HomeNalar PolitikRamalan Cicero Dalam UU MD3

Ramalan Cicero Dalam UU MD3

Filsuf dan negarawan Romawi, Cicero, pernah meramalkan kemunduran demokrasi yang ciri-cirinya mulai terlihat di tanah air.


PinterPolitik.com

“Kebusukan suatu negeri selalu berawal dari puncaknya, dari pemimpin –pemimpinnya!”

[dropcap]P[/dropcap]ekikan Marcus Tullius Cicero di pengujung era 63 Sebelum Masehi (SM) di atas, sepertinya masih relevan diteriakkan pada abad Milenial ini. Filsuf yang namanya besar di era demokrasi Romawi tengah carut marut tersebut, memang dikenal sebagai negarawan dan orator ulung di masanya.

Korupsi, perebutan kekuasaan, dan intrik politik tengah merajalela di masa itu. Sekeras apapun penganut Platonis ini berusaha membendungnya, namun kebusukan dan kemunduran demokrasi di Romawi pada akhirnya membuat kerajaan yang beralih menjadi republik tersebut punah, ditebas oleh perang sipil yang berkepanjangan.

Kemunduran demokrasi, terbukti, selalu menjadi ancaman sejak berabad-abad lalu. Walau pemerintahan silih berganti, namun kebusukan dan ketamakan seseorang saat berada di kursi kekuasaan akan terus menghantui. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Bumi Pertiwi saat ini.

Sikap haus kekuasaan dan keserakahan bahkan semakin terpampang jelas menjelang pemilihan umum (Pemilu) seperti tahun ini. Lihat saja ratusan kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua adalah cermin buruknya iman pemimpin masa kini.

Lebih mengecewakan lagi, tingkah laku para anggota Parlemen periode ini pun tak beda jauh dengan Senat di masa Romawi lalu. Kekuasaan yang diberikan rakyat, hanya berakhir dengan pengkhianatan. Para penghuni Senayan tersebut bahkan rela mengekang hak bersuara masyarakat dan ‘merampok’ anggaran negara demi kepentingannya.

Tak tanggung-tanggung, pengekangan tersebut tercakup dalam undang-undang yang baru disahkan bulan lalu, yaitu UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Selain ketiga pasal yang saat ini tengah dipelajari oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu pasal 73, 122 huruf (k), dan 245, penambahan kursi kepemimpinan di DPR dan MPR secara tak langsung juga sebenarnya merupakan bentuk pengkhianatan pada negara.

Cicero dan Kemunduran Demokrasi

”Suatu bangsa bisa bertahan menghadapi orang-orang bodoh, bahkan orang-orang ambisius sekalipun. Tetapi, bangsa akan hancur menghadapi pengkhianat dari dalam.”

Semasa hidup, yaitu dari 3 Januari 106 SM –  7 Desember 43 SM, Cicero dikenal sebagai seorang politikus yang berusaha menegakkan demokrasi secara murni. Saat Romawi dikuasai oleh para oligark, penganut ajaran epikureanisme ini lantang menentang penguasa melalui orasi-orasinya yang penuh dengan retorika.

Karena itulah dalam salah satu bukunya, de Re Publica, Cicero pernah meramalkan bahwa suatu negara akan mengalami kemunduran saat pemimpinnya korup dan mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan hak-hak masyarakatnya. Kesimpulan ini, ia pahami setelah mempelajari ide Republik milik Plato, bahwa konstitusi politik dalam sebuah negara pada dasarnya memang tidak akan bertahan selamanya.

Baca juga :  Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Cicero meramal, dalam suatu masa, negara dengan sistem republik dapat mengalami kemunduran demokrasi. Walau ia mengakui kalau konstitusi tradisional Republik secara intrinsik memang paling stabil dari yang pernah ada, namun ada satu kelemahan yang dapat mengancam keberlangsungan negara tersebut, yaitu korupsi yang dilakukan oleh para penguasanya.

Belajar dari musnahnya Republik Romawi, korupsi yang dilakukan para pejabat publik secara masif menjadi ‘biang’ kemunduran negara tersebut. Para penguasa ini, tulis Cicero, tidak lagi memperhatikan elemen nilai kode etik pada tugasnya masing-masing dan cenderung melakukan konspirasi atau arogansi dalam mengambil kebijakan publik.

Secara spesifik, Cicero menegaskan, saat Senat atau Parlemen yang pada hakikatnya adalah perwakilan dan pelayan rakyat, tak mampu menahan godaan untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok, serta tidak mampu satu suara akibat mengutamakan kepentingan masing-masing, maka kemunduran telah terjadi di negara tersebut.

