HomeNalar PolitikKenapa BIN Menjadi Terbuka?

Kenapa BIN Menjadi Terbuka?

Beberapa waktu yang lalu, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan bahwa BIN telah melakukan penyusupan ke Taliban guna menghindari peristiwa yang tidak diinginkan. Pernyataan tersebut menjadi pertanyaan sendiri, kenapa BIN mengumumkan operasinya? Bukankah operasi intelijen harus bersifat rahasia?


PinterPolitik.com

“Ya, intel memang menjadi begitu misterius; ia ada tetapi ‘tiada’, ia bekerja tetapi ‘tidak bekerja’, ia cerdik tetapi ‘bloon’, ia bersahabat tetapi ‘menguras’ (informasi).” – Irawan Sukarno, dalam buku Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen

Berbicara soal Badan Intelijen Negara (BIN), khususnya di tengah pandemi Covid-19, ada analisis menarik dari Tangguh Chairil dalam tulisannya Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19.

Menurutnya, ada nuansa perluasan peran BIN atas responsnya terhadap pandemi. Pasalnya, BIN yang seharusnya berkutat pada pelacakan kontak (contact tracing) untuk melacak penyebaran virus, justru terlihat meluaskan perannya ke segala sesuatu yang berkaitan dengan pandemi.

Tangguh Chairil memberikan berbagai contoh atas perluasan peran tersebut. Pada 13 Maret 2020, BIN mengumumkan ke publik soal prediksi puncak pandemi di Mei 2020. Pada 17 April 2020, BIN menyerahkan bantuan alat kesehatan dan obat-obatan ke Satgas Covid-19 dan pemerintah daerah.

BIN juga menyiapkan laboratorium mobile rapid test di berbagai kota, penyemprotan disinfektan ke beberapa wilayah, dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya Covid-19. Kemudian pada 12 Juni 2020, BIN mengumumkan sedang mengoordinasikan percepatan produksi obat Covid-19.

Atas penunjukan eksistensi yang ada, Tangguh Chairil memberikan pertanyaan penting. “BIN dulu tidak mencari kredit untuk pekerjaannya. Lalu, mengapa BIN keluar dari kegelapan untuk melakukan tugasnya secara terang benderang?”

Pertanyaan tersebut penting karena belakangan ini, BIN menunjukkan gestur seperti ingin menampilkan diri ke publik. Selain contoh yang diberikan Tangguh Chairil, saat ini BIN juga melakukan vaksinasi door-to-door, serta menyalurkan bantuan sosial (bansos) Covid-19 ke berbagai daerah.

Baca Juga: Kejar Vaksin, Mengapa Harus BIN?

Satu lagi yang menarik adalah pernyataan Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto pada 2 September. Terangnya, BIN telah melakukan penyusupan ke seluruh kelompok-kelompok perlawanan, termasuk ke Taliban. Ini dilakukan untuk menjaga dan mencegah perang merembet hingga ke Indonesia.

Pernyataan tersebut menarik karena menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa operasi intelijen justru disampaikan terbuka kepada publik?

Padahal, mengacu pada Pasal 18 huruf b UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, disebutkan bahwa setiap personel intelijen negara wajib merahasiakan seluruh upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau personel intelijen negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas intelijen negara.

Baca juga :  Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

Keheranan serupa juga diungkapkan oleh pengamat keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Tegasnya, jika memang benar ada operasi penyusupan ke Taliban, pengakuan tersebut dengan jelas membahayakan kelangsungan operasi dan orang-orang yang terlibat.

Pentingnya Intelijen

Tidak hanya mengacu pada UU Intelijen Negara, pada hakikatnya intelijen memang bermain di dalam kegelapan. Seperti penegasan Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, di mana-mana intelijen diciptakan bukan untuk dipanggungkan dan ditepuktangani, apalagi untuk sebuah popularitas.

Penekanan bergerak di tengah kegelapan bukannya tanpa alasan ataupun sekadar gaya-gayaan. Secara common sense, tentu kita memahami, bagaimana mungkin aktivitas menembus kabut informasi dapat dilakukan apabila operasi intelijen dilakukan secara terbuka dan terang benderang.

Membandingkan dengan lembaga intelijen di negara lain, seperti Mossad di Israel, operasi senyap benar-benar menjadi kunci. Matteo Bulzomi dalam tulisannya Intelligence as a Diplomatic Tool: An Israeli History, bahkan menyebut Israel menggunakan intelijen sebagai alat diplomatik.

Coba bayangkan, sejak awal berdiri, Israel selalu dilanda embargo diplomatik yang keras karena masalah Palestina, khususnya dari negara-negara Muslim. Kondisi ini membuat Israel berada pada situasi ketidakpastian keamanan yang berkelanjutan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana negara ini bisa bertahan, bahkan mampu mengembangkan teknologi mutakhir?

