HomeNalar PolitikMampukah Pandora Papers Guncang Negara?

Mampukah Pandora Papers Guncang Negara?

Indonesia dihebohkan oleh Pandora Papers, lantaran penguakan dokumen penggelapan uang tersebut menyebut beberapa pejabat penting di Nusantara. Belajar dari Panama Papers, apakah investigasi kali ini dapat mempengaruhi kebijakan negara, khususnya Indonesia?


PinterPolitik.com

Pada tahun 2016, dunia digemparkan dengan pemberitaan Panama Papers. Ini adalah bocoran 11,5 juta dokumen rahasia yang diambil dari firma hukum asal Panama bernama Mossack Fonseca. Dokumen-dokumen ini berisi informasi mengenai penggelapan uang yang dilakukan oleh tokoh politik dan figur publik dunia, dengan membuat perusahaan cangkang di negara suaka pajak atau tax haven. Kompilasi informasi tersebut dipublikasikan oleh asosiasi jurnalis investigator internasional, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) pada tanggal 3 April 2016.

Pembocoran dokumen semacam ini ternyata berlanjut. Pada Oktober 2021, tepatnya mulai tanggal 3 Oktober, ICIJ kembali merilis kompilasi dokumen penggelapan uang yang disebut Pandora Papers. Karena memuat lebih banyak data, sekitar 12 juta dokumen, pembocoran kali ini menuai respons yang lebih eksplosif daripada Panama Papers.

Lebih khususnya Indonesia, karena menyinggung nama pejabat besar seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto.

Luhut tercatat pernah menjabat di perusahaan yang bernama Petrocapital SA asal Panama. Dugaan ini dibenarkan oleh Juru Bicara (Jubir) Menko Marves, Jodi Mahardi yang menyebutkan Luhut pernah menjadi Direktur Utama (Dirut) pada tahun 2007 sampai 2010.

Baca Juga: SIN Pajak, Oasis di Tengah Pandemi

Sementara itu, Airlangga tercatat memiliki dua perusahaan cangkang di British Virgin Islands, yurisdiksi bebas pajak di kawasan Karibia. Dua perusahaan itu antara lain Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited. Airlangga mengklaim tidak mengetahui pendirian Buckley Development dan Smart Property. Ia pun membantah jika dikatakan berniat mencairkan polis asuransi melalui dua korporasi tersebut.

Menanggapi hal ini, Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyebut pemerintah harus segera membentuk satuan tugas (satgas) khusus lintas kementerian dan lembaga (K/L) guna menyelidiki dugaan penggelapan pajak tersebut. Satgas ini perlu segera memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), dan laporan keuangan lainnya milik pejabat-pejabat yang namanya disebut di dalam Pandora Papers.

Kemudian, di luar negeri sendiri banyak negara yang mulai menginvestigasi tuduhan Pandora Papers. Amerika Serikat (AS), Pakistan, dan India contohnya, menyebutkan akan segera melakukan investigasi mendalam terkait hal ini.

Fenomena ini menyulut pertanyaan besar. Apakah aktivisme internasional seperti yang dilakukan ICIJ ini benar-benar bisa mempengaruhi negara? Jika iya, bagaimana perspektif politiknya?

Kemampuan Politik Aktivisme Global

Di abad ke-21 ini pengaruh aktor non-negara semakin kuat. Kita bisa melihat gerakan aktivisme internasional seperti Greenpeace dan Amnesty International mulai mendapat sorotan dari masyarakat dan juga pemerintah. Untuk memahami ini, penulis meminjam istilah transnational advocacy network (TAN), yang digunakan oleh Margaret Keck dan Sinkkink dalam buku Activists beyond Borders.

Singkatnya, TAN adalah jaringan interaksi internasional antara aktor negara dan/atau aktor non-negara (LSM, media, lembaga penelitian) yang memiliki ide bersama, yaitu mempengaruhi kebijakan negara. Kata “advokasi” di sini digunakan karena kelompok aktivis ini bergerak dengan membawa kesadaran akan suatu isu. Mereka terorganisir untuk mempromosikan suatu tujuan, pemahaman, dan norma.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Keck dan Sikkink menyadari bahwa secara tradisional, TAN tidak memiliki kekuatan struktural. Oleh karena itu, TAN umumnya menggunakan keunggulan informasi, ide, dan strategi untuk mengubah informasi dan konteks nilai yang dianut suatu pemerintahan negara.

Aksi yang dilakukan ICIJ dalam merilis Panama Papers dan Pandora Papers bisa kita kategorikan sebagai gerakan TAN, karena disebutkan salah satu tujuan mereka merilis dokumen penggelapan uang adalah karena ingin menyadarkan dunia bahwa praktik seperti ini nyata dan sudah banyak elite yang berusaha menghindari pajak dengan menyimpan uangnya di suatu perusahaan cangkang di luar negeri.

Sebagai salah satu dampak riil dari tindakan ICIJ terhadap kebijakan negara, bisa kita ambil contoh pada pada tahun 2016, di mana Panama Papers waktu itu telah mendorong Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengimplementasi kebijakan Tax Amnesty.

Ini didukung oleh pernyataan yang sempat dilempar Direktur Hubungan Masyarakat (Humas) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Yoga Saksama pada tahun 2017. Ia mengultimatum para pengusaha Indonesia yang masuk daftar Panama Papers untuk segera memohon ampun kepada negara melalui program Tax Amnesty. Jika satu menit saja lewat, sebutnya, DJP memastikan, akan segera memburu nama-nama pengusaha kelas kakap yang ada dalam daftar tersebut.

