HomeNalar PolitikListrik Naik, Jokowi Tumbang?

Listrik Naik, Jokowi Tumbang?

Harga bahan bakar yang kian tinggi menuntut agar tarif listrik ikut naik. Akan tetapi jika listrik naik, popularitas Jokowi dalam ancaman besar.


PinterPolitik.com

[dropcap]G[/dropcap]awat! Tarif listrik berpotensi naik. Pemerintah saat ini tengah mempertimbangkan formulasi baru untuk menghitung tarif listrik. Rencana pengaturan ulang tarif ini disebut-sebut dilakukan untuk memasukkan harga batu bara sebagai indikator.

Situasi gawat ini nampak dari keluhan Direktur Utama PLN Sofyan Basir kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sofyan menyampaikan bahwa harga batu bara kini telah mencapai USD 100 per metrik ton dari semula USD 60 per metrik ton. Ia meminta pemerintah untuk mengatur harga bahan bakar tersebut di tingkat domestik.

Selain batu bara, harga minyak mentah dunia juga kini tengah merangkak naik. Emas hitam tersebut kini telah mencapai harga USD 70 per barel. Minyak sendiri saat ini masih menjadi salah satu bahan bakar utama pembangkit listrik di Indonesia.

Melonjaknya harga bahan bakar ini membuat pemerintah dalam kondisi serba sulit. Di satu sisi, penyesuaian tarif listrik sudah mendesak sebagai bentuk respons naiknya harga energi. Di sisi yang lain, pemerintah sudah menjanjikan tarif listik tidak akan naik.

Dilema bertambah pelik jika melihat tanggalan di kalender. Memasuki tahun 2018, aroma politik tengah kuat-kuatnya menjelang Pemilu 2019. Menaikkan tarif listrik adalah kebijakan tidak populis yang dapat meruntuhkan citra Jokowi di 2019. Berdasarkan kondisi tersebut, mungkinkah tarif listrik naik?

Harga Bahan Bakar Kian Tinggi

Hingga saat ini, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan. Batu bara dan minyak, saat ini masih menjadi sumber bahan bakar utama bagi pembangkit listrik di Indonesia.

Indonesia saat ini cenderung jarang melirik sumber energi alternatif. Sumber energi lain seperti panas bumi, tenaga air, atau tenaga surya masih tergolong jarang digunakan menjadi sumber bahan bakar untuk listrik.

Hingga saat ini, pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dari jumlah PLTU yang dominan tersebut, batu bara menjadi sumber bahan bakar utama. Porsi penggunaan batu bara mencapai 57,22 persen dibandingkan bahan bakar lain.

Berdasarkan data Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, PLTU di Indonesia menghabiskan hingga 50 juta ton batu bara dalam satu tahun. Angka ini diprediksi akan terus naik seiring dengan proyek listrik 35.000 MW milik pemerintah.

Listrik Naik, Jokowi Tumbang?

Di lain pihak, saat ini peran minyak memang perlahan mulai tergantikan. Akan tetapi, beberapa jenis pembangkit listrik masih menggantungkan nasib dari bahan bakar ini. Pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) misalnya, saat ini menggunakan bahan bakar minyak jenis solar.

Jika dijumlah, pembangkit listrik dalam bentuk PLTD memiliki jumlah yang amat tinggi. Berdasarkan data Ditjen Ketenagalistrikan, total ada 4.665 pembangkit listrik dalam wujud PLTD. Berdasarkan data tersebut, PLTD menyuplai 5.889,88 MW daya listrik bagi masyarakat Indonesia.

Baca juga :  Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa harga batu bara dan minyak krusial bagi penentuan tarif listrik. Ketergantungan pada dua jenis bahan bakar tersebut menimbulkan kondisi yang menyulitkan. Ketika harga batu bara dan minyak mengalami kenaikan drastis, maka tarif listrik harus disesuaikan. Kondisi inilah yang tengah dihadapi pemerintah saat ini.

Harga batu bara terus-menerus menanjak dalam beberapa waktu terakhir. Saat ini harga batu bara telah mencapai USD 100 per metrik ton. Padahal, awalnya harga batu bara sempat berada di angka USD 60 per metrik ton.

Kondisi serupa juga berlaku pada komoditas minyak. Awalnya, harga minyak berada di level USD 48 per barel. Saat ini harga komoditas emas hitam tersebut telah menembus angka USD 70 per per barel. Beberapa kalangan memprediksi harga tersebut bisa saja tembus hingga USD 100 per barel.

Kenaikan harga bahan bakar tersebut membuat PLN benar-benar terbebani. Disebutkan bahwa pengeluaran perusahaan listrik plat merah ini membengkak hingga Rp 15 triliun akibat harga batu bara. Kebijakan pemerintah yang melarang kenaikan harga listrik membuat pengeluaran tersebut ditanggung sendirian oleh PLN.