Mengapa? Sebab saat itulah, para pemegang kekuasaan telah terbuai dengan segala hak istimewa yang didapat atas jabatannya. Tanpa disadari, mereka pun tak malu untuk melacurkan hak-hak tersebut, dengan membuat aturan-aturan yang mampu melanggengkan kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri maupun kelompoknya.

UU MD3 dan Ramalan Cicero

“Kebahagiaan rakyat, itulah hendaknya sebagai undang-undang tertinggi.”

Adagium suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei), memang masih menjadi panduan dalam demokrasi. Sayangnya, istilah yang pernah dilontarkan oleh Walter Reynolds di tahun 1327 itu, kerap disalahgunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak mewakili keinginan rakyat.

Baik Cicero maupun Uskup Agung Canterbury di Inggris tersebut sepakat, suara rakyat seharusnya benar-benar berasal dari rakyat. Bukan nafsu pribadi segelintir orang di Parlemen yang sepak terjangnya selalu mengatasnamakan rakyat, namun sebenarnya berlawanan dengan keinginan rakyat. Seperti yang telah dilakukan oleh para anggota Dewan Yang Terhormat di Gedung DPR MPR di Senayan sana.

Berawal dari revisi UU MD3 yang dilakukan DPR, di mana ada tujuh pasal kontroversial yang menurut masyarakat menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum terhadap masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi masyarakat. Sayangnya, Presiden Jokowi seakan hanya cuci tangan dengan tidak bersedia menandatanganinya, sehingga UU itupun akhirnya tetap diberlakukan.

Baca juga :  The Tale of Two Sons

Keberadaan UU MD3, bisa dibilang sebagai pertanda mulai mundurnya nilai-nilai demokrasi di negeri ini. Selain maraknya korupsi yang dilakukan secara sistematis oleh para politikus, baik untuk memperkaya diri sendiri maupun partai politiknya, kini para penguasa pun berupaya menggunakan hak keistimewaan mereka untuk melanggengkan kekuasaan dengan memberangus hak kontrol masyarakat terhadap Parlemen.

Adanya pasal penambahan kursi di DPR maupun MPR, juga secara tak langsung merupakan tindakan pengkhianatan terhadap masyarakat. Bahkan Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz juga melihat kalau penambahan kursi tersebut tidak akan berkolerasi dengan peningkatan kinerja, juga tidak memberi dampak positif bagi rakyat. Ia yakin, penambahan ini hanya konsesi politik yang dilegalkan UU semata.

Pendapat yang persis sama juga diungkapkan oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. Terlebih karena penambahan itu dilakukan saat masa tugas Parlemen tinggal 1,5 tahun saja. Pola ini, ternyata juga pernah terjadi di era Romawi, yaitu saat para penguasa mulai berupaya “merampok” keuangan negara melalui Parlemen sehingga menyebabkan negara tersebut bangkrut.

Perlawanan masyarakat terhadap UU MD3

Kemunduran demokrasi yang sangat serius tengah terjadi di negeri ini, bahkan mantan Ketua MK Mahfud MD pun ikut mengakuinya. Apakah masyarakat akan diam saja melihat kenyataan ini? Tentu tidak. Tak heran bila koalisi masyarakat sipil dan para mahasiswa memutuskan kembali turun ke jalan, mereka pun bergegas meminta MK untuk mengkaji ulang UU tersebut.

Walau sempat pesimistis, namun pergantian Ketua MK dari Arief Hidayat ke Anwar Usman yang dilakukan Selasa (2/4) lalu, memberikan angin segar dan juga harapan akan terpenuhinya gugatan masyarakat terhadap pasal-pasal kontroversial di UU MD3. Sebab sebelum Arief dilengserkan, bisa jadi harapan masyarakat akan kembalinya hak demokrasi rakyat tidak akan terpenuhi.

Seperti yang pernah dikatakan Cicero, ikan busuk biasanya berawal dari kepalanya. Agar pembusukan tidak menjalar, maka kepalanya lah yang harus dipotong terlebih dahulu. Saat ini, MK telah melakukannya. Walau sisa-sisa ketidakpercayaan masih membekas, namun diharapkan kepala baru yang menggantikan tidak ikut-ikutan membusuk.

Dan semoga saja, pembusukan di Parlemen pun bisa segera dipotong pada Pemilihan Legislatif di 2019 nanti. Walau bagaimana pun, suara rakyatlah yang menentukan keberadaan mereka dalam periode selanjutnya. Mari bersama-sama ‘memotong kepala ikan busuk’ tersebut dari Gedung DPR MPR. Karena sejatinyalah, kebahagiaan rakyat merupakan undang-undang yang tertinggi, tak terkecuali di negeri ini. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...