HomeNalar PolitikDi Balik Menpora Tunggu Maaf Malaysia

Di Balik Menpora Tunggu Maaf Malaysia

Permintaan maaf secara resmi dari Menteri Belia dan Sukan Malaysia Syed Saddiq masih ditunggu-tunggu oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali dan sebagian masyarakat Indonesia. Di balik polemik pemukulan dan pengeroyokan terhadap warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia, rivalitas olahraga di antara kedua negara telah lama menghantui.


PinterPolitik.com

“But when we fight it’s kinda like sibling rivalry ‘cause they’re back on stage the next night with me” – Eminem, penyayi rap asal Amerika Serikat

Bara semangat para pendukung Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2022 berkobar-kobar untuk mendukung tim nasional kesayangannya. Sejak bulan Juni lalu, tim ini bertanding melawan berbagai perwakilan negara lain dalam grup G dalam konfederasi Asian Football Confederation (AFC).

Dalam grup tersebut, Indonesia harus bersaing dengan beberapa negara Asia lainnya, seperti Uni Emirat Arab, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Namun, dalam beberapa pertandingan, gesekan-gesekan antar-pendukung tampaknya tak terhindarkan.

Pada awal September 2019 lalu misalnya, insiden saling lempar terjadi di antara pendukung Indonesia dan pendukung Malaysia di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) ketika timnas Malaysia bermain bertandang ke Indonesia. Polemik atas peristiwa tersebut akhirnya berujung pada permintaan maaf resmi yang kala itu diajukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi kepada Menteri Belia dan Sukan Malaysia Syed Saddiq.

Bulan November ini menjadi giliran Indonesia untuk bertandang ke Malaysia. Bara semangat para pendukung pun tentu masih tetap berkobar dengan berkunjung ke negara tetangga guna menyaksikan pertandingan tersebut.

Namun, polemik tampaknya masih belum lepas dari dunia persepakbolaan ini. Dukungan dari para suporter yang bertandang ke sana harus menghadapi satu isu, yakni dugaan akan pemukulan terhadap salah seorang WNI di Kuala Lumpur.

Pemukulan itu pun diabadikan dalam sebuah video yang tersebar viral di lini masa selama beberapa hari ini. Sontak, warganet tak tinggal diam dan ramai membicarakan persoalan ini.

Saddiq sebagai pemimpin Kementerian Belia dan Sukan (KBS) Malaysia akhirnya dituntut untuk meminta maaf – seperti apa yang dilakukan Imam perihal insiden September lalu. Meski telah meminta maaf melalui akun Twitternya, Menpora Zainuddin Amali masih menunggu permintaan maaf resmi Saddiq.

Polemik yang kini semakin melibatkan kedua pemerintah negara ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa permintaan maaf menjadi hal yang penting? Lalu, bagaimana dampak perseteruan sepak bola ini terhadap hubungan bilateral kedua negara?

Identitas Kolektif

Permainan olahraga memang sering menjadi tontonan yang seru bagi masyarakat. Dalam aksi-aksi para atlet, terdapat juga perasaan yang menggebu-gebu dari para penonton yang turut memiliki rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tim atlet yang bermain, khususnya dalam permainan sepak bola.

Asumsi akan adanya perasaan ini sejalan dengan penjelasan Geoff Hare dan Hugh Dauncey dalam tulisan mereka yang berjudul The Coming of Age. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa sepak bola – ketika menjadi semakin populer – dapat berkontribusi secara signifikan terhadap narasi-narasi identitas kolektif.

Baca juga :  Mustahil Taylor Swift ke Indonesia?

Pada dekade 1950-an hingga 1980-an, citra diri (self-image) Prancis banyak dipengaruhi oleh olahraga sepak bola. Kemenangan-kemenangan tim sepak bola asal Prancis memunculkan kepercayaan diri nasional dalam kompetisi-kompetisi sepak bola.

Selain Prancis, peran sepak bola dalam pembangunan identitas nasional juga terjadi di berbagai negara lain, seperti Skotlandia, Jerman, dan Brasil. Pengalaman tim sepak bola dari negara-negara tersebut selalu menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian masyarakat negara-negara itu.

Jika sepak bola dapat memberikan sumbangsih terhadap identitas nasional di negara-negara itu, bagaimana dengan di Indonesia dan Malaysia?

Olahraga sepak bola – ketika menjadi semakin populer – dapat berkontribusi secara signifikan terhadap narasi-narasi identitas kolektif. Click To Tweet

Baik di Indonesia maupun Malaysia, sepak bola memiliki pengaruh tertentu terhadap perasaan akan adanya identitas kolektif. Eu Jin Leong dari Nanyang Technological University (NTU) dalam tulisannya yang berjudul Complicated Relationships between Sports and National Identity menjelaskan bahwa, bagi negara-negara berkembang – termasuk Malaysia, olahraga memiliki peran dalam membangun identitas nasional.

Hal senada juga dijelaskan oleh Freek Colombijn dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Indonesian Football. Colombijn bahkan menyebutkan bahwa sepak bola menjadi sangat penting seiring terjadinya globalisasi cabang olahraga itu.

Melalui sepak bola, negara-negara berkembang memiliki keinginan untuk memproyeksikan identitas dan kesatuan nasional dalam panggung internasional. Indonesia misalnya, meski memiliki jenis-jenis olahraganya sendiri – seperti seni bela diri pencak silat, memiliki dorongan untuk berperforma baik di kompetisi dunia.

