HomeNalar PolitikMenyoal Gelar Kehormatan Nurdin Halid

Menyoal Gelar Kehormatan Nurdin Halid

Pemberian gelar doktor honoris causa (H.C) kepada politikus Partai Golkar Nurdin Halid ditentang oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Mereka berpendapat Nurdin tak pantas diberi gelar tersebut karena rekam jejaknya yang pernah bersinggungan dengan perkara rasuah. Mengapa pihak perguruan tinggi kerap ‘mengobral’ gelar kepada para politikus?


PinterPolitik.com

Normalnya, butuh waktu beberapa tahun bagi seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar akademik dari perguruan tinggi. Setelah menuntaskan semua kredit mata kuliah dan menyelesaikan sebuah penelitian, Ia baru layak diberi gelar sesuai disiplin ilmu yang dipelajari. 

Namun bagi beberapa orang yang dianggap berjasa di bidang tertentu, mereka memiliki privilese untuk mendapatkan gelar bahkan tanpa perlu menjadi bagian dari civitas akademika perguruan tinggi. Gelar ini umum dikenal sebagai gelar kehormatan atau honoris causa (H.C). 

Nurdin Halid adalah salah satu pihak yang baru-baru ini mendapatkan gelar kehormatan tersebut. Eks Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan politikus Partai Golkar ini akan dianugerahi Doktor honoris causa di bidang olahraga dari Universitas Negeri Semarang (Unnes). 

Pihak kampus mengklaim bahwa pemberian gelar ini diputuskan berdasarkan kajian Program Studi Doktor Pendidikan Olahraga di Pascasarjana Unnes terhadap kinerja persepakbolaan nasional pada masa kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Mereka menilai Ia berjasa dalam menginisiasi pendekatan industri dalam pengelolaan organisasi sepakbola di Indonesia. 

Kendati demikian, ternyata tak semua kalangan civitas akademika Unnes sepakat dengan penilaian tersebut. Keputusan pihak rektorat ini ditentang oleh mahasiswanya sendiri yang justru menganggap Nurdin tak layak diberi gelar kehormatan karena memiliki rekam jejak kelam. 

Jika kita flashback ke belakang, kiprah Nurdin di PSSI memang kerap menuai sentimen minor publik. Selama delapan tahun memimpin organisasi tersebut, Ia dianggap tak berhasil memajukan prestasi Tim Nasional Indonesia di kancah dunia. 

Selain itu, Nurdin sendiri juga tercatat kerap keluar-masuk bui karena tersangkut perkara korupsi. Misalnya saja pada tahun 2005, Ia pernah divonis dua tahun penjara atas perkara kepabeanan impor beras dari Vietnam dan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (Bulog) dua tahun kemudian. 

Melihat kiprahnya tersebut, menjadi wajar jika kemudian niat Unnes untuk memberikan gelar yang membawa embel-embel kata ‘kehormatan’ kepada sosok Nurdin ditentang sejumlah pihak. 

Menyikapi fenomena ini, mengapa kemudian penganugerahan gelar honoris causa kepada para politikus kerap jadi bahan cibiran sejumlah kalangan? Apa sesungguhnya motivasi perguruan-perguruan tinggi yang terkesan ‘mengobral’ gelar tersebut kepada para politisi?

Sejarah Honoris Causa

Zachary Crockett dalam tulisannya yang berjudul Why Do Colleges Give Out Honorary Degrees? menyebut pemberian gelar honoris causa pertama kali dilakukan oleh Universitas Oxford pada tahun 1478. Saat itu, perguruan tinggi bergengsi di Britania Raya itu dikabarkan memberikan gelar itu kepada Lionel Woodville, seorang uskup dari Gereja Katedral Saint Peter. 

Tak hanya memiliki kedudukan penting di Gereja Katolik, Woodville juga disebut-sebut merupakan saudara ipar dari Raja Edward IV. Dengan keputusan yang ditulis di selembar kertas, Ia dengan cepat dan otomatis dinyatakan setara dengan orang bergelar Ph.D.

Tak hanya bagi Woodville, Crockett mengatakan saat itu Oxford bahkan membebaskan segala persyaratan akademis bagi para bangsawan untuk mendapatkan gelar serupa. Ia menyebut hal ini dilakukan agar Oxford mendapatkan dukungan dari orang-orang berpengaruh pada saat itu. 

Baca juga :  Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Sepanjang abad ke-16 dan 17, langkah Oxford tersebut kemudian diikuti institusi serupa lainnya. Lalu pada tahun 1642 sendiri, sebanyak 350 orang dianugerahi gelar doktor atas diskresi dari Raja Charles I. Ke-350 orang ini merupakan anggota mahkamah dalam pemerintahannya.

Dalam perkembangannya, pemberian gelar kehormatan semacam itu kemudian bukan hanya dipraktikkan oleh institusi pendidikan. Sejumlah pemimpin pemerintahan juga diduga kerap memanfaatkan gelar kehormatan negara untuk tujuan politis. 

E. Fletcher McClellan, Christopher Devine, dan Kyle C. Kopko dalam tulisan mereka di The Conversation, memaparkan kebiasaan sejumlah Presiden Amerika Serikat (AS) yang rajin memberikan penghargaan Presidential Medal of Freedom (PMOF) kepada sekutu-sekutu politik dan orang-orang terkenal lainnya. 

Presiden Barack Obama misalnya disebut-sebut menjadi pemimpin negara yang paling banyak menganugerahi PMOF kepada para pendukungnya. Selama menjabat, Ia disebut-sebut memberikan gelar kepada 105 orang, atau setara 14 penghargaan per tahunnya. Sejumlah figur publik yang disasar Obama di antaranya adalah presenter kenamaan Oprah Winfrey, atlet Michael B. Jordan, hingga Wakil Presiden-nya sendiri Joe Biden, yang kini menjabat sebagai Presiden AS. 