Berdasarkan kondisi tersebut, tampak bahwa pemerintah kehabisan opsi selain menaikkan tarif listrik. Harga bahan bakar yang kian tinggi tentu akan membebani PLN. Apalagi, beberapa waktu yang lalu berhembus isu perusahaan listrik plat merah tersebut tengah tersangkut masalah keuangan. Jika penyesuaian harga tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin bencana akan melanda perusahaan listrik tersebut.

Tarif Listrik vs Pencitraan 2019

Listrik merupakan kebutuhan yang amat penting bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat tingkat bawah hingga tingkat elit sekalipun, amat menggantungkan hidup dan aktivitasnya pada listrik. Bisa dibayangkan jika masyarakat harus melepaskan diri dari listrik akibat tarifnya semakin tidak terjangkau.

Bagi masyarakat tingkat bawah, kenaikan tarif listrik tentu akan membebani mereka. Padahal, saat ini keadaan ekonomi belum dalam kondisi yang benar-benar baik. Masyarakat baru-baru ini baru saja menghadapi kenaikan harga beras. Jika harga listrik ikut naik, masyarakat tentu akan menjerit.

Para pebisnis juga mengkhawatirkan kemungkinan naiknya tarif listrik ini. Naiknya tarif listrik akan membebani ongkos produksi para pelaku industri. Kondisi ini tentu beban terutama bagi industri yang menggunakan listrik selama 24 jam.

Pengusaha yang tergabung di dalam Kamar Dagang Indonesia (KADIN) mengaku keberatan jika terjadi kenaikan tarif listrik. Menurut KADIN, kondisi ini bisa menurunkan daya saing industri. Hal ini juga tidak sesuai dengan paket kebijakan ekonomi III. Alih-alih mendapat diskon sesuai paket tersebut, kini para pelaku usaha justru harus menghadapi meningkatnya harga listrik.

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan harga listrik secara bertahap selama tiga kali pada tahun 2017. Pemerintah mencabut subsidi bagi pengguna listrik 900 VA. Pengguna listrik dengan daya tersebut, harus menelan pil pahit akibat tagihan listriknya naik.

Jika harus menaikkan lagi harga listrik, kondisi ini merupakan pukulan bagi pemerintahan Jokowi. Kebijakan menaikkan tarif listrik merupakan kebijakan yang tidak populis. Hal ini berpotensi menurunkan tingkat kepuasan masyarakat pada orang nomor satu tersebut.

Kondisi bertambah pelik jika melihat janji pemerintah sebelumnya. Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah menjanjikan bahwa listrik tidak akan naik setidaknya hingga 31 Maret 2018. Jika tarif listrik naik dalam waktu dekat, maka hal ini bisa jadi petaka baginya.

Hingga saat ini, pemerintah memang belum secara resmi akan menaikkan tarif listrik. Akan tetapi, rencana formulasi ulang dalam waktu dekat bisa saja membuyarkan rencana pemerintah tersebut. Komponen harga batu bara sudah mendesak dimasukkan agar PLN tidak sekarat.

Jika tarif listrik benar-benar naik, maka ada potensi efek berantai. Kenaikan listrik dapat menimbulkan gejolak inflasi. Menurut para pengamat, baru sekadar isu saja, kenaikan tarif listrik tetap berpengaruh pada inflasi.

Efek dari inflasi ini cukup beragam.  Inflasi dapat menyebabkan daya beli masyarakat semakin menurun. Harga barang-barang pokok juga akan mengalami kenaikan. Kondisi ini juga bisa berpengaruh pada penambahan jumlah warga miskin.

Melihat kondisi-kondisi ini, pemerintahan Jokowi berada dalam ancaman kejatuhan. Ada potensi bahwa popularitasnya akan menurun menjelang 2019. Hal ini tentu merupakan keuntungan bagi pihak oposisi yang mengincar jabatannya di tahun 2019.

Tahun ini kerapkali disebut sebagai tahun politik. Menaikkan harga listrik di tahun politik tentu merupakan hal yang riskan bagi Jokowi. Idealnya, jika ingin aman hingga Pemilu 2019, ia harus menahan tarif listrik hingga 2019. Hal ini sesuai dengan permintaannya pada Dirut PLN Sofyan Basir.

Bak buah simalakama, menaikkan atau menahan tarif listrik tetap memiliki akibat buruk bagi pemerintahan Jokowi. Akan tetapi, jika bertahan dengan opsi menahan harga listrik ada potensi PLN bangkrut dan APBN terbebani. Jika sudah begini, nampaknya tarif listrik pasti naik. Namun, ancaman konsekuensinya tidak main-main: citra Jokowi bisa jatuh dengan bebas. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...