HomeNalar PolitikNgabalin, Taruhan Akuntabilitas Jokowi

Ngabalin, Taruhan Akuntabilitas Jokowi

Tudingan makar Ali Mochtar Ngabalin pada gerakan #2019GantiPresiden, dikritik pedas Ade Armando yang juga pendukung Jokowi.


PinterPolitik.com

“Hal yang salah dan tak bermoral apabila mencoba melarikan diri dari konsekuensi atas tindakan yang dilakukannya.” ~ Mahatma Gandhi

[dropcap]K[/dropcap]isruh penolakan dan pelarangan gerakan #2019GantiPresiden yang terjadi di beberapa daerah, berbuntut panjang. Bukan saja karena kepolisian dan Badan Intelejen Negara (BIN) ikut terlibat, tapi juga akibat komentar Ali Mochtar Ngabalin yang mengatakan kalau kegiatan tersebut merupakan upaya makar.

Sebelumnya, pria yang akrab disapa Ngabalin ini, mengatakan kalau gerakan #2019GantiPresiden berarti per 1 Januari 2019 presiden harus diganti. Pernyataan ini, mengacu pada bahasa Arab, fi’il amar, yaitu perintah agar segala cara dilakukan untuk segera mengganti presiden, sehingga dapat dikatakan sebagai upaya makar.

Pernyataan Tenaga Ahli Deputi IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) tersebut, tentu saja langsung mendapatkan reaksi keras, bukan hanya dari pihak oposisi, tapi juga dari pendukung Jokowi sendiri. Tokoh yang paling keras mengkritik pernyataan Ngabalin adalah pengamat politik Ade Armando.

Sebagai pakar komunikasi, Ade menyatakan kalau ucapan Ngabalin tersebut sangat berbahaya bila dilihat dalam konteks Hak Azasi Manusia (HAM) dan pelaksanaan demokrasi. Sebab, kader Golkar tersebut tidak bisa membedakan antara gerakan aspirasi rakyat dengan kegiatan yang mengarah pada penggulingan kekuasaan.

Di sisi lain, sebagai pendukung setia Jokowi sejak Pilpres 2014, Ade tentu juga melihat tudingan Ngabalin pada kelompok anti-Jokowi itu malah akan menjadi blunder yang merugikan citra Jokowi di mata rakyat. Sebagai petahana, apa yang dikatakan Ngabalin akan bisa menimbulkan kesan kalau Jokowi adalah presiden yang represif dan diktator.

Walau Ade memahami kalau apa yang dikatakan Ngabalin merupakan upaya untuk menangkis tudingan yang ditujukan pada Jokowi, namun di akun media sosialnya, Ade mengaku malu dengan logika yang digunakannya. Lalu, sebenarnya logika apa yang seharusnya digunakan oleh Ngabalin?

Tanggung Jawab Kontrak Sosial

“Mereka yang menikmati tanggung jawab biasanya mendapatkannya; mereka yang hanya suka menjalankan otoritas biasanya kehilangannya.” ~ Malcolm Forbes

Seperti yang diketahui, diangkatnya Ngabalin sebagai anggota staf kepresidenan, salah satu fungsinya adalah untuk menangkal pernyataan kelompok oposisi yang kerap dianggap memojokkan pemerintah. Terutama menanggapi berbagai komentar dari kubu agamis yang sifatnya berkaitan dengan hal-hal keagamaan.

Sebelum masuk ke istana, Ngabalin dikenal sebagai tokoh yang sering mengkritik kebijakan Jokowi. Di Pilpres 2014 lalu, mantan kader Partai Bulan Bintang ini sendiri masuk sebagai anggota Timses Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Ngabalin bahkan pernah mengatakan kalau pemerintahan Jokowi bersifat otoriter.

Baca juga :  Sejarah Penistaan Kata Diktator

Riwayat perjalanan politik Ngabalin ini, dilihat Ade sebagai salah satu penyebab mengapa kadang jawaban yang diberikan oleh pria asal Papua tersebut kerap bersifat blunder dan tak jarang menjadi bumerang bagi kubu Jokowi. Menurutnya, Ngabalin masih belum bisa membedakan posisinya di oposisi dengan di pemerintahan.

Kesadaran Ngabalin kalau dirinya berada di posisi berbeda ini, menurut Ade penting, karena sebagai bagian dari pemerintah, pernyataannya harus dikeluarkan secara hati-hati dan dipikirkan dampaknya agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (trust in government). Argumen Ade ini, secara tak langsung dibenarkan Jean-Jaques Rousseau.

Berdasarkan teori kontrak sosial, filsuf asal Prancis tersebut mengatakan kalau pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan pernyataan yang sebenar-benarnya pada masyarakat. Tanggung jawab atau akuntabilitas ini  disebabkan oleh adanya ikatan kontrak sosial yang diberikan masyarakat pada pemerintah.

