HomeNalar PolitikPerpetual War Demokrat-PDIP

Perpetual War Demokrat-PDIP

Rivalitas dua partai ternama, Demokrat dan PDIP, bagaikan sebuah perang tidak berkesudahan.


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]epertinya, banyak orang tidak menyukai peperangan. Darah yang tertumpah atau air mata yang mengalir saat perang jelas bukan hal yang diimpikan banyak orang. Umumnya, orang lebih memilih perdamaian ketimbang harus menghadapi pertempuran.

Akan tetapi, PDIP dan Demokrat tampaknya tidak sepakat dengan ungkapan itu. Kedua partai berhaluan nasionalis ini terlibat perang tidak berkesudahan sejak lama. Memang, perang yang dimaksud bukanlah dengan mengangkat senjata. Akan tetapi, perseteruan di antara dua partai ini memang sudah laksana perang tidak berkesudahan.

Terakhir, kedua partai ini terlibat perdebatan dalam perkara pelantikan M. Iriawan menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Keduanya saling melempar kritik pedas terkait sikap masing-masing dalam menanggapi pelantikan jenderal polisi tersebut.

Saling lempar kritik tersebut dapat menjadi tanda-tanda bahwa perang di antara keduanya belum akan berakhir. Padahal, sempat beredar kabar kedua kubu berseberangan ini berpotensi berkoalisi dalam gelaran Pilpres 2019. Mengapa dua partai tersebut malah melanjutkan perang mereka?

Hikayat Perang Demokrat-PDIP

Hubungan perang Demokrat-PDIP kembali memanas. Terpilihnya Iriawan menjadi Pj Gubernur Jabar meningkatkan kembali suhu ketegangan di antara keduanya. Lembaran baru dalam hikayat perang Demokrat-PDIP seperti tidak ada habisnya melalui ketegangan tersebut.

Tensi tinggi dalam hubungan keduanya sudah sempat menanjak manakala Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mempertanyakan program revolusi mental pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sontak, kader-kader PDIP langsung pasang badan menjadi tameng bagi kritik AHY tersebut.

Jika ditarik lebih jauh, perang Demokrat-PDIP bisa dilacak hingga di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, Demokrat berlaku sebagai partai pemerintah sementara PDIP muncul sebagai kekuatan oposisi yang kritis.

Secara spesifik, panasnya hubungan Demokrat dan PDIP disebut-sebut bersumber dari tegangnya hubungan antara ketua umum masing-masing, SBY dan Megawati Soekarnoputri. Sulitnya mendamaikan dua tokoh politik utama tanah air ini berpengaruh pada hubungan kedua partai.

Perpetual War Demokrat-PDIP

Ketegangan dua tokoh ini disebut-sebut bersumber dari keinginan SBY untuk melaju di Pilpres 2004. SBY saat itu seperti dialienasi di kabinet Megawati hingga akhirnya mengundurkan diri dari kursi Menkopolhukam. Ada pula yang menyebut bahwa tensi tinggi antara keduanya berakar jauh pada peristiwa Kudatuli. Apapun akar penyebabnya, legenda soal perseteruan SBY-Megawati memang mewarnai relasi Demokrat dan PDIP.

Peperangan tidak berujung ini tergolong amat disayangkan. Hal ini terutama karena keduanya sempat dirumorkan bisa berkoalisi untuk mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Sempat diberitakan bahwa kubu biru Demokrat siap merapat ke sisi Jokowi meski sang petahana sudah didukung kubu merah PDIP. Sinyal ini misalnya diungkapkan oleh Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy (Romy).

Baca juga :  Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Beberapa pihak melihat secercah harapan rekonsiliasi melalui aliansi keduanya di Pilkada. Meski berseteru, kedua partai ini mau berkoalisi mendukung kandidat yang sama di dua Pilgub yaitu Pilgub Jateng dan Pilgub Kalbar. Sayang secercah harapan tersebut seperti gelap kembali melalui aksi saling kritik di antara keduanya.

Kembali ke Kondisi Alamiah

Perang Demokrat-PDIP ini seperti merefleksikan perpetual war atau perang tak berkesudahan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes.  Filsuf politik ini memang amat mahsyur dengan pemikirannya tentang state of nature atau kondisi alamiah manusia yang terus berperang atau kerap disebut bellum omnium contra omnes.

Hobbes berpendapat bahwa ada tiga hal yang menyebabkan perang yang tidak berkesudahan tersebut. Dalam karyanya tentang Leviathan, ia menyebut tiga penyebab prinsipil perselisihan tersebut, yaitu kompetisi atau persaingan, ketidakberanian, dan kejayaan. Ketiganya dilakukan untuk mencapai maksud tertentu dalam hidup.

Jika diperhatikan, ketiganya bisa ditemukan dalam perang Demokrat-PDIP yang tidak berkesudahan. Motif perang dari kedua belah pihak bisa direfleksikan melalui persaingan, ketidakberanian, dan kejayaan yang dikemukakan oleh Hobbes.

Unsur kompetisi antara Demokrat dan PDIP memang jelas kentara. Pengalaman masing-masing sebagai partai oposisi dan partai pemerintah membuat keduanya tidak ragu saling melontarkan kritik. Ada unsur gengsi dari persaingan dua partai nasionalis ini.

