HomeNalar PolitikPNS Jadi Korban THR 2021?

PNS Jadi Korban THR 2021?

Petisi online meminta THR ASN agar mencakup tunjangan kinerja menyeruak. Publik mungkin akan teringat pada THR tahun 2019 yang punya jumlah besar.


Pinterpolitik.com

Siapa yang hari ini masih menunggu-nunggu datangnya tunjangan hari raya (THR)? Lebaran memang waktu yang cukup berbahagia, tak hanya dari sisi silaturahmi tetapi juga dari datangnya uang. Ya, THR memang jadi salah satu bagian paling dinanti jelang Idulfitri.

Pemerintah sendiri memang sudah mengimbau kepada para pemberi kerja untuk membayar hak karyawan tersebut. Selain itu, telah terbit pula aturan khusus yang membahas pembayaran THR bagi para aparatur sipil negara (ASN).

Sayangnya, peraturan pemerintah terkait dengan THR itu ternyata tak memberikan rasa senang seperti pada umumnya. Jika biasanya THR disambut suka cita, kini tunjangan tersebut justru menuai petisi.

Beberapa waktu terakhir, memang heboh soal petisi online yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan para pimpinan DPR. Isi petisi tersebut kurang lebih meminta agar THR bisa meningkat angkanya, serupa dengan tahun 2019.

Ternyata perkara THR ini bisa memunculkan polemik. Dengan tradisi dan kegunaannya, tunjangan tersebut tergolong sangat penting bagi para penerimanya.

Di luar itu, kondisi ini juga dapat menjadi gambaran bahwa THR adalah perkara yang cukup penting bagi para pejabat. Lalu, bagaimana urusan tunjangan ini dapat dilihat lebih jauh?

Riwayat THR

Sebenarnya, THR sudah ada bertahun-tahun lamanya di negeri ini. Berbagai riwayat mencatat kalau salah satu hak karyawan itu telah ada pada era Kabinet Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo pada tahun 1951.

Kala itu, kabinet Soekiman memiliki program untuk meningkatkan kesejahteraan para pamong praja. Istilah pamong praja sendiri merujuk pada sebutan kepada para pegawai negeri sipil (PNS) di era awal kemerdekaan.

Awalnya, istilah yang digunakan adalah persekot di mana terjadi pinjaman lalu harus digantikan lewat pemotongan gaji. Selain uang, ada pula paket berupa sembako yang diberikan kepada para PNS jelang hari raya.

Baca Juga: Jokowi Diterpa Terorisme Politik?

Seperti disebutkan di atas, pada awalnya memang hanya para abdi negara saja yang menikmati tunjangan tersebut. Para pekerja swasta tidak menikmati kemewahan jelang hari raya tersebut. Kondisi itu kemduian memicu protes keras dari kaum buruh.

Puncaknya, para buruh kemudian melancarkan mogok massal agar mendapat hak yang sama. Pada tahun 1954, kemudian terbit surat edaran agar para pengusaha memberi THR untuk pekerja swasta. Namun, surat tersebut hanya sebatas imbauan. Akibatnya, tak banyak pengusaha yang membayar karena dianggap sebagai sesuatu yang sukarela.

Baca juga :  Jokowi Tak Mungkin Dimakzulkan

Secara formal, aturan besaran dan skema THR baru terbit di tahun 1994. Lalu, aturan tersebut direvisi kembali pada tahun 2016.

Nah, dengan berbagai riwayat tersebut, THR kemudian menjadi perkara yang amat penting bagi banyak orang. Secara ekonomi, dana tersebut bisa digunakan PNS dan pekerja swasta untuk mudik dan bertemu keluarga di kampung halaman.

Dana tersebut juga bisa membiayai berbagai kebutuhan hari raya seperti membeli pakaian baru atau sajian khas Idulfitri. Lalu, secara sosial, THR juga dapat digunakan untuk memberi tanda cinta kepada orang-orang terkasih.

Merujuk pada kondisi tersebut, terlihat bahwa THR adalah hal yang amat bermakna bagi para pekerja, termasuk para ASN. Oleh karena itu, kalau jumlahnya tak sesuai harapan bisa memicu protes cukup keras.

Dimensi Politik

Dengan makna dan peruntukannya yang cukup penting bagi masyarakat, THR kemudian bisa memiliki dimensi politik yang cukup besar. Jelang hari raya, perkara ini memang jadi salah satu hal yang penting untuk diimbau atau diatur pejabat pemerintahan.

Salah satu polemik paling sering muncul adalah soal relasi antara pengusaha dan pekerja. Saat pemerintah mengimbau pembayaran THR, banyak pengusaha merasa terbebani karena besarannya yang tinggi. Di lain pihak, para buruh juga kerap protes karena dana yang dicairkan tak sepenuhnya memenuhi kebutuhan.

