HomeNalar PolitikDi Balik Penurunan Kasus Positif Covid-19

Di Balik Penurunan Kasus Positif Covid-19

Pasca berakhirnya cuti bersama akhir bulan lalu, angka penambahan kasus positif Covid-19 justru mengalami tren penurunan. Kendati begitu, sejumlah pakar kesehatan masyarakat juga mengkritik berkurangnya kapasitas testing yang dilakukan pemerintah. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?


PinterPolitik.com

“Statistics are like a bikini. What they reveal is suggestive, but what they conceal is vital”-Aaron Levenstein, Profesor Administrasi Bisnis di Baruch College

Akhir Agustus lalu, penambahan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia berada di titik yang mengkhawatirkan. Laju penambahan tersebut bahkan sampai memaksa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat seperti sebelum masa transisi.

Kuat diduga, peningkatan kasus yang terjadi kala itu disebabkan oleh libur panjang di bulan sebelumnya. Pada akhir Agustus lalu, pemerintah memang menetapkan tanggal merah dan cuti bersama menyambut HUT Kemerdekaan ke-75 RI dan peringatan tahun baru Islam.

Rangkaian libur panjang tersebut kemudian mendorong tingkat mobilisasi masyarakat menjadi lebih tinggi. Akibatnya penularan Covid-19 menjadi tak terkendali.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, cuti bersama menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW akhir pekan lalu juga dikhawatirkan menimbulkan efek serupa. Sejumlah ahli kesehatan seperti epidemiolog bahkan sempat meminta pemerintah menghapus cuti bersama yang berpotensi kontraproduktif terhadap penanganan pandemi.

Kendati begitu, dua hari pasca berakhirnya cuti bersama, tren penambahan kasus positif Covid-19 seperti yang dikhawatirkan belum terlihat. Sebaliknya, tren penambahan kasus dalam dua hari terakhir justru mengalami penurunan.

Pada 1 November lalu, kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah 2.969 kasus. Tak jauh berbeda, kemarin pemerintah juga kembali mencatatkan penambahan 2.618 kasus baru.

Meski masih mencatatkan penambahan, akan tetapi angka-angka tersebut bisa dibilang cukup menggembirakan. Sebab jumlah itu mengalami penurunan cukup signifikan dari rata-rata penambahan kasus di bulan sebelumnya yang bisa mencapai 3-4 ribu kasus baru perharinya.

Di saat yang sama, Kepala Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pandemi Covid-19, Doni Monardo menyebut bahwa jumlah kasus aktif di Indonesia turun 7,32 persen dari bulan sebelumnya. Pernyataan Doni itu kemudian diafirmasi oleh data okupansi Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 di Wisma Atlet, Jakarta yang tak sampai 40 persen.

Kendati begitu, kabar-kabar gembira tersebut nyatanya tak berhasil meyakinkan para pakar kesehatan. Mereka yakin kenyataan sebenarnya tidaklah secantik data-data statistik yang disampaikan pemerintah.

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko menilai penurunan jumlah penambahan kasus positif nyatanya dibarengi oleh penurunan testing yang dilakukan pemerintah. Ia pun mengkritisi pola testing rendah tersebut di tengah klaim angka penularan kasus Covid-19 menurun. 

Jika memang pernyataan Tri Yunis itu benar, lantas pertanyaannya apakah penurunan jumlah kasus positif Covid-19 awal bulan ini merupakan strategi pemerintah untuk ‘mempercantik’ data statistik penanganan pandemi? Jika iya, apa kira-kira tujuannya?

Baca juga :  Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

Statistik dan Krisis

Semenjak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, publik agaknya semakin akrab dengan data-data statistik. Data penambahan jumlah kasus posiitif, jumlah suspek, hingga jumlah testing yang dilakukan pemerintah menjadi makanan pemberitaan sehari-hari.

Kendati begitu, nyatanya bukan baru kali ini saja data-data tersebut menuai sorotan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah menyatakan keraguannya terhadap data-data yang diapaparkan pemerintah sejak April lalu.

Getirnya, keraguan tersebut tak hanya datang dari IDI. Sebuah survei yang dilakukan Tiga Roda Institute bahkan menyatakan lebih dari separuh responden mereka mengaku ragu dengan data Covid-19 yang dipublikasikan pemangku kebijakan terkait.

Meski merupakan salah satu metode yang dapat diandalkan untuk memetakan situasi krisis, namun di saat yang sama, statistik, baik disengaja maupun tidak, juga dapat memberikan pemahaman yang keliru terhadap situasi yang sebenarnya.  

Darrel Huff dalam bukunya yang berjudul How to Lie with Statistic memaparkan beberapa hal yang membuat statistik bisa digunakan untuk berbohong, atau setidak-tidaknya memberikan pemahaman yang keliru kepada pembaca.

Salah satu caranya dengan mengambil sampel yang bias. Artinya statistik bisa digunakan untuk berbohong dengan mengutak-atik sampel. Singkatnya, seseorang bisa salah memahami angka statistik yang sedari awal memang berasal dari sampel yang bias.