Secara spesifik, persaingan yang dimaksud Hobbes ini bersumber dari rasa ingin saling menguasai. Kekuasaan jelas menjadi motif utama persaingan keduanya. Sepertinya, kedua partai ini memiliki keinginan yang sama untuk menjadi partai pemerintah agar bisa menguasai kubu lawannya.

Unsur ketidakberanian menurut Hobbes digambarkan melalui sikap defensif atas serangan kubu lawannya. Terlihat bahwa baik Demokrat dan PDIP memang tergolong amat rajin mempertahankan diri dari serangan kritik lawannya. Kedua pihak tampak sangat reaktif jika diserang kritik oleh masing-masing pihak.

Ini terlihat dari aksi saling jawab kritik belakangan ini. Serangan PDIP terhadap SBY tentang pengangkatan Gubernur dari TNI-Polri langsung dijawab oleh Demokrat. Hal serupa berlaku saat Demokrat mengritik revolusi mental Jokowi yang langsung ditimpali PDIP. Sikap defensif ini membuat perang menjadi sulit dihentikan.

Unsur kejayaan yang dimaksud Hobbes dapat disamakan dengan reputasi. Dalam konteks politik elektoral, hal ini bisa disamakan dengan popularitas di mata pemilih. Sebagai partai yang memperebutkan suara massa, sangat wajar keduanya saling bersaing bahkan berperang.

Baca juga :  Anies-Ganjar dan Mereka yang "Geruduk" MK

Mencari Jembatan Emas

Dalam pandangan Hobbes, peperangan tersebut baru akan berakhir jika ada kekuatan yang disebut sebagai sovereign atau penguasa. Sovereign ini bisa mengurangi kondisi saling berperang di antara manusia sehingga mau melepaskan hak atau kebebasan mereka masing-masing.

Menurut Hobbes, sovereign tersebut harus bersifat absolut agar ketertiban di antara masing-masing pihak bisa terjaga. Pemimpin yang dimaksud harus mampu memaksakan kehendaknya agar tidak terjadi perang atau kekacauan.

Dalam konteks perang Demokrat-PDIP, boleh jadi sovereign yang dimaksud tidak harus benar-benar berkekuatan absolut. Dalam hubungan dua partai nasionalis tersebut, sovereign yang lebih ideal adalah sosok yang mampu mewakili atau menjembatani kedua belah pihak, alih-alih menekan mereka.

Dulu, sosok mantan Ketua MPR Taufiq Kiemas dikenal sebagai orang yang mampu menghadirkan sedikit harmoni di antara kedua partai tersebut. Suami dari Megawati ini bahkan dianggap sebagai jembatan emas bagi relasi dua partai berseteru tersebut. Kader-kader Demokrat begitu mengenang upaya Taufiq membangun jembatan di antara Demokrat dan PDIP.

Indikasi usaha Taufiq Kiemas menjembatani kedua partai nampak misalnya pada pemilihan Ketua MPR tahun 2009. Kala itu, meski memiliki posisi berseberangan, Demokrat justru mendukung Taufiq menjadi Ketua MPR.

Saat ini, tidak banyak tokoh yang bisa dikategorikan jembatan emas seperti yang disebut sebelumnya. Meski demikian, ada satu nama yang tampaknya bisa diterima kedua belah pihak dengan baik. Jika melihat pemberitaan belakangan ini, sosok pengusaha Chairul Tanjung (CT) bisa saja memainkan peran jembatan emas seperti Taufiq Kiemas beberapa waktu yang lalu.

CT dianggap dekat dengan elite masing-masing partai. Secara spesifik, hubungan CT dengan Megawati dan SBY juga tergolong baik. Hubungan baik pengusaha tersebut diharapkan mampu menjadi jembatan baru dalam usaha mengakhiri perang di antara keduanya.

Belakangan, ada wacana memasangkan Jokowi dengan CT untuk Pilpres 2019. Wacana ini tergolong menarik, tidak hanya sebagai pasangan alternatif, tetapi juga sebagai upaya mengakhiri perang Demokrat-PDIP.

Hadirnya jembatan memang tergolong krusial untuk mengakhiri perpetual war antara Demokrat dan PDIP. Jika tidak ada jembatan tersebut, maka perang Demokrat-PDIP bukan tidak mungkin menjadi hal yang tidak berujung dan mengeskalasi menjadi lebih besar. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Ketakutan akan Perang Dunia III mencuat bersamaan dengan serangan yang dilakukan Iran ke Israel. Mungkinkah kita sudah berada di awal Perang Dunia III?

Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo “Sakti”?

Prabowo Subianto disebut berperan besar dalam pemberian bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia ke Gaza melalui penerjunan dari udara oleh pesawat TNI-AU. Lobi Prabowo dan aksi-reaksi aktor-aktor internasional dalam merespons intensi Indonesia itu dinilai sangat menarik. Utamanya, proyeksi positioning konstruktif dan konkret Indonesia dalam konflik Israel-Palestina, beserta negara-negara terkait lainnya.

MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Pendapat menarik diungkapkan oleh Denny Indrayana yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja hanya mendiskualifikasi Gibran dan tetap mensahkan kemenangan Prabowo sebagai presiden.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...