Menurut Bulzomi, untuk mengatasi masalah ini, para pemimpin Israel membentuk strategi tiga dimensi. Pertama, mereka berusaha untuk memastikan keunggulan militer Israel atas musuh-musuhnya.

Kedua, mereka menjaga hubungan dekat dengan kekuatan Barat, terutama yang memiliki kursi tetap di Dewan Keamanan PBB.

Dengan melakukan itu, Israel berharap untuk mendapatkan dukungan politik di hadapan masyarakat internasional, untuk menjadi bagian dari sistem ekonomi yang makmur, dan mendapatkan persenjataan yang dibutuhkan untuk memastikan keunggulan militer.

Ketiga, Israel banyak menginvestasikan sumber daya dalam mendirikan jaringan diplomatik formal dan informal agar mampu mematahkan isolasi yang dialami.

Baca Juga: Pandemi, Kegagalan Budi Gunawan?

Nah, badan intelijen memiliki peran yang sangat penting dalam strategi ini, khususnya yang ketiga. Untuk menjalankan strategi, Israel membutuhkan informasi-informasi akurat dari badan intelijennya. Menurut Bulzomi, informasi-informasi tersebut kerap kali didapatkan melalui saluran informal.

Setelah berhasil mendapatkan informasi terkait rahasia musuh-musuhnya, informasi tersebut digunakan sebagai alat diplomasi untuk menjalin hubungan dan memecah isolasi.

Seperti pernyataan Bulzomi, informasi rahasia seperti itu tentu didapatkan melalui saluran informal. Artinya, tidak mungkin badan intelijen Israel dengan gamblang mengumumkan operasinya. Mestilah mereka berlindung di balik kegelapan dan bergerak secara senyap.

Kembali pada BIN. Melihat gestur yang menampilkan diri terbuka, khususnya pada program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti vaksinasi dan penyerahan bansos, sekiranya menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin BIN tidak memahami esensi bergerak secara senyap?

Baca juga :  Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Seperti pernyataan Irawan Sukarno, agen intelijen haruslah merupakan orang-orang pintar agar mampu menjalankan aktivitas intelijen dengan baik.

Terlebih lagi, apabila melihat aktivitas intelijen Indonesia di masa lalu, tidak pernah terdengar ada agen intelijen menampilkan diri di depan publik, apalagi mengumumkan operasinya. Lantas, mengapa gestur terbuka diperlihatkan BIN belakangan ini?

Alasan Politik?

Pengamat keamanan ISESS, Khairul Fahmi memiliki analisis menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, dengan gestur BIN belakangan ini yang terbuka dan seolah ingin “mencari panggung”, tampaknya berkaitan dengan alasan politik.

Jika benar demikian, fenomena BIN yang keluar dari kegelapan dapat kita pahami melalui tulisan Chris Mooney yang berjudul Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math. Mengutip studi dari Yale Law School, Mooney menyebut gairah politik dapat merusak keterampilan penalaran  yang sangat mendasar.

Dengan kata lain, adanya kepentingan politik telah membuat BIN melupakan protokol operasi yang paling mendasar, yakni bergerak secara senyap.

Terkait ini, secara khusus Fahmi melihat pada sosok Kepala BIN Budi Gunawan (BG) yang memang kerap mendapat sorotan. Bukan tanpa alasan, sejak 2017 nama BG telah masuk dalam bursa capres. Pada November 2017, misalnya, PolMark Research Center (PRC) merilis survei yang menempatkan pasangan Jokowi-BG berada pada posisi tertinggi dengan 65 persen pemilih.

Lanjut Fahmi, dengan gestur terbuka BIN belakangan ini, itu kemudian membuat berbagai lembaga survei turut memasukkannya ke dalam bursa kandidat 2024. Simpulan tersebut misalnya terlihat dari rilis survei Arus Survei Indonesia (ASI) pada 8 Juni yang memasukkan BG sebagai figur dari klaster Polisi yang paling layak jadi capres-cawapres 2024.

Baca Juga: Jokowi End Game, Kegagalan Intelijen?

Nah, terkait masuknya nama BG di bursa 2024, tulisan Fred Barnes yang berjudul The Myth of Political Consultants sangat menarik untuk diperhatikan. Mengutip sejarawan Amerika Serikat (AS) Arthur Schlesinger Jr., Barnes menyebut lembaga survei telah melahirkan profesi baru, yakni electronic manipulators. Saat ini, lembaga survei berguna untuk mengondisikan persepsi publik.

Dengan kata lain, seiring dengan terus masuknya nama BG di bursa kandidat 2024, persepsi publik akan tertuju kepada, setidaknya mengingat ada sosok bernama Budi Gunawan.

Well, pada akhirnya, apa pun yang terjadi di balik gestur BIN yang keluar dari kegelapan, kita tentu berharap agar BIN kembali pada hakikatnya yang bekerja secara senyap. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...