HomeNalar PolitikKenapa Kita Semakin Meragukan Pemerintah?

Kenapa Kita Semakin Meragukan Pemerintah?

Setiap kebijakan dan retorika yang dikeluarkan pemerintah selalu dikritik, misalnya perdebatan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Di sisi lain, beberapa survei menunjukkan masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah murni karena salah pemerintah?


PinterPolitik.com

Akhir-akhir ini rasanya hampir setiap kebijakan dan pernyataan yang dikeluarkan pemerintah menuai kritik pedas dari masyarakat. Contohnya, keresahan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diberi status “inkonstitusional bersyarat” beberapa hari lalu. Putusan ini dianggap tidak menyelesaikan masalah oleh sebagian pihak.

Kemudian, ada juga kecaman pada gagasan pemerintah yang ingin mendirikan otoritas pengawas perlindungan data pribadi (PDP) di bawah kendali Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar mengatakan seharusnya otoritas tersebut bukan di bawah pemerintah tapi menjadi lembaga independen.

Baca Juga: Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?

Wahyudi menilai, jika otoritas tersebut berada dalam kendali pemerintah, maka keputusan yang objektif dan adil akan sulit dicapai, mengingat data publik tidak hanya digunakan untuk motif ekonomi, tapi juga politik. Di sisi lain, jika dikendalikan pemerintah, otoritas PDP juga bisa seenaknya dibubarkan kapan saja oleh presiden jika dinilai tidak lagi sejalan dengan agenda dan prioritas politik.

Secara keseluruhan, memang ketidakpuasan publik terhadap pemerintah sendiri mengalami tren kenaikan. Survei dari Charta Politika pada Agustus lalu menunjukkan ketidakpuasan publik meningkat tajam dari angka 21 persen pada bulan Maret menjadi 34 persen.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan ketidakpuasan masyarakat muncul dari berbagai aspek utama, yaitu penegakan hukum, ketidakpuasan pemberantasan korupsi, dan kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19.

Lantas, apakah fenomena ketidakpuasan ini sepenuhnya adalah salah pemerintah?

Pemerintah Korban Modernisasi?

Sejumlah pendapat terkait ketidakpuasan masyarakat bisa kita temukan di internet. Artikel dari  Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Media Wahyudi Askar yang berjudul 3 Alasan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Jokowi Turun, di laman The Conversation, misalnya, menyebut kepercayaan publik turun karena pemerintah gagal mendengar keprihatinan masyarakat, kriminalisasi kritik, dan ketidak konsistenan menghadapi Covid-19.

Sekilas, poin-poin di atas memang benar. Akan tetapi, fenomena ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah tidak hanya terjadi pada Indonesia, namun di banyak negara lainnya di dunia.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul Trust in Public Institutions: Trends and Implications for Economic Security, menyimpulkan bahwa rata-rata tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di dunia mengalami penurunan dari 46 persen pada tahun 2006, sampai 35 persen pada tahun 2020, dengan catatan hanya wilayah Eropa yang mengalami kenaikan.

Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa menurunnya tingkat kepercayaan publik adalah sebuah fenomena global. Mengapa hal ini terjadi?

Untuk menjawabnya, kita terlebih dahulu harus memahami yang namanya teori postmodernism atau pascamodernisme. Teori ini dipopulerkan pada pertengahan abad ke-20 oleh pemikir-pemikir sosiologi Prancis, yang salah satunya bernama Jean-François Lyotard.

Baca juga :  Republik Rakyat Komeng

Dalam tulisannya yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, pascamodernisme yang dianut Lyotard adalah teori yang pada dasarnya mengkritik pengetahuan umum dari segala aspek modernisasi, yang dinilainya muncul dari gerakan rasionalitas ala Zaman Pencerahan Eropa.

Rasionalitas Zaman Pencerahan Eropa yang dimaksud adalah ide-ide yang yang berpusat pada tujuan kebahagiaan manusia, contohnya, pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui akal ataupun panca indera, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, progres, toleransi, persaudaraan, pemerintahan yang konstitusional, dan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga: Demokrasi Indonesia Keteteran Kapitalisme?

