HomeNalar PolitikKumbo Jokowi-Prabowo Ditunggu Asing?

Kumbo Jokowi-Prabowo Ditunggu Asing?

Instabilitas politik pasca Pilpres 2019 diharapkan bisa diredam melalui kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo. Hal tersebut boleh jadi didorong oleh lembaga multilateral yang menghindari risiko politik domestik di Indonesia.


Pinterpolitik.com

Rekonsiliasi atau dalam kadar tertentu dapat disebut kumpul kebo (kumbo) politik pasca Pilpres 2019 menjadi saga yang ditunggu-tunggu ujungnya selama beberapa waktu terakhir. Bagaimana tidak, jika hal itu terjadi, maka dua rival sengit selama dua Pilpres terakhir, Jokowi dan Prabowo, akan hidup berdampingan untuk urusan pemerintahan.

Wacana tersebut ditunggu-tunggu tidak hanya dari segi politik seperti soal kursi menteri dan lain sebagainya. Jika kumpul kebo politik itu terwujud, maka ada potensi mereka mampu meredakan tensi politik tanah air yang meninggi pada Pilpres lalu.

Pilpres 2019 lalu memang boleh jadi salah satu proses pemilihan yang paling melelahkan terutama dari segi emosi. Polarisasi masyarakat tampak amat jelas terlihat di mana mereka terbelah menjadi dua kutub utama yang kerap disebut sebagai cebong dan kampret.

Ketegangan tersebut jika berlangsung dalam jangka panjang tentu dapat berpengaruh ke dalam berbagai lini negeri ini termasuk ekonomi. Oleh karena itu, para pelaku dunia ekonomi ini jelas amat menanti kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo agar stabilitas politik lebih terjaga.

Sebenarnya, stabilitas yang dihasilkan kumpul kebo politik ini juga tidak hanya dinanti oleh pelaku ekonomi nasional saja, tetapi juga internasional. Tak hanya dari para investor, berbagai organisasi multilateral juga bisa saja mengharapkan stabilitas dari kumpul kebo politik tersebut.

Hidup Berdampingan

Tegang, begitu suasana yang dapat dirasakan sebagian masyarakat manakala pencoblosan Pilpres 2019. Berbagai isu liar di media sosial hingga letusan kerusuhan di 22 Mei lalu menjadi gambaran bahwa gelaran pesta demokrasi itu masih menyisakan potensi instabilitas politik di negeri ini.

Potensi instabilitas itu membuat sebagian pelaku ekonomi khawatir. Banyak yang mengaitkan kerusuhan 22 Mei dan konflik lain pasca Pemilu lalu dengan kemungkinan kaburnya investor-investor asing dari negeri ini.

Jika diperhatikan, dalam polarisasi masyarakat yang ada, pendukung Prabowo cenderung lebih ekspresif dalam menunjukkan kecintaan kepada kandidat yang didukung. Dalam kadar tertentu, mereka bisa digolongkan telah bersikap fanatik dalam menunjukkan dukungannya kepada Prabowo.

Kelompok-kelompok ini juga cenderung memiliki tendensi untuk beroposisi sangat tinggi kepada Jokowi. Berbagai wacana digulirkan oleh para pemilih Prabowo ini mulai dari menolak rekonsiliasi hingga mengabadikan tradisi parlemen jalanan  untuk menjamin pemerintahan Jokowi tetap mendapat kritik mumpuni.

Baca juga :  Gibran, Utang Moral AHY ke Jokowi-Prabowo?

Tak hanya itu, mereka juga memiliki demografi khusus, seperti berasal dari kelompok Islam berhaluan konservatif. Berbagai kelompok seperti Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama menjadi dua kelompok Islam yang sempat berada dalam genggaman Prabowo.

Reputasi kelompok pendukung Prabowo dalam melakukan mobilisasi massa ke jalanan tergolong telah teruji. Pada tahun lalu misalnya, kelompok ini sempat memutihkan kawasan Monas dalam gelaran Reuni 212, meski tak resmi dilabeli kampanye Prabowo. Hal itu tentu masih bisa ditambah dengan aksi 22 Mei yang membuat ibu kota sempat dilanda kekhawatiran.

Untuk itu, kumpul kebo politik menjadi hal yang penting bagi pemerintahan Jokowi. Hidup berdampingan bersama Prabowo selama masa pemerintahan ke depan menjadi penting untuk meredam ekspresi para pendukung tersebut.

Dengan hidup berdampingan bersama Prabowo, pemerintahan Jokowi memiliki potensi untuk lebih stabil. Beragam risiko politik terutama yang berkaitan dengan konflik berbau Pemilu, boleh jadi akan lebih mudah dikendalikan dengan mewujudkan hal tersebut.

