HomeNalar PolitikMa’ruf Amin di Pusaran Kadrun-Togog

Ma’ruf Amin di Pusaran Kadrun-Togog

Masuknya Prabowo Subianto ke dalam kabinet Jokowi banyak dimaknai sebagai harapan akan berakhirnya polarisasi di tengah masyarakat karena sebutan cebong dan kampret. Akan tetapi, kendati cebong dan kampret sudah tidak berdengung, polarisasi justru menemukan bentuk barunya melalui sebutan kadrun dan togog. Konteksnya makin menarik karena polarisasi ini seharusnya tidak terjadi lagi setelah Ma’ruf Amin resmi menjadi Wakil Presiden.


PinterPolitik.com

Pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu, psikologi publik begitu dilelahkan atas sebutan “cebong” dan “kampret” yang menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.

Cebong atau anak katak sendiri adalah sebutan peyoratif yang disematkan untuk pendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin karena kegemaran sang presiden memelihara katak dan kodok.

Sedangkan, kampret atau kelelawar kecil diperuntukkan untuk pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang merupakan plesetan dari singkatan Koalisi Merah Putih (KMPret) milik Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.

Kedua sebutan ini tidak hanya berperan menjadi semacam ledekan, tapi juga telah bertransformasi untuk menjadi dua identitas yang seolah membelah masyarakat.

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT Jakarta dan dirangkulnya sang Ketua Umum Gerindra tersebut ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan, ditanggapi oleh banyak pihak sebagai angin segar bahwa polarisasi karena sebutan cebong dan kampret sepertinya akan berakhir.

Namun, di tengah harapan tersebut, nyatanya polarisasi di tengah masyarakat masih terus berlanjut dalam sebutan “kadrun” dan “togog”, setidaknya demikianlah yang dituliskan oleh The Jakarta Post.

Kadrun atau kadal gurun diperuntukkan untuk para pengkritik Presiden Jokowi, pendukung Gubernur Jakarta Anies Baswedan, para keturunan Arab ataupun mereka yang berpakaian kearab-araban, serta kelompok pro-khilafah yang umumnya juga identik disebut dengan Islam konservatif. Sobat gurun, bani onta, dan wan abud adalah beberapa sebutan lain yang dapat dipertukarkan dengan kadrun.

Sedangkan Togog atau Tejo Mantri adalah nama salah satu tokoh dalam pewayangan Jawa yang merupakan kakak dari Semar. Togog sendiri digambarkan sebagai karakter yang distigmakan tidak baik karena dikelilingi oleh orang-orang jahat. Atas kondisi tersebut, para pendukung Presiden Jokowi kemudian diidentikkan dengan sebutan ini.

Terkait hal ini, besar kemungkinan dimaknai bahwa Presiden Jokowi telah berlaku “tidak baik” karena dinilai dikelilingi oleh oligarki ataupun kepentingan berbagai partai politik yang dikonotasikan “jahat”.

Sebutan Togog sendiri mulai banyak dikenal publik setelah Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo membuat cuitan di Twitter untuk menanggapi posisi Presiden Jokowi yang berada di depan gambar Togog dalam acara makan bersama dengan Prabowo pada 13 Juli 2019 lalu.

Namun, kendati tetap terjadi polarisasi di tengah masyarakat, polarisasi kali ini agaknya cukup berbeda.

Jika sebelumnya, sebutan cebong dan kampret diperuntukkan bagi kubu capres-cawapres masing-masing, dalam polarisasi kali ini terjadi benturan sebutan yang “tidak simetris” karena sebutan kadrun memiliki spektrum yang tidak hanya berkaitan dengan tokoh politik, melainkan juga kepercayaan agama.

Kemudian menjadi pertanyaan, mengapa sebutan kadrun yang merujuk pada Islam konservatif masif dikemukakan selepas Pilpres 2019? Padahal, kalangan Islam konservatif yang kerap disebut puritan ini, toh sudah ada sedari dulu.

Selain itu, seharusnya hal ini juga tak terjadi mengingat Ma’ruf Amin yang jadi wakil presiden – sekalipun berasal dari kelompok Islam tradisionalis – nyatanya juga punya hubungan yang baik dengan kelompok Islam konservatif.

Posisi Ma’ruf sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkannya menjadi gambarannya. Jika demikian, apa yang bisa dimaknai di balik fenomena ini?

Pengkristalan Kasus Ahok

Untuk menjawab perihal masifnya penggunaan istilah kadrun di tengah masyarakat, maka harus dijawab terlebih dahulu terkait pertautan apa yang terjadi di balik fenomena ini.

Melihat pada runtutan historisnya, benturan ini memang sudah terjadi sejak dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Namun, momentum yang menjadi salah satu pemicu besar fenomena ini, bermula dari serangkaian demonstrasi Aksi 212 yang menyelimuti Pilgub DKI Jakarta 2017 karena kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Atas serangkaian demonstrasi tersebut, efeknya tidak hanya membuat Ahok gagal terpilih kembali sebagai gubernur dan mendekam di penjara, melainkan juga kembali mengangkat narasi pentingnya peran ulama di simpul-simpul kekuatan politik. Hal ini besar kemungkinan dimaksudkan agar peristiwa penistaan agama serupa tidak terjadi lagi.

Berbagai tuduhan anti-Islam kemudian terus berdatangan terhadap Presiden Jokowi menimbang pada kedekatan ataupun gelagat keberpihakannya kepada Ahok, mantan pendampingnya kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Dalam tulisan yang dipublikasikan oleh The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), disebutkan bahwa dalam fenomena tersebut melahirkan fenomena perpindahan sikap dari anti-Ahok menuju anti-Jokowi.