Sampel yang bias bisa berasal dari dua hal, yakni jumlah sampel yang kurang, atau pemilihan sampel yang tidak representatif.

Melengkapi pemikiran Darrel, Handi Rita Li dalam tulisannya yang berjudul Political Effect of Economic Data Manipulation mengatakan bahwa data statistik dan data ekonomi memang dapat dimanfaatkan untuk tujuan politik tertentu. Ia menilai membentuk persepsi melalui data statistik merupakan skema yang ideal bagi pemerintah untuk menunjukkan kekuatannya dan untuk memperbaiki keluhan warga, sehingga menstabilkan masyarakat tanpa biaya tinggi.

Krisis kepercayaan terhadap data-data pemerintah nyatanya tak hanya terjadi di Indonesia. Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS), data-data pandemi yang diterbitkan otoritas setempat juga kerap menuai sorotan.

Michelle R. Smith, Colleen Long dan Jeff Amy dalam tulisan mereka yang berjudul States Accused of Manipulating COVID-19 Statistics to Make Situation Look Better mengatakan sejumlah Negara Bagian di AS, seperti Virginia, Texas, Vermont, hingga Florida disebut-sebut ‘mempercantik’ data testing Covid-19 mereka sebagai dasar untuk melonggarkan pembatasan sosial.

Pemolesan data statistik itu dilakukan dengan cara menggabungkan hasil tes virus, yang menunjukkan infeksi aktif, dengan tes antibodi, yang menunjukkan infeksi masa lalu. Pakar kesehatan masyarakat mengatakan hal itu dapat menghasilkan total pengujian yang tampak mengesankan tetapi tidak memberikan gambaran sebenarnya tentang bagaimana virus menyebar.

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan statistik penambahan kasus positif Covid-19 yang cenderung mengalami penurunan saat ini bisa saja memiliki tujuan politis tertentu sebagaimana yang dilakukan di AS.

Baca juga :  Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Akan tetapi, data tersebut tak bisa serta merta digolongkan sebagai manipulasi, melainkan hanyalah konsekuensi logis dari perubahan teknis dalam proses penghimpunan data statistik. Dalam konteks Indonesia, perubahan teknis yang terjadi adalah berkurangnya jumlah testing yang dilakukan pemerintah.

Kendati dapat bersifat ambigu, tergantung dari apa yang ingin dipersepsikan oleh pembuat, namun Joel Best dalam bukunya yang berjudul Damned Lies and Statistics, mengatakan bahwa solusi dari persoalan ini bukanlah sepenuhnya mengabaikan data-data statistik, melainkan meningkatkan literasi kita terhadap data-data tersebut.

Lalu sekarang pertanyaannya, mengapa pemerintah justru mengurangi kapasitas testing saat tengah terjadi potensi kerumunan massa seperti demonstrasi yang semakin marak dan libur panjang beberapa waktu lalu?

Bendung Dampak Ekonomi?

Gelombang aksi demonstrasi yang semakin marak pasca pengesahan rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) beberapa waktu lalu memang berpotesi kontraproduktif terhadap penanganan pandemi.

Di tengah situasi ini, pemerintah sebenarnya bisa saja menaikan grafik penambahan kasus positif dengan cara meningkatkan kapasitas testing. Kenaikan tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk menjadi dasar pelarangan aksi-aksi massa.

Akan tetapi kenyataannya pemerintah tak melakukan hal tersebut. Sebaliknya, pemerintah justru menurunkan kapasitas testing untuk mendapatkan angka penambahan kasus positif yang terlihat lebih terkendali.

Setidaknya, ada sejumlah hal yang kiranya dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk menampilkan data Covid-19 yang lebih terkendali, yakni resesi ekonomi dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang semakin dekat.

Penambahan jumlah kasus positif yang meningkat terlalu tajam bisa saja mendorong kepala daerah untuk kembali menerapkan PSBB ketat, yang berpotensi memperburuk resesi ekonomi. Sementara penyelenggaraan Pilkada, jumlah kasus yang terus meningkat bisa saja membuat para pemilih enggan untuk menggunakan hak suaranya di ajang pesta demokrasi.

Berangkat dari sini, maka bisa saja dikatakan bahwa tren penambahan kasus positif Covid-19 akibat rendahnya testing merupakan salah satu strategi pemerintah untuk menanggulangi dampak krisis lain, yakni resesi ekonomi. Ini tentu masuk akal jika kita mengingat bahwa Pemerintahan Jokowi memang kerap terjebak dalam diskursus antara memprioritaskan kesehatan atau ekonomi.

Pada akhirnya, meski disandarkan pada teori-teori logis, namun yang tahu alasan di balik terjadinya penurunan kapasitas testing hanyalah pemerintah sendiri. Namun yang jelas, penurunan grafik penambahan kasus positif bukanlah akhir dari pandemi. Apalagi, pemerintah sendiri terlihat ragu apakah tren penurunan itu terjadi secara riil atau tidak. Untuk itu, kewaspadaan dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan tetaplah dibutuhkan. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...