Pantau Risiko Politik

Wacana kumpul kebo politik yang bisa meredam instabilitas itu tentu dapat menjadi angin segar bagi berbagai pelaku ekonomi baik di tingkat lokal maupun internasional. Dalam kadar tertentu, mereka juga bisa saja mendorong secara aktif agar wacana tersebut terjadi.

Secara teori, instabilitas politik memang menjadi salah satu hal yang kerap mengganggu aliran dana terutama dari luar negeri. Menurut Robert Lucas, penerima Nobel Ekonomi dari University of Chicago, hanya risiko politiklah yang membatasi aliran modal ke suatu negara.

Secara spesifik, risiko politik ini juga boleh jadi menjadi hal yang penting bagi organisasi mulitateral seperti Bank Dunia atau IMF. Lembaga seperti Bank Dunia misalnya, rajin mengeluarkan laporan tentang risiko politik dan investasi dunia.

Bank Dunia memiliki agensi seperti Multilateral Investment Guarantee Agency yang menilai risiko politik untuk urusan investasi. IMF juga kerap memiliki panduan tentang risiko investasi dan utang dari suatu negara melalui indeks dari berbagai institusi.

Dalam kadar tertentu, indeks-indeks yang digunakan oleh lembaga-lembaga tersebut kerap menjadi acuan untuk menilai kemampuan suatu negara dalam pembayaran utang. Negara yang kemampuan membayar utangnya dianggap lemah memang cenderung dihindari untuk menjadi tujuan aliran dana dari luar negeri.

Terlibat Aktif?

Merujuk pada kondisi tersebut, bukan tidak mungkin bahwa organisasi multilateral seperti Bank Dunia dan IMF ikut mendorong terjadinya kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo. Bagi lembaga seperti mereka, risiko politik yang mungkin muncul akibat polarisasi boleh jadi terlampau berbahaya bagi berbagai aktivitas mereka di Indonesia.

Baca juga :  The Tale of Two Sons

Menurut Christoph Trebesch, instabilitas politik domestik merupakan prediktor yang signifikan dalam penundaan negosiasi antara pemerintah dengan bank asing dan pemegang obligasi. Perkara seperti krisis pemerintahan, pengunduran diri pejabat  penting, hingga proses jalanan, kerap kali menjadi pengganggu proses penyelesaian utang yang cepat.

Instabilitas politik dapat menyebabkan suatu negara mengalami gagal bayar atau default secara politik. Hal ini bisa berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakinginan suatu negara membayar utang terkait dengan kondisi politik di negerinya. Status gagal bayar ini boleh jadi menjadi sesuatu yang berisiko bagi berbagai kreditor di luar negeri.

Trebesch menggambarkan bahwa dalam pemerintahan yang mengalami kekacauan politik yang dalam dan berpotensi digoyang, pembayaran utang dengan kreditor asing kerap mengalami kemunduran. Dalam kondisi tak menentu itu pula, terdapat ruang politik yang minim untuk melakukan negosiasi atau untuk melanjutkan pembayaran.

Tidak hanya itu, pemerintah juga bisa mengalami kesulitan membayar utang jika tidak mendapatkan dukungan politik untuk membayar kreditur asing dan menjalankan kebijakan fiskal yang disarankan oleh lembaga tersebut. Hal tersebut dapat membuat negosiasi utang dengan kreditor dapat berlangsung lebih lama.

Lembaga seperti Bank Dunia dan IMF bisa saja akan sangat senang jika Jokowi dan Prabowo hidup berdampingan. Click To Tweet

Trebesch menggunakan contoh Argentina dan Yunani sebagai contoh instabilitas politik dapat memberikan pengaruh pada pembayaran utang. Kedua negara tersebut mengalami instabilitas di tingkat domestik, sehingga terjadi penundaan dalam resolusi krisis dengan kreditor di luar negeri.

Berdasarkan kondisi tersebut, lembaga seperti Bank Dunia atau IMF tentu pantas khawatir jika risiko politik di Indonesia mengeskalasi menjadi sesuatu yang lebih besar. Mereka bisa menghadapi penundaan pembayaran atau juga mengalami paceklik negosiasi dengan Indonesia.

Tak hanya soal utang, seperti disebut di atas, instabilitas politik juga menyebabkan suatu negara kekurangan dukungan politik untuk menjalankan kebijakan sesuai arah kreditor. Hal ini juga tentu tak diinginkan oleh lembaga-lembaga multilateral yang membidik Indonesia.

Oleh karena itu, lembaga-lembaga multilateral ini disinyalir akan mendorong kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo. Bagi mereka, terlampau banyak risiko politik jika keduanya tak hidup berdampingan yang kemudian bisa berdampak pada aktivitas mereka. Untuk itu, tak perlu kaget jika organisasi-organisasi multilateral akan sangat berbahagia jika Jokowi dan Prabowo hidup berdampingan. (H33)

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...