HomeNalar PolitikJokowi Panggil Artis, Sinyal Kegentingan?

Jokowi Panggil Artis, Sinyal Kegentingan?

Baru-baru ini, Presiden Jokowi memanggil sejumlah artis ke Istana untuk membantu pemerintah mengedukasi masyarakat perihal Covid-19. Lantas, tepatkah strategi tersebut digunakan untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang terlihat terus memburuk?


PinterPolitik.com

Siapa yang tidak mengenal sosok-sosok beken seperti Raffi Ahmad, Andre Taulany, Atta Halilintar, Cak Lontong, hingga Raisa. Sosok yang lekat dengan ingatan publik ini termasuk dari deretan pekerja seni yang diundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana pada 14 Juli lalu.

Ya, seperti yang diduga, Presiden Jokowi hendak meminta bantuan untuk menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 kepada masyarakat. Melihat track record sang presiden, pemanggilan artis semacam ini bukanlah barang baru. Bahkan sebelum menjadi orang nomor satu di republik ini, mantan Wali Kota Solo tersebut telah menjalin hubungan yang baik dengan sejumlah pekerja seni, misalnya dengan grup musik Slank.

Ketika ribut-ribut soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada September tahun lalu misalnya, puluhan musisi bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor. Menariknya, di tengah gejolak politik tersebut, konser musik bertajuk persatuan Indonesia justru diumumkan.

Hal yang sama juga terjadi pada Mei lalu. Untuk menggalang dana bantuan penanganan Covid-19, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menyelenggarakan konser virtual.

Lalu ada pula wacana kontroversial ketika pemerintah ingin menggunakan influencer pada Februari lalu untuk mempromosikan pariwisata ketika Covid-19 belum teridentifikasi di Indonesia.

Menjadi menarik kemudian untuk dipertanyakan rasionalisasi di balik kerapnya pemerintahan Presiden Jokowi menggunakan artis ataupun influencer di berbagai kesempatan, khususnya pada kasus terbaru. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari hal tersebut?

Corong Informasi yang Mumpuni

Eugene Scott dalam tulisannya Why Celebrities Wade Into Politics and Why People Listen to Them — Even Conservatives, mencoba menjawab mengapa artis atau selebriti di Amerika Serikat (AS) yang terjun ke politik dapat didengarkan suaranya oleh masyarakat. Dalam simpulannya, Scott menilai bahwa saat ini kita hidup dalam budaya di mana selebriti tidak hanya berpengaruh dalam seni, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Menurutnya, itulah alasan mengapa pembawa acara “Celebrity Apprentice” diberikan kesempatan untuk mengkritik kebijakan ekonomi Presiden Barack Obama, ataupun mengapa Fox News mendatangkan Stacey Dash untuk menentang pendekatan kebijakan luar negeri Obama terhadap terorisme.

Baca juga :  Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Jessica Grose dalam tulisannya When Did We Start Taking Famous People Seriously? juga turut berusaha menerangkan mengapa suara selebriti AS didengar serius oleh masyarakat. Menurutnya, salah satu faktor penting hal ini adalah, dengan wajah mereka berseliweran di pemberitaan selama 24 jam, itu membuat mereka memiliki lebih banyak akses untuk menyuarakan suaranya.

Grose misalnya mencontohkan artis terkenal seperti Angelina Jolie, George Clooney, dan Bono yang justru lebih mendapatkan liputan media, bahkan pada isu serius seperti AIDS dan pendidikan di Afrika, hingga korban perang saudara di Sudan, daripada mereka yang duduk sebagai presiden AS ataupun anggota Kongres.

Paul ‘t Hart dan Karen Tindall dalam tulisannya Leadership By the Famous: Celebrity as Political Capital, juga memberikan perhatian khusus pada besarnya atensi massa terhadap aktivitas politik Angelina Jolie.

Bekerja sama dengan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Jolie telah bertemu dengan berbagai elite politik dunia secara teratur untuk menarik perhatian mereka pada nasib pengungsi dan anak-anak terlantar. Pemeran film Tomb Raider ini bahkan menjadi pembicara di Davos World Economic Forum pada 2005 dan 2006, serta menjadi anggota Council on Foreign Relations pada 2007.