Lyotard menilai, meskipun cita-cita idealis yang dibawa modernisme terlihat bagus, mereka belum bisa benar-benar menjawab berbagai permasalahan masyarakat. Pascamodernisme menekankan bahwa di balik retorika politik, ada sebuah motif besar yang selalu pantas untuk diselidiki lebih dalam dan dikritik. Pascamodernisme secara prinsip juga mempertanyakan peran negara sebagai pembawa kemakmuran bagi masyarakat.

Meskipun tidak spesifik menyebut bagaimana pandangan ini bisa menyebar ke sebuah negara, ilmuwan penganut pascamodernisme seperti Lyotard meyakini bahwa masyarakat akan melalui proses transformasi pengetahuan umum ke arah pascamodernisme setelah terekspos lama oleh dampak industrialisasi, tepatnya setelah tahun 1950-an.

Misteri masuknya tren pascamodernisme kemudian bisa kita jawab dengan membawa pandangan Lloyd Pettiford dan kawan-kawan dalam buku An Introduction to International Relations Theory. Di dalamnya, mereka berargumen, melalui globalisasi, paham pascamodernisme akan semakin cepat tumbuh dalam masyarakat karena arus informasi antar negara akan semakin intens.

Lambat laun, melalui media, masyarakat dunia akan semakin sadar bahwa apa yang dilakukan pemerintah selama ini belum bisa menjawab permasalahan sosial dan ekonomi dalam suatu negara.

Mirip dengan apa yang dianut oleh kaum nihilisme, masyarakat akan dihadapkan kepada suatu bentuk kesadaran di mana ‘fakta yang sebenarnya’ itu sesungguhnya tidak ada. Apa yang selama ini dinarasikan oleh pemerintah hanyalah sebuah interpretasi subjektif, yang tidak mampu memberikan solusi aktual, sementara kabar tentang kegagalan pemerintah sendiri akan semakin terekspos oleh media.

Di sisi lain, ketidakpuasan masyarakat juga tereskalasi jika suatu negara tidak mampu menghalau penetrasi ekonomi yang dibawa globalisasi. Ahli politik Jerman, Erhard Eppler dalam bukunya Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, mengatakan, dengan masuknya kapitalisme, kepercayaan masyarakat terhadap negara dapat dipreteli karena ketidakmerataan ekonomi akan semakin kentara. Sementara, negara semakin dibuat keteteran oleh adanya tuntutan ekonomi dari para perusahaan besar.

Ketidakmerataan ekonomi yang muncul akibat modernisme ekonomi ala kapitalisme ini membuat masyarakat tidak lagi melihat negara sebagai pihak yang mampu melakukan pembaruan, tetapi sebagai seorang musuh yang perannya hanya menjadi penyalur monopoli aktor ekonomi global.

Oleh karena itu, Eppler melihat, sepanjang negara dan globalisasi ekonomi berhubungan, masyarakat modern akan terus merasa perlu waspada demi mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan negara, dan penyalahgunaan instrumen-instrumen negara untuk melindungi kelompok tertentu, bukannya mempromosikan atau melindungi kebebasan masyarakat.

Berdasarkan pandangan-pandangan ini, sepertinya bisa kita akui bahwa masyarakat kita sekarang sedang mengarah ke era pascamodernisme. Masyarakat akan semakin mengkritik pemerintah, namun sebenarnya masalah yang dihadapi pemerintah sendiri sudah berlangsung lama, hanya saja kita baru mempunyai media untuk menyadarinya sekarang.

Baca juga :  Jokowi Tak Mungkin Dimakzulkan

Lantas, apakah kritik masyarakat kemudian telah menjadi musuh pemerintah?

Justru Harus Lebih Libatkan Masyarakat?