Bagi seorang presiden, McClellan dan kawan-kawan menyebut pemberian gelar kehormatan semacam ini dilakukan untuk mendapatkan perhatian media yang positif, membentuk warisan mereka atau memberi penghargaan kepada para pendukung mereka. Namun selain alasan-alasan tersebut, mereka juga curiga hal itu dilakukan untuk mendemonstrasikan kekuatan simbolis dari seorang presiden yang bersifat unilateral. 

Demi Kepentingan Politik?

Secara legalitas hukum, pemberian gelar penghargaan oleh perguruan tinggi sebenarnya tak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada sejumlah persyaratan hukum yang harus dipenuhi oleh institusi pemberi penghargaan. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Nomor 65 Tahun 2016, gelar Doktor HC tak bisa diberikan sembarang perguruan tinggi. Pemberi gelar doktor kehormatan harus memiliki Program Doktor terakreditasi A. Tapi pada praktiknya, mekanisme tersebut nyata sering dilanggar.

Hal ini misalnya terjadi ketika Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) memberikan gelar serupa kepada Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri yang dianggap berjasa membangun kebijakan strategis politik pemerintahan. Padahal, Program S3 Ilmu Pemerintahan IPDN baru terakreditasi B pada saat itu. 

Selain itu, pemberian gelar honoris causa kepada Megawati juga diributkan lantaran, Komisi Komponen Ahli yang berperan sebagai dewan pertimbangan pemberian gelar dari IPDN ini juga terdiri dari figur seperti A.M. Hendropriyono dan Da’i Bachtiar. Keduanya merupakan pejabat-pejabat yang diangkat Megawati ketika masih menjadi presiden. 

Tak hanya terkait aspek legalitas, pemberian gelar honoris causa oleh perguruan tinggi juga kerap dikritik karena ketidakjelasan tolok ukur yang digunakan. Padahal berdasarkan Permenristekdikti tadi, Gelar doktor kehormatan hanya diberikan kepada mereka yang dianggap berjasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi hingga kemanusiaan. 

Ketidakjelasan tolok ukur ini sempat dipersoalkan oleh Forum Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) ketika perguruan tinggi tersebut memberikan gelar honoris causa di bidang multikulturalisme politik dan sosiologi politik kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada 2017 silam. Mereka berpendapat Cak Imin saat itu belum pantas mendapatkan gelar tersebut. 

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Forum dosen itu pun membandingan penghargaan serupa yang diberikan Columbia University kepada Presiden Soekarno. Menurutnya, gelar itu diberikan karena Soekarno dianggap berjasa dalam penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Kiprah Cak Imin dianggap belum sebanding dengan jasa Bung Karno tersebut. 

Dengan adanya sejumlah aturan yang dilangkahi, ditambah dengan ketidakjelasan tolok ukur yang digunakan, lantas apa kemudian yang membuat perguruan tinggi rajin memberikan gelar honoris causa kepada tokoh-tokoh politik?

Saling Menguntungkan?

Karen W. Arenson dalam tulisannya yang berjudul Recognizing Achievement, Adding Glitz mengatakan bahwa pemberian gelar honoris causa oleh perguruan tinggi sering dijadikan ajang pemburuan kapital dan publisitas. Seringkali pemberi dan penerima gelar saling memberikan bantuan berupa pendanaan dan dukungan politik.

Mengutip pernyataan Profesor di Teachers College di Universitas Columbia Arthur E. Levine,  Karen menyebut gelar honoris causa ini juga kerap digunakan untuk memberi penghargaan kepada donor yang telah memberikan uang. Terkadang juga gelar tersebut digunakan untuk menarik simpati para selebriti untuk membuat acara wisuda menjadi spesial. 

Sementara bagi para politikus, menerima gelar kehormatan tentu berkaitan erat dengan reputasi politiknya. Armen Aghabekov dalam tulisannya yang berjudul The Importance of Reputation in Politics mengatakan bahwa reputasi dalam politik adalah segalanya, dan untuk mendapatkan perhatian serta simpati publik, segala cara akan dilakukan untuk meningkatkan kredibilitasnya.

Berkaca dari sini, maka tak salah jika kemudian kita mencurigai bahwa pemberian gelar honoris causa oleh Unnes kepada Nurdin Halid punya tujuan serupa. Pemberian penghargaan bagi Unnes dapat memberikan keuntungan berupa dukungan politik, atau bahkan pendanaan. Sementara bagi Nurdin, pemberian gelar tersebut sedikit banyak akan menaikkan kredibilitas politiknya. 

Di luar persoalan tersebut, jika pemberian penghargaan terus dilakukan tanpa tolok ukur jelas, hal ini bisa saja menjadi backlash bagi institusi pemberi penghargaan. Dalam konteks Nurdin Halid misalnya, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto khawatir bahwa pemberian gelar kehormatan ini berpotensi merusak citra universitas itu sendiri, apalagi Ia punya rekam jejak pernah tersangkut perkara rasuah.

Selain itu, Nizamuddin Sadiq dalam tulisannya di The Conversation juga menilai pemberian gelar Dr. HC atas dasar kesepakatan politik semata juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap proses akademik yang harus ditempuh seseorang untuk mendapatkan gelar doktor.

Pada akhirnya, meski pemberian gelar honoris causa merupakan bentuk penghormatan kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa, namun hal tersebut tetap perlu dilakukan sesuai mekanisme dan tolok ukur yang jelas. Jangan sampai niat baik tersebut justru mendegradasi kepercayaan publik terhadap institusi perguruan tinggi. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...