HomeNalar PolitikHabib Rizieq Sengaja Dipulangkan?

Habib Rizieq Sengaja Dipulangkan?

Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) semakin menambah gejolak politik nasional. Baik media dan publik telah menempatkan HRS sebagai pusat atensi saat ini. Tentu menjadi pertanyaan tersendiri, jika benar terdapat usaha mencegah HRS pulang sejak 2017 lalu, mengapa Ia dibiarkan kembali di tengah situasi pandemi dan resesi ekonomi?


PinterPolitik.com

Setelah kepulangannya pada 10 November lalu, Habib Rizieq Shihab (HRS) benar-benar menjadi magnet pemberitaan. Tidak hanya soal sosoknya secara pribadi, deretan fenomena menarik juga tidak henti menyertai Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut.

Pertama, kepulangan HRS telah menimbulkan berbagai kerumunan massa, seperti di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Petamburan, dan Megamendung. Di tengah kejenuhan publik karena pandemi Covid-19 tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda berakhir, publik tentunya geram karena aturan protokol kesehatan seolah tidak berlaku kepada sang habib.

Kedua, baliho HRS sampai membuat TNI turun tangan. Tidak tanggung-tanggung, Koopssus TNI bahkan terlihat melakukan konvoi dan melewati Petamburan, yang merupakan kediaman HRS. Ini jelas menjadi fenomena yang sangat unik. Menimbang pada derasnya sentimen minor terhadap dwifungsi ABRI, pelibatan TNI di wilayah sipil seperti itu benar-benar berisiko secara politik.

Ketiga, fenomena ratusan karangan bunga seperti kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga terjadi di Kodam Jaya selepas TNI menurunkan baliho HRS. Menariknya, terdapat dugaan yang menyebutkan karangan bunga tersebut dikondisikan alias settingan.

Keempat, aktris Nikita Mirzani seolah menjadi ujung tombak yang terus mengulik HRS. Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin dalam wawancaranya bersama PinterPolitik menyebutkan pada awalnya Nikita mungkin hanya latah mengomentari kepulangan HRS. Akan tetapi, pernyataan-pernyataan selanjutnya, mungkin adalah psywar atau terdapat pihak yang mengondisikannya demikian.

Kelima, ini fenomena terbaru, terjadi drama “kejar-kejaran” karena HRS disebut kabur dari RS Ummi Kota Bogor, Jawa Barat setelah adanya polemik pengungkapan hasil tes swab Imam Besar FPI tersebut. Sehari sebelumnya, pemerintah Kota Bogor bahkan sampai mempolisikan RS Ummi karena dinilai menghalangi tugas Satgas Covid-19 Kota Bogor.

Kelima ihwal tersebut jelas mengisi headline pemberitaan sampai saat ini. Perhatian publik pun benar-benar tersedot oleh berbagai peristiwa yang berkaitan dengan HRS. Atas hal tersebut, sebenarnya menjadi pertanyaan tersendiri, dengan adanya unit intelijen, mengapa justru HRS dibiarkan pulang di tengah kondisi tidak pasti akibat pandemi?

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?

Bukankah seharusnya segala potensi keributan dan kerumunan harus diminimalisir sedemikian rupa untuk mempercepat penanganan pandemi? Lantas, ihwal politik apa yang dapat kita maknai dari keanehan ini?

Pengarahan Hasrat

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, tampaknya akan sangat menarik apabila terlebih dahulu kita melihat pemikiran filsuf Prancis Gilles Deleuze dan psikoanalisis Prancis Félix Guattari tentang schizophrenia atau skizofrenia.

Bagi mereka yang mempelajari studi psikologi, atau setidaknya mengetahui tentang jenis-jenis penyakit mental, tentu tidak asing dengan istilah tersebut. Namun di sini, Deleuze dan Guattari menggunakan skizofrenia sebagai istilah untuk menjelaskan fenomena hasrat (desire).

Marc Roberts dalam tulisannya Capitalism, Psychiatry, and Schizophrenia: A Critical Introduction to Deleuze and Guattari’s Anti-Oedipus menjelaskan bahwa dalam pemikiran Deleuze dan Guattari, hasrat dipahami sebagai prinsip yang ‘mendasari’ dunia, eksistensi, kehidupan, dan realitas itu sendiri.

