HomeNalar PolitikDemokrasi dan Kontra Narasi Cendana

Demokrasi dan Kontra Narasi Cendana

Keluarga Cendana hadir media sosial dengan berbagai narasi terkait demokrasi. Bagi beberapa orang, hal ini bisa membuat mereka mengernyitkan dahi, tetapi keluarga ini boleh jadi punya maksud tersendiri.


Pinterpolitik.com

Banyak yang menduga bahwa berakhirnya rezim Orde Baru akan membuat berakhir pula jejak keluarga Cendana di negeri ini. Ternyata, meski Soeharto tak lagi berkuasa, putra-putri mereka masih berupaya untuk memberikan pengaruh di negeri ini melalui berbagai saluran.

Salah satu cara keluarga ini untuk menjaga eksistensi adalah dengan memanfaatkan media sosial. Tak tanggung-tanggung, bahasan yang diambil anggota keluarga elite di Indonesia ini adalah soal demokrasi dan refleksinya terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa saat ini.

Anggota-anggota keluarga Cendana seperti Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hedijanti Harijadi (Titiek) tergolong cukup vokal mengritik pelaksanaan demokrasi di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

Bagi beberapa orang, perilaku anggota keluarga Cendana yang membahas demokrasi ini tergolong membingungkan. Banyak dari mereka yang memutar kembali memori tentang pemerintahan ayah mereka yang pelaksanaan demokrasi kerap digugat dan dipertanyakan.

Lalu mengapa keluarga ini memilih narasi-narasi yang cukup kontradiktif denggan kenyataan yang terjadi di era ayah mereka? Adakah maksud khusus dari anggota keluarga elite ini dengan narasi-narasi tersebut?

Cendana dan Demokrasi

Di atas kertas, sulit membayangkan kata-kata demokrasi, Soeharto dan keluarga Cendana berada dalam satu narasi. Bayangan orang masih terpaku pada kondisi bahwa di era Orde Baru, demokrasi baik secara prosedur maupun substansi masih belum bertumbuh seperti sekarang.

Meski demikian, nyatanya putra-putri Soeharto tidak ragu untuk menggunakan narasi tersebut di dunia maya. Yang teranyar, Tutut memuat sebuah tulisan berjudul Demokrasi Menurut Bapak di situs pribadi miliknya.

Dalam tulisan tersebut, Tutut merefleksikan Pemilu saat ini dengan kenangan bersama sang ayah. Menurut tulisan tersebut, demokrasi yang sehat digambarkan sebagai demokrasi yang tak hanya sekadar kebebasan berpendapat. Ada penekanan cukup menarik dari tulisan ini bahwa demokrasi yang sehat itu hadir tanpa campur tangan negara lain.

Meski tak spesifik mengritik pihak manapun, tulisan di situs ini seperti merefleksi dan membandingkan politik Indonesia di era saat ini dan era ayahnya menjabat. Sulit untuk tidak mengaitkan tulisan milik Tutut tersebut dengan kondisi politik terkini.

Sebelumnya, Titiek sudah lebih dahulu menggunakan narasi semacam ini untuk menyerang era pemerintahan Jokowi. Kritik Titiek cenderung lebih terang-benderang ketimbang Tutut yang masih belum gamblang pihak mana yang jadi sasaran kritik. Titiek misalnya menyebutkan jika pelaksanaan Pemilu di tahun ini lebih curang ketimbang Pemilu di era Orde Baru.

View this post on Instagram

Semoga menjadi keluarga bahagia selamanya… Aamiin

A post shared by Tutut Soeharto (@tututsoeharto) on

Dalam kadar tertentu, narasi yang diluncurkan oleh Keluarga Cendana kepada era pemerintahan saat ini merupakan kontra-narasi kepada gambaran pemerintahan pasca Orde Baru, terutama di era Jokowi. Mereka seperti mencoba melakukan serangan balik kepada rezim saat ini, dengan isu demokrasi, sesuatu yang sebenarnya tak terlalu familiar ditemui di era Soeharto.

Kontra narasi seperti ini dapat dilancarkan untuk menimbulkan ironi bagi era pasca Orde Baru yang diharapkan demokratis, tetapi digambarkan awak Cendana tak demikian. Secara spesifik, ironi ini dihadapkan kepada pemerintahan Jokowi, sosok yang dianggap sebagai harapan demokrasi dan lahir dari proses demokrasi langsung.

Kontra narasi merupakan salah satu strategi yang cukup efektif dalam sebuah peperangan. Hal ini diungkapkan oleh William D. Casebeer dan James A. Russell.  Mereka menggambarkan  bagaimana cerita yang baik dalam kontra narasi dapat menimbulkan efek tertentu.

