HomeNalar PolitikMampukah Indonesia Lenyapkan Hantu Oligarki?

Mampukah Indonesia Lenyapkan Hantu Oligarki?

Dalam alam demokrasi yang mengandaikan supremasi politik harus dimiliki oleh orang banyak, justru digerogoti oleh sekelompok elite. Oligarki yang dimainkan oleh elite ini sangat berkuasa dan bahkan memaksakan aturannya dalam sistem demokratis. Dalam kasus Indonesia, mungkinkah oligarki yang menghantui itu dapat dilenyapkan?


PinterPolitik.com

Narasi melawan oligarki, bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks politik di Indonesia. Tidak hanya sebagai ancaman demokrasi, oligarki juga dianggap penyebab kerusakan yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap aset-aset negara, sebut saja korupsi dan penyalahgunaan dalam pengambilan keputusan sebagai contohnya.

Senada dengan hal itu, di akhir tahun 2021, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengadakan acara kaleidoskop dan evaluasi akhir tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Dalam pidato akhir tahunnya, Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengingatkan agar pemerintah tak bermain api saat status masih dinyatakan sebagai pandemi.

Menurut Syaikhu, perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 2021 dihiasi oleh berbagai isu dan keputusan politik yang penting dan krusial bagi hajat hidup masyarakat banyak. Harapan di masa mendatang, dalam setiap penyusunan Rancangan UU sudah seharusnya pemerintah mendengarkan tuntutan dan harapan masyarakat. Pemerintah dan DPR seharusnya merangkul harapan rakyat bukan para oligarki.

Meningkatnya oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia.

Faisal Basri, ekonom senior juga menyampaikan evaluasi akhir tahun, mengatakan bahwa oligarki kian mencengkram dan ini adalah ancaman untuk Indonesia, yaitu melalui pelemahan institusi politik seperti penurunan indeks demokrasi dan pelemahan KPK. Pelemahan pada institusi ekonomi dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Begitu berbahayakah hantu oligarki ini, sehingga setiap sendi kehidupan berbangsa, seolah telah digerogoti oleh mereka. Lantas, muncul pertanyaan, seperti apa sebenarnya oligarki itu sendiri?

Baca juga: 2024, Jokowi Persiapkan Oligarki Baru?

Meraba Lahirnya Oligarki

Untuk memahami oligarki, kita harus lebih dulu mencari  pengertian yang paling sederhana tentang istilah politik satu ini. Dan secara sederhana, oligarki dapat digambarkan sebagai struktur kekuasaan atau pemerintahan yang bertumpu pada sekelompok orang, di mana kelompok ini selalu mengendalikan kekuasaan sesuai dengan keinginan mereka.

Bertrand Russell dalam bukunya Sejarah Filsafat Barat, memberikan petunjuk bahwa istilah oligarki sudah ada sejak zaman Yunani kuno, pemerintahan negara kota periode 600 SM. Saat itu, oligarki berkembang dan diterima sebagai norma yang lumrah. Bisa ambil contoh, polis (negara kota) Athena dan Sparta. Sistem pemerintahan Athena adalah oligarki demokratis sementara sistem pemerintahan Sparta adalah oligarki militerisme.

Oligarki yang dimaksud di sini berbeda dengan aristokrasi yang dapat dianggap sebagai pemerintahan oleh golongan kecil yang benar. Yang berkuasa dalam pemerintahan aristokrasi adalah kaum bangsawan yang berpartisipasi di parlemen beserta dengan raja dan ratu yang dipercayai sebagai pemimpin karena garis keturunannya. Kelas bangsawan ini biasa disebut dengan patricians, para bangsawan yang menguasai ekonomi dan politik negaranya.

Baca juga :  Jokowi Makin Tak Terbendung?

Walau memang aristokrasi juga dikendalikan oleh kelompok kecil orang, perbedaannya dengan oligarki dapat dilihat dari komitmen aristokrat untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya dan memastikan bahwa rakyatnya hidup sejahtera. Namun, aristokrasi juga dapat berubah menjadi oligarki apabila dipengaruhi oleh kelompok elite bangsawan seperti penasehat-penasehat tinggi suatu kerajaan.

Henry J. Schmandt dalam bukunya Filsafat Politik, menjelaskan pengertian oligarki menurut Aristoteles, yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi kekuasaan oleh segelintir orang, ditafsirkan sebagai manifestasi pemerintahan yang buruk. Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkan.

Sekiranya, definisi tentang oligarki yang diberikan oleh Aristoteles sangat sederhana dan samar, muncul banyak argumen yang dibuat untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang sebagai oligarki. Dan secara bersamaan, mudah juga bagi yang tertuduh untuk menghindari tuduhan tersebut. Maka dari itu, definisi oligarki sekarang harus dimodifikasi sedemikian rupa agar dapat mencangkup isu-isu kontemporer.

Di era kontemporer, kita akan melihat oligarki tertanam dalam sistem pemerintahan di era Uni Soviet, sebelum pecah menjadi Rusia dan beberapa negara lainnya. Rezim partai komunis memang seringkali bersifat oligarki karena kelompok kecil elite biasanya memiliki agenda tersendiri.

Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy, mencoba menciptakan definisi baru tentang  oligarki, yaitu seseorang dengan dana yang cukup untuk melindungi kekayaan yang dimilikinya (wealth defense industry). Sebuah industri yang melibatkan pemodal, mafia, dan pengambil kebijakan.

Contoh dari industri ini dalam konteks kontemporer adalah pengacara, akuntan, lobbyists, konsultan, dan agen-agen lain yang dapat disewa untuk membantu seseorang yang kaya menghindari kewajiban pajaknya. Di sini oligarki dapat dipahami sebagai upaya seseorang untuk membuat persekongkolan yang punya dampak pragmatis bagi suatu kelompok.

Meningkatnya oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik dan elite politik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Mereka yang bisa disebut oligark (oligarch) politik sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Oligarki politik tidak melibatkan warga yang diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, dan kelompok masyarakat lainnya.

Robert Michels dalam bukunya Political Parties, menjelaskan kekuasaan oligarki adalah hukum besi yang tidak terelakkan dalam negara atau organisasi demokrasi sebagai bagian keharusan taktis dan teknis. Peristiwa ini mengambil kasus Partai Demokratik Sosial di Jerman.

Michels berargumen bahwa partai politik atau serikat buruh yang dibangun dengan cara demokrasi akhirnya dikuasai oleh elite yang berkuasa, oligarki yang menguasai massa. Hal ini yang menegaskan adanya skeptisisme di kalangan ahli ilmu politik dan publik berdasarkan teori hukum besi oligarki (iron law of oligarchy).

Baca juga :  PKB, Cak Imin Sukses “Bersihkan” Trah Gus Dur?

Tetapi, teori hukum besi oligarki telah dibantah banyak ahli ilmu politik lain. Salah satunya, Seymour Martin Lipset yang mengatakan, bahwa pengecualian hukum besi oligarki dapat dikembangkan sejak dari raison d’etre pendirian organisasi atau institusi seperti negara sesuai dengan cita dan prinsip demokrasi.

Konsep Lipset ini, sebenarnya berangkat dari nalar etika deontologis, yang melihat niat atau komitmen awal menjadi poin penting, berbeda dengan konsep Michels yang berangkat dari konsep teleologis yang bertitik tumpu pada tujuan sebuah peristiwa. Jika demikian, masihkah ada harapan untuk menghilangkan oligarki, lebih khusus di Indonesia?

Baca juga: Oligarki Mengintip Jokowi di Covid-19

Melepaskan Diri Dari Oligarki

Saran Lipset akan relevan dengan upaya membendung oligarki di Indonesia. Saran itu, kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memodifikasi kerangka yang diajukan pemikir asal Amerika Serikat yang mencoba memberikan solusi untuk meminimalisir oligarki bekerja dalam sistem politik.

Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam tulisannya Three Solutions to the Oligarchy Problem, mengatakan, bahwa untuk mewujudkan keinginan masyarakat yang ingin menghilangkan pengaruh oligarki, setidaknya terdapat beberapa pilihan sebagai berikut. 

Pertama, perlu perubahan UU Pemilu, khususnya menyangkut ambang batas parlemen. Hal ini sangat beralasan dikarenakan dengan adanya ambang batas, maka akan memudahkan oligarki untuk bermain. Para oligark tidak terlalu gambling jika para petarung yang muncul akan lebih ramping, karena ada saringan ambang batas tersebut. Di lain sisi, partai-partai politik besar akan tetap menjaga posisinya karena diuntungkan oleh ambang batas ini.

Kedua, perlu peninjauan ulang mengenai aturan main pilkada, karena selama  ini menjadi basis munculnya oligarki yang bernafaskan dinasti politik. Pilkada seperti yang kita tahu, sering kali hanya melanggengkan kepemimpinan berdasarkan ikatan kekerabatan, tentunya hal seperti ini tidak etis dalam masyarakat majemuk yang menganut sistem demokrasi.

Ketiga, perlu pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai, calon pejabat yang sejak awal masa pencalonan, dan dana kampanye pemilu partai. Hal ini diperlukan karena oligarki yang basisnya berasal dari para pebisnis, akan berselingkuh dengan calon pejabat publik, mereka menjadikan persoalan pendanaan jadi pintu mereka bertemu dengan calon pejabat yang membutuhkan modal.

Baca juga: Veronica Koman dan Cuitan Oligarki

Selain itu, berbagai pemangku kepentingan non-negara, seperti masyarakat sipil, perlu memobilisasi kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap bahaya oligarki. Juga perlu membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial yang sangat merugikan negara dan bangsa.

Sekiranya, solusi ini hanya menjadi satu bagian dari banyak ragam solusi yang dapat membuat kita terbebas dari hantu oligarki di negeri ini. Perlu kesadaran semua pihak, bahwa oligarki hanya merugikan. (I76)

Baca juga: Paradoks Daulat Rakyat dalam Cengkeraman Oligarki


spot_imgspot_img

#Trending Article

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Usai pengumuman KPU, isu pengguliran hak angket DPR kembali berbunyi. Kira-kira akankah Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri mendorongnya? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...