Selain itu menghadapi relasi antara pekerja dan pengusaha, pemerintah juga kerap harus mengurusi pos anggaran untuk THR para pegawai negeri. Dalam banyak kasus, pemerintah tampak tak keberatan untuk mencairkan dana tersebut secara melimpah.

Bagi banyak orang, salah satu gambaran dari kondisi tersebut terlihat dalam pencairan THR bagi PNS pada tahun 2019. Kala itu, dana yang diterima para abdi negara tergolong tinggi karena mencakup berbagai tunjangan.

Di tahun tersebut, komponen dari THR tak hanya terdiri dari gaji pokok saja. Berbagai tunjangan seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, hingga tunjangan kinerja, juga masuk ke dalam komponen.

Akibatnya, uang yang diterima para ASN jelang hari raya jadi cukup melimpah. Tentu, hal itu bisa memberikan senyum bagi para abdi negara sebelum merayakan Lebaran.

Baca Juga: Justifikasi Korupsi ala Mahfud MD?

Bagi beberapa orang,  besarnya dana THR tersebut disebut berbau politik. Kala itu, pencairan THR memang tergolong berdekatan dengan jalannya Pilpres 2019. Pencairannya sendiri memang dipercepat sebelum Pemilu pada bulan April. Hal itu tentu masih ditambah dengan kenaikan gaji PNS dan pemberian gaji ke-13 yang muncul berdekatan.

Merujuk pada kondisi tersebut, banyak pihak menuding kalau pemerintah di bawah petahana Presiden Jokowi berupaya untuk “membeli” hati dan suara para PNS. Dengan makna dan peruntukan THR yang penting, anggapan tersebut tergolong wajar. Hal inilah yang kemudian membuat THR akan selalu punya dimensi politik.

Baca juga :  Sejarah Penistaan Kata Diktator

Mengenang THR 2019

Ketika Menkeu Sri Mulyani mengumumkan THR untuk PNS hanya terdiri dari gaji pokok dan tunjangan melekat, publik boleh jadi akan bertanya-tanya. Mengapa kebijakan tersebut terjadi di masa sekarang?

Secara khusus, dalam petisi yang beredar, ada yang mengaitkan dengan kondisi THR di tahun 2019. Pada titik itu, mungkin ada yang mempertanyakan mengapa THR dengan jumlah besar baru ada di tahun politik.

Memang, untuk tahun ini, pemerintah boleh jadi punya cukup alasan. Pandemi COVID-19 membuat Sri Mulyani harus cukup putar otak. Berbagai pos APBN banyak yang harus digunakan untuk beragam kondisi saat wabah merebak.

Namun, apakah kondisi di tahun 2019 juga APBN juga benar-benar prima?

Kala itu, dikutip dari CNBC Indonesia, belanja negara di bulan April sedang mengalir deras. Hal itu terjadi karena dorongan belanja bantuan sosial.

Baca Juga: Menanti Jokowi Ubah Paradigma Infrastruktur

Di sisi lain, penerimaan negara hanya tumbuh 0,5%. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya penerimaan negara tumbuh 13,3%.

Merujuk pada kondisi tersebut, beberapa orang mungkin akan bertanya-tanya, di tengah arus belanja bantuan sosial, mengapa pemerintah masih mengalirkan THR secara deras? Jika mau dilanjut, tentu akan ada pertanyaan pula soal gaji ke-13 di bulan Juni.

Lantas, boleh jadi akan ada yang bertanya, mengapa hal tersebut tak dilanjutkan di tahun ini?

Berdasarkan hal tersebut, beberapa orang mungkin akan menilai kalau para ASN ini jadi semacam korban dari klientelisme politik jelang pemilu. Hal itu sempat diulas misalnya oleh Ward Berenschot dalam Incumbent bureaucrats: Why elections undermine civil service reform in Indonesia.

Istilah itu sendiri kerap merujuk pada pertukaran keuntungan pribadi (uang, jabatan, atau akses pada layanan publik) untuk dukungan politik.

Nah, boleh jadi publik merasa ada nuansa politik semacam itu di tahun 2019. Sementara itu, di tahun ini kondisi semacam itu absen. Memang, pandemi menghantam APBN begitu berat. Namun, bisa saja ada yang merasa APBN tahun 2019 pun tak benar-benar prima.

Tentu, semua itu masih perlu dibuktikan lebih jauh. Meski demikian, mungkin saja perlu dibuat semacam realitas alternatif, apa jadinya jika tahun ini ada Pilpres? Mungkinkah besaran THR masih sama seperti sekarang? (H33)


Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...