HomeNalar PolitikPolitik Bank Dunia di Omnibus Law?

Politik Bank Dunia di Omnibus Law?

Bank Dunia akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi yang dinilai mendukung Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) atau yang biasa dikenal sebagai omnibus law. Mungkinkah terdapat peran politik dari organisasi internasional tersebut di balik peraturan tersebut?


PinterPolitik.com

“The Federal Reserve, the World Bank and the IMF. Helping the poor get poorer you in debt until your dying breath” – Talib Kweli, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Bagi sebagian besar penggemar film-film Hollywood, tema-tema pahlawan super seperti Iron Man, Captain America, Thor, hingga Spider-Man pasti bukanlah hal yang asing. Bagaimana tidak? Film-film yang menyertakan nama-nama tokoh tersebut kerap menarik jumlah penonton yang tidak kecil.

Salah satu film besutan Marvel Studios yang menyertakan tokoh-tokoh tersebut adalah Captain America: Civil War (2016). Namun, dalam film satu ini, para pahlawan super justru tidak menghadapi musuh besar bersama, melainkan berdebat dan bertarung dengan satu sama lain.

Pertentangan di antara mereka bermula dari sebuah rancangan peraturan yang dibangun atas kesepakatan antar-negara, yakni Sokovia Accord. Perjanjian itu pada intinya ingin menempatkan para pahlawan super yang dikenal sebagai Avengers tersebut dalam bayang-bayang akuntabilitas – sehingga tidak bertindak sesuka hati.

Salah satu poin yang diangkat oleh Mearsheimer dalam kuliah tersebut adalah peran elite-elite transnasional. Para elite ini – mulai dari pebisnis, media, kaum intelektual, hingga pengambil kebijakan – dinilai menumbuhkan sebuah fenomena global yang disebut sebagai hiper-globalisasi (hyperglobalization).

Menurut Mearsheimer, para elite transnasional ini tidak benar-benar meninggalkan identitas nasionalnya. Namun, mereka mulai menggunakan identitas-identitas kosmopolitan – seperti berbicara dalam bahasa Inggris, membaca pustaka-pustaka yang sama, dan berkomitmen pada kebijakan-kebijakan ekonomi liberal.

Tentunya, kehadiran para elite transnasional ini membawa dampak pada perekonomian suatu negara. Mearsheimer mencontohkan bagaimana ekonomi AS lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan masyarakat umum secara luas.

Komitmen pada kebijakan-kebijakan ekonomi liberal dan terbuka ini diwujudkan melalui penguatan institusi-institusi internasional – seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO). Aturan yang dibuat dalam rangkaian institusi-institusi tersebut membuat negara-negara tidak mampu melindungi masyarakatnya dari dampak buruk ekonomi.

Baca juga :  Siasat JK Hadang Jokowi ke Golkar?

Selain itu, pengaruh institusi internasional seperti Bank Dunia juga disalurkan melalui pendelegasian otoritas dalam pengambilan kebijakan. Dengan begitu, arah kebijakan suatu negara dapat mengarah pada prinsip-prinsip keterbukaan ekonomi.

Bukan tidak mungkin, para elite transnasional ini pernah ada di Indonesia. Sebutan Mafia Berkeley, misalnya, disematkan kepada para teknokrat yang menjadi pejabat dan menteri di era pemerintahan Soeharto. Beberapa di antaranya yang dianggap mendukung kebijakan ekonomi liberal kala itu adalah Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Subroto, dan sebagainya.

Bila para pengambil kebijakan di era Orde Baru tersebut bisa dikategorikan sebagai elite transnasional ala Mearsheimer, lantas, apakah ada elite transnasional baru di masa kini? Kemudian, bagaimanakah dampak kebijakan ekonomi liberal – seperti omnibus law – pada dinamika politik di masa mendatang?

Ketika Kekecewaan Meluap

Bukan tidak mungkin, peran elite transnasional ini eksis di Indonesia masa kini. Pasalnya, sejumlah pejabat yang merupakan teknokrat juga masih mengisi peran-peran penting di bidang ekonomi.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, misalnya, kerap dianggap menjadi salah satu sosok yang mendorong ekonomi dan pasar yang terbuka. Lagi pula, menteri yang biasa disapa Ani ini juga memiliki afiliasi yang cukup dekat dengan beberapa institusi keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.

Pada tahun 2002, misalnya, Sri Mulyani pernah menjabat sebagai Executive Director IMF yang mewakili negara-negara Asia Tenggara. Selain IMF, Menkeu juga pernah menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia pada tahun 2010.

Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa Menkeu menjadi bagian dari elite transnasional yang disebutkan oleh Mearsheimer, omnibus law bukan tidak mungkin menjadi produk hukum yang mendorong prinsip-prinsip ekonomi liberal. Maka dari itu, konsekuensi ekonomi dan sosial pun bisa menyertai.

Baca juga :  The Tale of Two Sons

Konsekuensi ekonomi dan sosial dari hiper-globalisasi ini – menurut Mearsheimer – adalah semakin terpinggirkannya masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Ketidaksetaraan ekonomi juga akhirnya terus bertumbuh.

Alhasil, sentimen tertentu muncul di masyarakat. Di AS, misalnya, muncul keyakinan bahwa para elite global ini tidak memedulikan nasib masyarakat dan bangsanya sendiri demi mengejar kepentingannya sendiri. Bukan tidak mungkin, sentimen ini juga akan tumbuh di Indonesia dengan pengesahan omnibus law yang kontroversial.

Kekecewaan yang dialami oleh masyarakat kelas menengah dan kelas bawah ini pada ujungnya akan memunculkan konsekuensi politik lainnya. Dampak lanjutan politis ini adalah tumbuh dan menguatnya nasionalisme – seperti yang terjadi dengan kemunculan Donald Trump sebagai pemenang dalam Pilpres AS 2016.

Bukan tidak mungkin, tumbuhnya rasa nasionalisme ini juga terjadi di Indonesia – dan malah merugikan pemerintahan Jokowi. Pasalnya, beberapa gerakan politik sayap kanan juga dianggap telah berusaha mengambil momentum politik dari kontroversi yang ditimbulkan oleh RUU Ciptaker.

Sebastian Strangio dalam tulisannya di The Diplomat menjelaskan bahwa paket reformasi neoliberal yang dilakukan melalui omnibus law ini menimbulkan disrupsi politik (political upheaval). Alhasil, nasionalisme dan ekskluvisme Islam bisa saja akan membara kembali akibat disrupsi politik ini.

Beberapa waktu lalu, misalnya, Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam (FPI) mencoba mengambil momentum dari gelombang protes yang dilakukan oleh kelompok buruh dan mahasiswa. Bukan tidak mungkin, deregulasi ala neoliberal ini akan menyisakan kesulitan ekonomi yang menumbuhkan politik sayap kanan ini.

Meski begitu, gambaran kemungkinan akan bangkitnya momentum bagi politik sayap kanan di Indonesia ini belum tentu benar akan terjadi. Yang jelas, bila pemerintahan Jokowi tidak mengatasi kritik dan kontroversi omnibus law dengan baik, bukan tidak mungkin disrupsi politik akan terus menghantui – entah kelompok mana yang nantinya muncul meraih momentum. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?