru, Golkar memang menjadi alat kekuasaan Soeharto. Lihat saja hasil Pemilu sejak tahun 1977 di mana partai ini meraih 62 persen suara.

Baca juga :  The Presidents’s Sons: Didit vs Gibran

Di Pemilu-Pemilu selanjutnya, suaranya terus naik, bahkan sampai di atas 70 persen. Jika Soeharto berkuasa lebih lama lagi, ada kemungkinan bisa saja Golkar kemudian dijadikan sebagai partai tunggal – tentunya jika Bapak Pembangunan Nasional itu berkeinginan demikian.

Namun, Golkar yang sekarang tak lagi punya pusat kekuasaan. Ia menjadi partai dengan banyak tokoh. Bahkan, bisa dibilang hal ini menjadi keunikan tersendiri, mengingat mayoritas parpol-parpol lain justru punya satu tokoh sentral dalam partai.

PDIP misalnya ada Megawati Soekarnoputri, Demokrat ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gerindra ada Prabowo Subianto, Nasdem ada Surya Paloh, dan lain sebagainya. Sementara di Golkar, ada kubu Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Binsar Pandjaitan, dan lain-lain. Intinya banyak corong dan kepentingan yang masing-masing diperjuangkan para tokoh tersebut.

Nah, hal inilah yang sebetulnya cocok dengan kriteria MPH yang diutarakan oleh Mahbubani, terutama dalam konteks meritokrasi. Adanya banyak tokoh memungkinkan orang yang menjadi pemimpin partai adalah sosok yang benar-benar punya kemampuan politik yang handal.

Yang terbaik, dialah yang jadi pemimpin – demikian konteks meritokrasi itu secara sederhana dibahasakan. Ini juga membuat siapa yang menjadi penguasa di partai ini dianggap sebagai sosok yang terbaik bagi partai tersebut.

Sementara, dalam konteks pragmatisme politik, Golkar tak diragukan lagi menjadi partai yang sangat pragmatis. Sebentar bisa ada di kubu A, namun kemudian bisa berpindah ke kubu B setelah kontestasi elektoral selesai. Ini misalnya terjadi pada Golkar di era Aburizal Bakrie yang pada 2014 lalu menjadi pendukung Prabowo Subianto, namun kemudian beralih menjadi partai pemerintah beberapa waktu kemudian.

Mungkin dari rumusan MPH Mahbubani, faktor ketiga – yakni honesty – masih menjadi catatan besar Golkar. Beberapa kader Golkar masih sering terjerat kasus-kasus korupsi besar, misalnya mantan Ketum Golkar Setya Novanto, atau mantan Sekjen Golkar Idrus Marham.

Namun, setahun terakhir praktis tak ada kasus besar yang menimpa partai ini. Ini berbeda dengan PDIP misalnya, yang beberapa waktu terakhir justru disorot oleh banyak pihak terkait kasus korupsi bantuan sosial Covid-19.

Apalagi, pada Pilkada 2020 lalu, Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar menegaskan bahwa partainya tak akan lagi mendukung mantan napi koruptor sebagai kandidat dalam kontestasi elektoral kala itu. Ini tentu menjadi poin penting terkait narasi menjadi partai yang lebih bersih.

Baca Juga: PDIP Jadi Partai Hijau?

Konteks mengembalikan kejayaan Golkar atau Golkar’s revival – jika ingin menggunakan istilah yang lebih keren – juga akan sangat ditentukan oleh dinamika yang terjadi pada partai-partai besar lain. PDIP makin banyak kasus korupsi dan akan menghadapi proses regenerasi partai dari Megawati yang sepertinya bisa berpengaruh pada posisi partai tersebut.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Partai besar lain, Gerindra juga akan menghadapi gejolak dari simpatisan yang dulunya memilih mendukung karena menjadi lawan dari Presiden Joko Widodo. Kini Gerindra ada di koalisi pemerintah, dan hal itu diprediksi akan melahirkan ketidakpuasan dari para simpatisan ini yang berpotensi membuat mereka mengalihkan dukungan.

Posisi Golkar juga akan diuntungkan jika tak banyak kontroversi dan konflik yang terjadi pada partai ini jelang tahun 2024. Artinya, Golkar punya momentum untuk kembali menjadi partai penguasa. Tinggal bagaimana cara partai kuning ini melakukan rebranding politik agar bisa menjaring lebih banyak pemilih.

Mungkin Golkar perlu belajar dari Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD) alias Partai Sosial Demokrat Jerman. Pasca ditinggal oleh Gerhard Schrӧder yang menjabat Kanselir Jerman hingga 2005 lalu, SPD terus mengalami penurunan jumlah pemilih hingga saat ini. Bahkan, banyak pihak yang menilai partai tersebut mulai kehilangan relevansinya seiring menguatnya partai kiri jauh macam Die Linke yang baru berdiri pada 2007 lalu. SPD kini sedang ada dalam kondisi terburuk sejak era Perang Dunia II.

Dalam konteks Golkar, semuanya kini kembali ke tangan Airlangga Hartarto dan koleganya. Golkar bisa memilih kembali menjadi penguasa, atau menjadi lembar kisah SPD di belahan bumi lain.

Modal Dukungan Jokowi?

Satu lagi faktor yang akan menentukan langkah Golkar menjadi partai penguasa adalah dukungan dari Presiden Jokowi. Santer beredar gosip politik bahwa Jokowi memang sudah sejak lama tak nyaman dengan PDIP, sekalipun partai tersebut telah menjadi pendukungnya sejak lama.

Ia dipercaya akan cenderung lebih dekat dengan Golkar dan bahkan bisa saja memberikan dukungan bagi tokoh yang akan dicalonkan Golkar pada Pilpres 2024 mendatang.

Dukungan politik Jokowi bisa saja akan sangat menentukan posisi perolehan suara Golkar di Pemilu tersebut. Para pendukung garis keras Jokowi, bisa saja akan mengalihkan dukungan pada partai kuning tersebut.

Pada akhirnya, semuanya akan kembali pada bagaimana Golkar mengondisikan mesin partai di Pemilu 2024. Jika tetap bergerak seperti saat ini, ditambah memaksimalkan nasehat Mahbubani dan mendapatkan dukungan politik Jokowi, bukan tidak mungkin partai beringin ini akan kembali ke habitat aslinya.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.