Kontrak sosial yang dimaksud Rousseau ini, terkait dengan pemberian kepercayaan melalui kedaulatan individu atau suara elektoral masyarakat pada pemimpinnya, saat konstestasi demokrasi berlangsung. Lebih jelasnya, kontrak sosial tersebut terjadi saat masyarakat memilih Jokowi sebagai presiden di Pilpres 2014 lalu.

Oleh karena itulah, sebagai juru bicara Jokowi, Ngabalin tidak bisa menanggapi berbagai hal secara sembarangan. Karena apa yang dikatakannya, akan langsung dikaitkan dengan kebijakan Jokowi sebagai pemegang mandat kekuasaan rakyat. Bila pernyataan itu tidak sesuai dengan hati nurani rakyat, maka tentu yang paling dirugikan adalah Jokowi.

Begitupun dengan tudingan makar pada gerakan #2019GantiPresiden yang dilontarkannya, walau yang menyatakan Ngabalin secara pribadi, namun masyarakat akan menilainya sebagai bagian dari pandangan politik Jokowi. Sehingga tentu saja, wacana atau diskursus yang terbangun akan menimbulkan efek yang negatif bagi elektabilitas Jokowi di Pilpres nanti.

Akuntabilitas Wacana Ngabalin

“Diskursus publik online tak dapat diselesaikan melalui debat dengan bahasa yang santun.” ~ Hozier

Efek bumerang bagi pemerintah inilah yang membuat Ade menjadi berang, apalagi masa kampanye pemilihan presiden sebentar lagi akan dimulai. Bisa saja pihak oposisi akan menggunakan wacana yang dilontarkan Ngabalin tersebut, sebagai peluru mematikan bagi pemerintah karena dianggap tidak demokratis.

Baca juga :  Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Sebagai petahana, mau tak mau Jokowi akan diukur dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan semasa berkuasa. Termasuk wacana dari orang-orang kepercayaannya, seperti halnya Ngabalin. Terkait wacana, Michel Foucault mengatakan kalau ada dua tipe yang mempengaruhi berdasarkan kekuasaannya, yaitu tipe positivistik dan eskatologis.

Menurut Foucault, pada tipe positivistik umumnya wacana ditentukan berdasarkan kebenaran obyek yang disampaikan. Sementara tipe kedua, yaitu eskatologis merupakan wacana yang sifatnya membedah kebenaran dan membahasnya dari kejauhan yang tujuannya memberi pengetahuan kepada masyarakat berdasarkan apa yang diinginkan.

Nah, perbedaan penggunaan wacana inilah yang seharusnya diketahui Ngabalin saat ingin melontarkan atau menangkis tudingan oposisi. Sebagai penguasa yang harus menjaga kepercayaan masyarakat, maka kubu Jokowi seharusnya melemparkan wacana atau diskursus yang bersifat positivistik atau mengandung kebenaran.

Posisi ini berbeda dengan pihak oposisi yang melihat kekuasaan dari kejauhan atau tidak terlibat di dalamnya, sehingga umumnya wacana yang dilontarkan sifatnya eskatologis. Akibat oposisi kerap melontarkan asumsi, maka pemerintah pun membutuhkan juru bicara guna meluruskan wacana yang bisa merusak kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Apalagi berdasarkan penelitian yang dilakukan Benedict Anderson, masyarakat Indonesia sangat memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, konstan, dan homogen. Berbeda dengan di AS, di mana masyarakat memandang pemerintahnya sebagai kekuasaan yang ambigu, tidak konkret, dan bersifat heterogen.

Akibatnya, menurut Profesor yang terkenal lewat karyanya, Imagined Community ini, tingkat kepercayaan sangat penting bagi petahana – seperti halnya Jokowi saat ini, bila ingin melanggengkan kekuasaan di periode kedua. Tak heran bila gerakan #2019GantiPresiden cukup mengganggu pemerintah, karena memprovokasi kegagalan pemerintahan Jokowi.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka kegeraman Ade pada Ngabalin tentu dapat dimaklumi. Sebab, alih-alih ingin membela Jokowi, namun karena wacana yang dilemparkan salah kaprah, maka hanya akan menjadi “gol bunuh diri” bagi keuntungan politik pihak gerakan tagar itu sendiri, dan juga bagi oposisi pada umumnya.

Sebagai Sekertaris Tim Kemenangan Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Hasto Kristianto telah menanggapi masukan dari Ade untuk berhati-hati dan menegur Ngabalin. Namun pernyataan Ngabalin dan sikap represif Polisi serta BIN, bisa jadi telah terlanjur melekat di benak masyarakat. Mungkinkah Jokowi akan mampu meluruskan polemik ini, demi mempertahankan akuntabilitasnya? (R24)

“Diskursus publik online tak dapat diselesaikan melalui debat dengan bahasa yang santun.” ~ Hozier Click To Tweet
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...