Peka terhadap berbagai kritik tersebut, Presiden Jokowi lantas melakukan berbagai manuver politik dengan memasukkan tokoh Islam seperti Ali Mochtar Ngabalin sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden ataupun Kapitra Ampera yang merupakan Pengacara Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shibab yang oleh PDIP ditarik menjadi kader. Tidak lupa pula ada sosok Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukumnya.

Akan tetapi, sebagaimana diketahui, manuver ini toh tidak mampu untuk meredam berbagai gejolak politik pada saat itu yang bermuara pada tuduhan anti-Islam terhadap Presiden Jokowi.

Apalagi, sentimen ini juga turut dimanfaatkan oleh kubu Prabowo, sehingga terjadilah polarisasi ekstrem yang terwakilkan dengan sebutan cebong dan kampret.

Pada titik ini, Prabowo sepertinya telah menjadi representasi dari suara ketidakpuasan berbagai umat Islam atas pemerintahan yang sedang berjalan.

Menariknya, di tengah terpaan sentimen anti-Islam, Jokowi menunjuk Ma’ruf Amin yang merupakan sosok yang turut memfatwa ujaran Ahok sebagai penistaan agama sehingga berbagai demonstrasi turut bergulir, sebagai cawapres.

Hal ini juga disebutkan oleh Ben Otto dalam With Fatwas and Blasphemy Claims, Cleric Emerges as a Force in Indonesia bahwa Ma’ruf Amin menjadi sorotan utama karena fatwanya turut menjadi legitimasi dalam bergulirnya berbagai demonstrasi yang terjadi.

Tidak hanya itu, belakangan, Ma’ruf Amin mengakui perihal kedekatannya dengan Habib Rizieq. Bahkan tuturnya, ia adalah sosok yang menengahi perdebatan antara pentolan FPI tersebut dengan Kapolri Tito Karnavian pada 2017 lalu.

Kapitra Ampera juga turut memberi testimoni serupa, bahwa sebelum ditetapkan sebagai cawapres, Ma’ruf Amin memang kerap bertanya kapan sahabatnya Habib Rizieq pulang ke Indonesia ketika bertemu Presiden Jokowi.

Sian Troath dalam Indonesia: An Election of Identity Politics and Peace Offerings menjelaskan bahwa pemilihan Ma’ruf Amin yang merupakan salah satu tokoh muslim paling berpengaruh di Indonesia sebagai cawapres adalah strategi Jokowi untuk terhindar dari politik identitas, khususnya terkait sentimen anti-islam.

Moderasi Ma’ruf Amin?

Menilik pada strategi menunjuk Ma’ruf sebagai cawapres, itu adalah tesis yang disebut dengan inklusi-moderasi atau inclusion-moderation thesis.

Dalam tesis ini disebutkan bahwa pengakomodasian aktor-aktor politik yang berpotensi menggoyang sistem (potentially disruptive actors) ke dalam proses dan lembaga-lembaga politik yang ada, akan mengubah tujuan/perilaku dari yang semula radikal ke arah posisi yang lebih moderat.

Dalam track record-nya Ma’ruf Amin memang tergolong Islam konservatif yang cenderung tidak berpihak pada kelompok minoritas. Misalnya saja terkait fatwa tentang LGBT ataupun fatwa provokatif yang disebut turut mendorong meningkatnya kekerasan kepada jamaah Ahmadiyah selama 15 tahun terakhir.

Akan tetapi, setelah ditunjuk sebagai cawapres, Ma’ruf Amin terlihat jelas menunjukkan pelunakan sikap seperti dukungan atas Pancasila, penolakan khilafah, dan pada ucapan selamat natal pada Desember 2018 lalu.

Setelah Jokowi-Ma’ruf menang di Pilpres 2019, berbagai pihak turut menyebut fenomena ini sebagai kemenangan Islam moderat atas Islam konservatif.

Atas kemenangan ini, penasihat kampanye Jokowi, Yenny Wahid menuturkan bahwa Jokowi akan lebih berani untuk menyegel ruang yang telah coba digunakan oleh kelompok Islam konservatif – disebut Islamis – dalam kehidupan politik dan sosial.

Tidak hanya itu, kejenuhan berbagai kelompok masyarakat atas berbagai demonstrasi yang kerap berisi kelompok Islam konservatif sepertinya telah menumbuhkan sentimen negatif terhadap kelompok yang beberapa di antaranya juga kerap menyuarakan khilafah ini.

Atas dasar ini, sebenarnya cukup dipahami mengapa kemudian sebutan kadrun begitu masif digunakan oleh berbagai pihak.

Ma’ruf Amin yang merupakan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2020 besar kemungkinan juga akan semakin memberi legitimasi atas sikap NU yang telah lama diketahui menolak kelompok Islam konservatif yang saat ini masif disebut dengan kadrun tersebut.

Hal ini misalnya terlihat dari aksi damai yang dilakukan oleh keluarga besar NU pada Oktober 2019 lalu, di mana pada aksi itu disebutkan akan membasmi para kadrun yang kerap menimbulkan kerusuhan, akan mengganggu pelantikan Jokowi-Ma’ruf, dan meraka yang ingin mendirikan khilafah.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa dalam masifnya penggunaan istilah kadrun belakangan ini besar kemungkinan terdapat peran moderasi atau perubahan sikap Ma’ruf Amin yang menjadi lebih moderat.

Sosoknya yang merupakan ulama yang sangat berpengaruh, tentu saja akan memberi legitimasi sosial kepada pemerintah untuk menolak kelompok-kelompok puritan yang disebut dengan kadrun. Hal inilah yang besar kemungkinan membuat polarisasi politik ini tak akan selesai. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  PKB, Cak Imin Sukses “Bersihkan” Trah Gus Dur?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...