Casebeer dan Russell menggambarkannya melalui kasus kontra narasi dalam perang melawan terorisme. Menurut mereka, kegagalan menghadirkan cerita yang baik dapat menimbulkan risiko pemberontakan, gerakan sosial yang penuh kekerasan, dan aksi teroris. Oleh karena itu, perlu ada narasi tandingan yang baik untuk dapat meredam hal-hal tersebut.

Dalam konteks yang sedikit berbeda, pentingnya kontra narasi ini diungkapkan pula oleh Tanya Silverman dan kawan-kawan. Silverman dan kawan-kawan lebih banyak mementingkan langkah ini untuk melawan narasi-narasi untuk melawan ekstremisme.

Menurut mereka, kontra narasi merupakan pesan yang memberikan alternatif positif kepada propaganda ekstremis, atau secara alternatif diarahkan untuk mendekonstruksi atau mendelegitimasi narasi ektremis.

Dari pandangan tersebut, dapat diambil satu kata kunci dari kontra narasi yaitu alternatif. Lebih jauh, meski tak harus selalu bermakna positif seperti yang dikemukakan Silverman dan kawan-kawan, kontra narasi cenderung memiliki misi untuk mendekonstruksi atau mendelegitimasi narasi yang sudah lebih dahulu hadir.

Harta Diburu?

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa anak-anak Soeharto ini sampai perlu melancarkan kontra narasi semacam itu. Dalam kadar tertentu, tanpa berkuasa sekalipun, keluarga ini sudah hidup dalam kondisi amat mapan dan beberapa nama masih menembus posisi 150 besar orang terkaya di Indonesia versi majalah Globe Asia.

Jika merunut berbagai kejadian pasca Pilpres 2019, ada perkara tertentu yang berpotensi membuat keluarga Cendana merasa tidak nyaman dengan pemerintahan saat ini. Perkara tersebut misalnya adalah soal putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan Yayasan Supersemar untuk mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun.

Aneh memang keluarga Cendana menyindir demokrasi. Meski demikian, mereka bisa saja memiliki maksud lewat sindiran tersebut. Click To Tweet

Kewajiban tersebut dimungkinkan terjadi setelah Kejaksaan Agung di masa pemerintahan Jokowi cenderung agresif memburu aset-aset milik Yayasan Supersemar. Beberapa waktu sebelumnya misalnya, Gedung Granadi yang disebut-sebut dialiri oleh yayasan tersebut juga mulai disinggung-singgung.

Sebelum itu, pemerintahan Jokowi juga menerbitkan aturan yang memungkinkan dana-dana di luar negeri melalui perjanjian Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan berbagai negara. Meski tak spesifik memburu dana siapa, jika benar Soeharto menyimpan banyak dana di mancanegara, maka keluarga Cendana wajar ketar-ketir melalui kiprah agresif pemerintahan ini.

Kontra Narasi

Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, wajar jika sosok seperti Tutut atau Titiek harus melakukan berbagai kontra narasi kepada pemerintahan Jokowi yang dianggap demokratis dengan isu-isu demokrasi. Langkah tersebut dapat menjadi jalan untuk menipiskan legitimasi pemerintahan Jokowi yang disinyalir tengah mengusik harta milik salah satu keluarga paling populer di negeri ini.

Bisa saja ada yang mengartikan bahwa keluarga Cendana tidak terlalu nyaman jika harus berada di bawah pemerintahan Jokowi. Indikasi ini bisa diperkuat melalui berbagai langkah lain yang dilakukan keluarga elite ini.

Salah satu indikasi paling nyata adalah ketika memutuskan untuk mendukung lawan Jokowi, Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Selain itu, aktivisme dan keberpihakan Titiek di Aksi 22 Mei beberapa waktu lalu juga dapat menggambarkan indikasi yang kurang lebih serupa.

Kontra narasi yang dihadirkan saat ini, dengan membenturkan demokrasi ala Soeharto dengan demokrasi yang tersaji saat ini, boleh jadi merupakan langkah lanjutan dari ketidaknyamanan keluarga ini kepada pemerintahan saat ini.

Sebagaimana digambarkan sebelumnya, kontra narasi memang dimaksudkan untuk melakukan dekonstruksi dan delegitimasi kepada narasi yang sudah terlebih dahulu muncul. Dalam konteks ini, Jokowi bisa saja tengah didekonstruksi atau didelegitimasi dengan berbagai narasi demokrasi ala Cendana, terlepas dari sulitnya mengidentikkan kata itu dengan keluarga tersebut.

Pada akhirnya, motif paling murni dari aktivisme keluarga Cendana di internet terkait dengan demokrasi ini hanya mereka yang mengetahui. Terlepas dari berbagai kritik terkait kontradiksi, narasi-narasi yang mereka berikan di media sosial terlihat bisa saja menjadi alternatif bagi hal yang tersedia dari pemerintahan saat ini. Efeknya seperti apa masih belum terprediksi, yang jelas, kiriman mereka jadi pesan bahwa Cendana masih eksis. (H33)

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...