Hasrat dipahami sebagai mesin (desiring-machines). Mesin adalah metafora yang digunakan karena hasrat berperan untuk memproduksi. Maksudnya adalah, hasrat adalah sesuatu yang memungkinkan kita menginginkan sesuatu. Sebagai contoh, ketika lapar, apabila kita tidak berhasrat makan, kita tidak akan segera makan. Hasrat tersebut juga membuat kita memproduksi makanan nantinya – atau membelinya.

Menurut Deleuze dan Guattari, hasrat terus memproduksi secara terus menerus. Namun, karena hasrat tidak memiliki identitas tetap atau tujuan yang jelas, hasrat kemudian dipahami sebagai skizofrenia. Sama seperti skizofrenia, hasrat juga dapat mengganggu pikiran dan emosi karena memproduksi secara terus-menerus. Skizofrenia kemudian digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan proses produksi hasrat.

Menariknya, skizofrenia juga digunakan untuk mengkritik kapitalisme. Menurut Deleuze dan Guattari, kapitalisme memiliki karakter yang sama dengan skizofrenia. Isme tersebut memiliki dorongan meraih keuntungan yang diproduksi secara terus menerus. Namun, berbeda dengan skizofrenia yang menjelaskan kondisi keliaran hasrat, dalam kapitalisme hasrat justru direpresi atau sederhananya diarahkan.

Pemecah Fokus?

Di sini, kita akan mengadopsi konsep represi hasrat dalam kapitalisme untuk menjelaskan fenomena politik, yakni kasus HRS. Seperti dalam penjelasan Deleuze dan Guattari, hasrat masyarakat pada dasarnya terus terproduksi. Ini tidak bisa dihentikan, namun bisa dialihkan. Nah, konteks tersebut yang menjadi dasar mengapa manajemen isu dalam komunikasi publik dapat dilakukan.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Di tengah pandemi Covid-19, tanpa dibantah lagi kondisi masyarakat memang tengah bosan, kesal, dan frustrasi. Emosi atau hasrat tersebut tidak dapat dihilangkan, namun bisa diarahkan. Melihat track record-nya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah bidak yang sering digunakan untuk mengalihkan hasrat tersebut.

Pemerintah pusat kerap membuat Anies sebagai pesakitan agar perhatian publik menjadi tertuju kepadanya. Akan tetapi, sepertinya terdapat evaluasi karena Anies tidak lagi dinilai sebagai bidak yang mumpuni. Oleh karenanya, diperlukan bidak baru yang benar-benar memiliki daya tarik luar biasa. Siapa dia? Tentunya adalah HRS.

Jika benar HRS telah dijadikan bidak penarik massa, maka pemerintah telah melakukan strategi red herring. Ini adalah strategi pemecah fokus. Cara kerjanya dengan melempar variabel baru atau masalah baru agar masalah utama tidak lagi menjadi fokus, atau setidaknya atensi terhadapnya dapat berkurang.

Nah, jika benar red herring yang dilakukan, masalah apa yang sekiranya ingin ditutupi?

Ada beberapa yang mungkin. Pertama, ini mungkin untuk menutupi belum baiknya penanganan pandemi pemerintah.

Kedua, itu mungkin untuk mengalihkan fokus publik terhadap kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi. Apalagi, terdapat analisis yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya telah merosot sebelum pandemi. Artinya, pandemi hanya dijadikan sebagai kambing hitam atas buruknya pengelolaan ekonomi.

Ketiga, kemungkinan untuk mengalihkan perhatian atas tetap berlanjutnya Pilkada 2020. Banyak diberitakan bahwa pelaksanaan pesta demokrasi tersebut telah mengakibatkan kerumunan di berbagai daerah. Per 22 November (50 hari kampanye) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan menemukan 1.448 kampanye yang melanggar protokol kesehatan.

Singkatnya, akumulasi dari tiga persoalan tersebut jelas melahirkan ketidakpuasan publik. Itu adalah hasrat yang akan terus terproduksi. Oleh karenanya, kepulangan HRS yang notabene pasti menimbulkan kerumunan kemudian dijadikan pengalih hasrat mumpuni agar ketidakpuasan publik dapat tersalurkan kepadanya.

Mengacu pada red herring, HRS adalah umpan atau bidak agar publik menjadi tidak fokus terhadap tiga masalah krusial tersebut, khususnya penanganan pandemi dan pengelolaan ekonomi.

Namun, tentu harus digarisbawahi bahwa simpulan tersebut hanyalah deduksi atau asumsi semata. Benar tidaknya sedang dilakukan manajemen isu, hanya pihak terkait yang mengetahuinya. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan drama kepulangan HRS ini. Menarik ditunggu kelanjutannya. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...