Lantas, bagaimana dampak identitas kolektif ini bagi rivalitas dan hubungan di antara kedua negara ini?

Rivalitas Olahraga

Bukan tidak mungkin pentingnya sepak bola bagi identitas kolektif kedua negara berakhir pada rivalitas tertentu. Pasalnya, narasi-narasi perbedaan sering mewarnai perdebatan di antara dua negara, seperti aspek-aspek budaya hingga persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.

Berbagai insiden di antara kedua pendukung timnas juga kerap terjadi. Pada tahun 2019 ini saja, insiden-insiden saling lempar dan hujat telah terjadi beberapa kali, baik di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) maupun Stadion Bukit Jalil.

Mengacu pada kaitan teori identitas dan kelompok pendukung tim olahraga, Cody T. Havard dari University of Memphis dalam tulisannya yang berjudul The Impact of the Phenomenon of Sport Rivalry on Fans menjelaskan bahwa rivalitas dapat berasal dari ancaman out-group dalam komparasi sosial yang dilakukan oleh in-group.

Rivalitas olahraga yang terjadi antara Inggris dan Jerman pada tahun 1908-1920 misalnya, menjadi pertarungan akan perebutan dominansi di dunia olahraga. Luke J. Harris dalam tulisannya yang berjudul Media and International Sporting Rivalry, “perang dingin” yang terjadi di antara keduanya pada abad ke-20 memunculkan kebutuhan untuk menunjukkan superioritas di bidang olahraga.

Lantas, bagaimana dengan rivalitas antara Indonesia dan Malaysia? Bagaimana dampaknya?

Bukan tidak mungkin adanya komparasi sosial di antara masyarakat Indonesia dan Malaysia memunculkan rivalitas di bidang olahraga. Masing-masing negara boleh jadi akan merasa perlu untuk menunjukkan superioritasnya dalam permainan sepak bola.

Baca juga :  Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

Adanya rivalitas ini mungkin membuat Saddiq tampak berhati-hati untuk mengajukan permintaan maafnya kepada pemerintah Indonesia. Pasalnya, menurut Barbara Kellermen dari Harvard Kennedy School, permintaan maaf yang dilakukan oleh pejabat negara harus memerhatikan keadaan tertentu.

Permintaan maaf secara umum merupakan tindakan yang berbiaya tinggi, baik bagi pejabat sendiri, bagi para pengikutnya, dan bagi organisasi yang diwakilinya. Ucapannya akan menjadi catatan publik yang tak akan mudah dilupakan.

Adanya tuntutan untuk saling meminta maaf ini bisa saja berdampak pada hubungan antar-kedua negara. Pasalnya, di beberapa negara lain, rivalitas dan insiden-insiden dalam kompetisi olahraga memiliki implikasi pada hubungan antarnegara.

Inggris dan Jerman misalnya, seperti yang dijelaskan oleh Harris dalam tulisannya, memiliki persaingan akan dominansi dan superioritas yang juga merambat pada persaingan militer. Kedua negara semakin berebut posisi terbaik dalam kemampuan militer.

Rivalitas yang berimplikasi pada hubungan diplomatik juga pernah terjadi di antara Mesir dan Aljazair. Hampir sama dengan Indonesia dan Malaysia, pertandingan sepak bola di antara dua negara ini kerap diwarnai dengan insiden antar-suporter.

Insiden dan rivalitas Mesir-Aljazair ini pun berujung pada situasi diplomatik yang memburuk. Masyarakat Mesir misalnya, mendorong pemerintahannya untuk mencari solusi atas persoalan ini. Dorongan ini berujung pada pemanggilan duta besar Aljazair untuk Mesir oleh Kementerian Luar Negeri Mesir beberapa kali.

Lalu, bagaimana dampak insiden dan rivalitas olahraga beberapa waktu lalu terhadap hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia?

Bila diamati kembali, perdebatan akan insiden antar-pendukung timnas beberapa waktu lalu banyak dilakukan di dunia maya. Adanya diskusi daring di antara kedua negara ini boleh jadi dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia.

Nicholas Westcott dalam tulisannya yang berjudul Digital Diplomacy menjelaskan bahwa internet dapat memperbanyak dan mengamplifikasi suara dan kepentingan yang perlu didengar dalam perumusan kebijakan luar negeri. Selain itu, internet mendorong penyebaran informasi – baik akurat maupun tidak akurat – atas suatu isu atau kejadian yang bisa berdampak pada politik antarnegara.

Bukan tidak mungkin bila video dugaan pemukulan pendukung Indonesia di Malaysia dapat mendorong keputusan-keputusan pemerintah dalam hubungan diplomatiknya dengan negara tetangga. Pasalnya, selain tuntutan permintaan maaf secara resmi dari Kemenpora, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur telah mengirimkan nota protes kepada Kementerian Luar Negeri (KLN) Malaysia.

Pada intinya, selama rivalitas di antara Indonesia dan Malaysia tetap eksis, hubungan diplomatik di antara keduanya bukan tidak mungkin akan terpengaruh. Seperti lirik rapper Eminem, rivalitas antara dua saudara akan tetap kembali mewarnai hubungan di antara mereka. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?