Menurut Hart dan Tindall, Jolie menjadi public leader karena ia adalah bintang Hollywood yang begitu terkenal. Singkatnya, menurut mereka, status sebagai selebriti adalah political capital atau modal politik yang mumpuni untuk menarik simpati massa.

Konteks status selebriti yang dapat menjadi political capital ini dapat kita pahami lebih dalam melalui diskursus mengenai ad hominem. Ad hominem adalah bahasa Latin yang berarti “to the man” atau mengacu pada orangnya. Ini adalah terminologi kuno yang dikembangkan untuk menjelaskan kekeliruan argumentasi informal ketika seseorang lebih melihat sosok orangnya daripada argumentasi yang dikeluarkan.

Melihat definisi, serta kategorisasinya yang masuk dalam kekeliruan argumentasi (fallacy), tentu banyak pihak akan mempersepsikan minor ad hominem. Akan tetapi, ad hominem pada dasarnya adalah sifat alamiah manusia yang sukar untuk dihindari. Tidak heran kemudian ditemui kasus mengapa selebriti lebih didengarkan daripada politisi ataupun akademisi, kendati ketiganya menyampaikan konten informasi yang sama.

Menimbang pada kondisi kognitif alamiah manusia, menjadi masuk akal kemudian mengapa Presiden Jokowi kerap mengandalkan artis ataupun influencer di berbagai kesempatan. Pada kasus terbaru, pemanggilan berbagai artis untuk menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 juga dapat dinilai tepat karena para pekerja seni tersebut memiliki penonton setianya tersendiri.

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Sebut saja Atta Halilintar ataupun Raffi Ahmad yang memiliki jutaan pengikut di YouTube. Pun begitu dengan Raisa yang tindak tanduknya memang selalu dinanti oleh warganet dan masyarakat luas.

Tanda Kegentingan?

Di luar afirmasi tersebut, sayangnya terdapat indikasi lain yang dapat dilihat dari pemanggilan para pekerja seni tersebut. Pasalnya, pemanggilan mereka terjadi setelah pemerintah pusat menunjukkan gestur bahwa penanganan pandemi Covid-19 tidak sedang baik-baik saja.

Pada video yang diunggah Istana pada 28 Juni lalu misalnya, terlihat jelas Presiden Jokowi tidak puas dengan kinerja para menterinya karena masih bekerja biasa-biasa saja di tengah pandemi. Pun begitu dengan para menteri yang dinilai belum memiliki sense of crisis yang memadai.

Yang terbaru, pemerintah juga mengganti berbagai istilah teknis seperti new normal, ODP, OTG, ataupun PDP karena dinilai menimbulkan kebingungan tersendiri di tengah masyarakat.

Atas rentetan peristiwa tersebut, tidak heran kemudian terdapat spekulasi yang mengemuka bahwa pemanggilan para artis untuk menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 layaknya rencana cadangan yang dikeluarkan karena rencana utama tidak berjalan dengan baik.

Itu misalnya dapat dilihat pula pada tingginya tensi politik akibat penolakan revisi UU KPK yang justru direspons dengan menyelenggarakan konser pada tahun lalu. Alih-alih menjadi sosok bijak seperti tidak menyetujui revisi, Presiden Jokowi justru lebih memilih menggunakan opsi yang justru menambah kritik pedas terhadapnya. Suka atau tidak, jelas itu terlihat seperti sang presiden gagap menghadapi luapan amarah publik, sehingga menilai konser dapat menurunkan tensi politik.

Pada akhirnya, pemanggilan artis oleh Presiden Jokowi dapat berimplikasi pada dua kesimpulan. Pertama, strategi tersebut dapat kita afirmasi bahwa itu akan memiliki dampak yang signifikan. Kedua, itu menjadi indikasi bahwa strategi pemerintah dalam menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 sampai saat ini tampaknya telah menemui kebuntuan.

Ya, di luar itu semua, tentu kita berharap strategi tersebut akan berkontribusi meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan. Jangan sampai Indonesia mengaktualisasi prediksi sejumlah pihak, bahwa republik ini akan menjadi episentrum baru Covid-19 karena masyarakatnya begitu tidak disiplin.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...