Baca Juga: SIN, Solusi Pencegahan Korupsi?

Lalu, di luar negeri, contohnya di AS, Panama Papers disebut telah mendorong DPR AS untuk membuat dan mengesahkan Undang-undang (UU) Corporate Transparency Act (CTA),pada awal tahun 2021 kemarin. CTA diberlakukan untuk memerangi penggunaan perusahaan cangkang dalam pencucian uang, penipuan keuangan, dan kegiatan terlarang atau tindak korupsi lainnya. Gary Kalman, kepala Transparency International di AS yang terlibat dalam upaya lobi UU tersebut, mengatakan bahwa Panama Papers berperan sangat besar dalam seluruh prosesnya.

Dari sini kita bisa memahami bahwa di dunia yang semakin terbuka ini, peran aktivisme global memegang peranan penting dalam mempengaruhi kebijakan, bukan hanya satu negara, tetapi multinasional, banyak negara.

Satu hal lain yang juga tidak boleh luput kita perhatikan adalah strategi yang digunakan oleh ICIJ dalam aksinya. ICIJ mengekspos tokoh-tokoh besar dunia terlebih dahulu dengan bantuan dari media. Ini adalah strategi yang sangat efektif dalam mendapatkan respons yang cepat. Dukungan publik pun mudah didapatkan jika salah satu pejabat penting negara mereka disinggung. Alhasil, negara akan semakin terdorong untuk memberikan kebijakan tanggapan.

Dengan demikian, kita bisa yakin bahwa aksi seperti Pandora dan Panama Papers memiliki kekuatan politik yang tidak boleh diremehkan oleh siapapun. Akan tetapi, mungkin masih ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Mengapa orang-orang masih saja membuat perusahaan cangkang?

Baca juga :  Golkar Berhasil Dilobi Puan?

Kenapa Tax Haven Ada?

Suaka pajak atau tax haven adalah sebuah negara yang menawarkan pajak rendah bahkan tanpa pemungutan pajak kepada perusahaan atau individu asing. Sama dengan kata “suaka” itu sendiri, suaka pajak menjadi tempat “berlindung” para wajib pajak untuk menghindari pemungutan pajak di negara asalnya. Contoh dari negara yang umumnya dicap sebagai tax haven adalah Panama, Kepulauan Cayman, dan Swiss.

Secara garis besar, negara tax haven menawarkan penghindaran restriksi mata uang, dapat menghindari pengaturan pajak seperti pengurangan dan penangguhan beban pajak, dan perlindungan aset yang tinggi.
Menurut Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, setidaknya ada tiga alasan mengapa pengusaha mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri. Pertama, sejak krisis tahun 1997 hingga periode 2000-an, banyak perusahaan Indonesia di-blacklist dunia internasional. Sehingga banyak pengusaha, yang demi kelangsungan usaha mereka, mendirikan perusahaan di luar negeri untuk tetapeksis dalam perdagangan.

Kedua, mendirikan perusahaan di dalam negeri dinilai sulit dan berbelit. Sehingga banyak pengusaha mendirikan korporasi di luar negeri untuk mengakuisisi perusahaan lokal. Sebab, otoritas di beberapa negara, seperti Panama dan British Virgin Island, menawarkan tarif yang murah, dan cepat mendapat izin dan pajak yang rendah.

Motif ketiga adalah hal yang menjadi keprihatinan seluruh orang. Ini berkaitan dengan penghindaran pajak maupun praktik mengamankan harta hasil korupsi atau jual beli narkoba. Sebagai tambahan, bahkan ada yang menyebut untuk mendanai terorisme.

Baca Juga: SIN Pajak, ‘Obat’ Sri Mulyani?

Terlepas dari adanya motivasi simpanan hasil korupsi, jual beli narkoba, dan dana terorisme, yang memang sudah jelas salah, tampaknya kita juga perlu mengkritisi keadaan yang mendorong seseorang untuk menciptakan perusahaan cangkang di suaka pajak. Mungkinkah justru keadaan perpajakan di suatu negara mendorong pengusaha-pengusaha untuk membuat perusahaan cangkang?

Mantan Direktur Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Ken Dwijugiasteadi pernah menyebutkan bahwa salah dua alasan warga Indonesia masih banyak yang enggan bayar pajak adalah karena pertama, masih ada rakyat yang tidak percaya dengan undang-undang di bidang perpajakan. Kemudian faktor kedua, masih banyak orang yang tidak percaya dengan petugas pajak.

Ini yang dirasa perlu kita renungi lebih lanjut, karena bagaimanapun jika memang suatu sistem dianggap tidak begitu menguntungkan, maka orang akan mencari cara agar  bisa mendapatkan manfaat yang lebih. Mungkin salah satu contohnya adalah dengan membuat perusahaan cangkang ini, yaitu agar menghindari sistem pajak yang ada di negaranya.

Untuk saat ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tampaknya berusaha mengatasi hal tersebut dengan menyatukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kita harap saja upaya ini dapat membuat sistem pajak di Indonesia lebih sistemik, dan dapat mengurangi ketergantungan pengusaha untuk membuat perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak, sehingga pendapatan negara bisa lebih baik. (D74)


spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Ketakutan akan Perang Dunia III mencuat bersamaan dengan serangan yang dilakukan Iran ke Israel. Mungkinkah kita sudah berada di awal Perang Dunia III?