Dalam tulisannya yang berjudul Infrastructure, Government, and Trust, Francis Fukuyama memaparkan sebuah kesimpulan yang sejalan dengan pemaparan di atas, yaitu tingkat kepercayaan pada pemerintah telah menurun hampir di semua tempat di dunia, tidak hanya dalam beberapa tahun terakhir tetapi selama beberapa dekade terakhir.

Fukuyama menilai, ketidakpercayaan ini muncul karena tingkat pendidikan di dunia saat ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu, dan orang yang berpendidikan cenderung akan berpikir lebih kritis. Sehingga secara otomatis, masyarakat tidak lagi dengan mudah memercayai apa yang diberitahukan oleh pemerintah, mereka akan semakin menuntut adanya transparansi. Perkembangan internet yang mempermudah akses informasi juga berperan besar.

Oleh karena itu, sebagai dampaknya, pemahaman masyarakat terhadap fungsi demokrasi juga berkembang. Yang tadinya keterlibatan politik hanya sebatas pemilihan umum, dengan adanya perkembangan zaman, masyarakat semakin ingin dilibatkan dalam pemutusan kebijakan politik dan bahkan perumusan anggaran nasional.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa kritik yang meningkat terhadap pemerintah tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kepentingan negara. Dalam sebuah video wawancara berjudul Francis Fukuyama: In Government We Trust, Fukuyama menilai justru pemerintah harus lebih mengakomodasi kritik-kritik yang muncul di era modern, karena bagaimanapun, masyarakat adalah kelompok yang tahu bagaimana situasi sebenarnya di lapangan.

Baca Juga: Demokrasi Mundur, Salah Pemerintahan Jokowi?

Dengan demikian, sangat penting bagi pemerintah untuk membangun kembali, tidak hanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, tetapi juga kepercayaan pemerintah pada masyarakat.

Pandangan ini secara filosofis juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh filsuf ternama, Niccolò Machiavelli dalam bukunya Diskursus. Meskipun secara umum Machiavelli dikenal sebagai teoritis politik yang menyampaikan pemikiran-pemikiran kejam, di dalam buku ini, ia mengatakan bahwa rasa kepercayaan dan rasa keterlibatan masyarakat pada pemerintah sangat penting untuk dijaga demi kestabilan negara.

Kepercayaan tersebut tidak berarti pemerintah harus menjalankan semua keinginan masyarakat, kata Machiavelli, karena ia tetap berpandangan bahwa keamanan negara adalah sesuatu yang murni harus dijalankan berdasarkan kepentingan negara, bukan opini publik. Namun, publik tetap harus dibuat merasa lebih aman dan didengarkan. Sederhananya, Machiavelli mengatakan, pemerintah harus lebih “bertanggung jawab” pada kebijakan-kebijakan yang memang berbeda dengan keinginan masyarakat, dengan cara tidak mengasingkan pendapat mereka.

Pada akhirnya, bagaimanapun juga, di zaman pascamodernisme ini pemerintah harus lebih melibatkan, atau setidaknya mendengar suara masyarakat. Karena pada dasarnya, kepercayaan masyarakat dapat berpengaruh pada semangat nasionalisme, dan sejatinya, nasionalisme terbentuk bukan dari kesetiaan kepada pemerintah, melainkan karena kecintaan masyarakat kepada negara itu sendiri. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu.

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya beri selamat kepada Prabowo Subianto. Namun, mungkinkah hanya 'setengah hati' selamati Prabowo?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Anomali Jokowi

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara.

More Stories

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Bukan Penjajah, Kenapa Indonesia Benci Yahudi-Komunis? 

Indonesia di masa lampau dijajah Belanda dan Jepang, tapi, masyarakat kita kini lebih membenci etnis Yahudi dan pengikut komunisme. Mengapa bisa demikian? 

AI Akan Bunuh Manusia, Ini Alasannya 

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menciptakan perdebatan menarik tentang dampaknya bagi peradaban manusia. Akankah AI menjadi teman kita, atau justru ancaman untuk manusia?