HomeNalar PolitikAnti Pseudo Demokrasi

Anti Pseudo Demokrasi

Kongsi partai politik di Pilkada Jakarta secara naif membagi partai menjadi ‘kubu Ahok’ dan ‘kubu Anies’. Di level Kabupaten dan Provinsi, ternyata tidak demikian, mengapa?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]R[/dropcap]idwan Kamil resmi maju ke gelanggang Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2018 mendatang. Modalnya sudah cukup, selain persona internet yang menawan; humoris, dekat dengan rakyat, sayang istri, tampan, gagah, dan islam, beliau membawa restu Partai Nasional Demokrasi atau Nasdem di tangannya.

Walaupun sempat membuat Gerindra ‘cemburu’, karena didahului Nasdem untuk mengusung beliau, kelihatannya Ridwan Kamil tak terlalu terpengaruh. “Dua-duanya tentunya saya ucapkan terima kasih. Karena saya kalau ikut Gubernur pun kan ke Bandungnya selesai lima tahun. Berakhirnya sama,” ujarnya pada Rabu (15/03).

Di media sosial Instagram miliknya, ia kembali menghaturkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah menyatakan dukungan kepadanya. 

@ridwankamil sebagai manusia saya berterima kasih kepada SIAPAPUN yang menyampaikan rasa kepercayaan. Dalam politik praktis, sering terjadi situasi kelompok2 yang dahulu mendukung, tidak mendukung lagi di masa depan. tidak ada kepastian yang hakiki dalam politik praktis. Karenanya saya tau diri, tidak mau Geer dan santunnya tidak pilih2. Mau Didukung partai apa pun atau independen pun, yang pasti Kepribadian/nilai hidup/kepemimpinan saya tidak akan berubah. Contoh di foto ini, adalah relawan2 dari kelompok independen dari Sukabumi yang baru kenalan dengan saya minggu lalu. ujug-ujug mengaspirasikan ingin melakukan deklarasi. Tiada kata dari saya selain Hatur Nuhun. Banyak yg tidak paham, pemilihan gubernur Juni 2018 berbarengan dengan selesainya tugas walikota 2013-2018. Hari ini Masih ada 2 tahun anggaran, 2017 dan 2018 yang akan saya kebut sesuai komitmen setia untuk mengejar mimpi2 Bandung. Tertakdir menjadi pemimpin yang melayani umat alhamdulillah. Tidak juga tetap alhamdulillah. Karena prinsip hidup saya adalah “Khairunnas anfa’uhum linnas” : selalu memberi energi terbaik untuk masyarakat dimana pun Allah menakdirkan panggung hidup saya. Hatur nuhun.

Pada perjalanan menuju kursi Walikota Bandung pada tahun 2013 lalu, Ridwan Kamil memang berhasil melenggang berkat usungan Partai Gerindra dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kini, kerjanya terhadap Bandung, seakan mendapat pengakuan dengan banyaknya partai politik yang mendukungnya, termasuk partai yang dianggap berlawanan dengan partai pengusungnya terdahulu.

Akrobat Partai Politik Indonesia

Partai politik menurut Miriam Budiarjo dalam ‘Dasar-Dasar Ilmu Politik’, adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotanya secara umum dapat dikatakan memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan program-programnya.

Di Jakarta, keadaan masih panas karena pertarungan kubu Anies Baswedan – Sandiaga Uno dengan Ahok – Djarot dalam merebut kekuasaan dan kedudukan politik sebagai Gubernur. Pilkada Jakarta dari permukaan membagi partai menjadi partai ‘kubu Ahok’ dan partai ‘kubu Anies’. Hal tersebut dilihat secara sederhana dari dukungan suatu partai terhadap suatu pasangan calon.

Misalnya, partai PDI-P dan Nasdem, yang mengusung Ahok-Djarot, kerap dijuluki sebagai ‘kubu Ahok’ karena dukungannya terhadap Ahok, seorang tokoh dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Sedangkan, partai pengusung Anies Baswedan – Sandiaga Uno, sering disebut sebagai partai ‘Kubu Anies’ dan kerap menyerukan pentingnya memilih pemimpin beragama islam, agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia. Sehingga, ketika berhadapan dengan situasi politik atau pemilihan umum, pemikiran ‘Siapa tokoh yang dibela atau didukung’ menjadi jauh lebih penting ketimbang memeriksa ideologi apa yang hendak dibawa oleh partai.

Di tingkat Provinsi atau Kabupaten, ternyata partai yang dibedakan berdasarkan imaji partai ‘kubu Ahok’ dan partai ‘kubu Anies’ ala Pilkada Jakarta tidak berlaku sama sekali.

Anti Pseudo Demokrasi

Pada Pilkada Jakarta, pasangan Ahok-Djarot sejak awal mendapat dukungan (endorse) dari partai-partai berhaluan demokrasi seperti PDI-P, Hanura, Golkar, dan Nasdem. Sedangkan pasangan Anies Baswedan –Sandiaga Uno diusung oleh partai yang berhaluan demokrasi, Hanura, dan juga partai berasas islam seperti PKS.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Muncul pula desas-desus bahwa partai ‘Poros Cikeas’ yang semula mengusung Agus Yudhoyono dan Sylvi, yakni Demokrat, PAN, PKB, dan PPP, akan mendekati pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno karena dinilai memiliki visi dan misi yang sama.

Namun Nachrowi Ramli, selaku politikus Demokrat menyampaikan, partainya akan bergabung ke salah satu kandidat, asalkan memiliki visi misi yang sejalan. “Itu yang belum dibicarakan. Kita masih akan melakukan komunikasi politik dulu, kan kalau kita berkoalisi dengan salah satu dari dua pasang calon ini, juga harus lengkap. Yang penting visi misinya harus sejalan,” Ujar Nachrowi di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (15/2).

Hingga saat ini, partai poros Cikeas belum memberikan keputusan final mengenai peralihan dukungan yang akan diberikan antara pasangan Ahok – Djarot atau Anies – Sandiaga.

 

Mengawal Ideologi serta Visi Misi Partai Politik

Pemberitaan mengenai partai yang mencoba mengusung tokoh atau figur tertentu menarik disimak. Peristiwa tersebut mampu memicu respon masyarakat. Respon yang paling mudah dan dekat terlihat, tentunya berada di media sosial.

Ridwan Kamil, yang diusung oleh Partai Nasdem, dituduh sebagai penganut islam syiah oleh netizen. Hal tersebut terjadi lantaran ia mendapat dukungan dari partai, yang dipersepsikan sebagai ‘kubu Ahok’, seorang etnis Tionghoa beragama Kristen, dalam Pilkada Jakarta. Tentu hal tersebut tidak bisa diletakkan dalam percaturan pemilihan di daerah yang berbeda, dalam artian bukan di Jakarta.

Tuduhan yang dilayangkan kepada Ridwan Kamil tersebut, diunggah olehnya dalam media sosial Instagram.

@ridwankamil: “contoh akun2 yang mulai memfitnah sana-sini tentang saya dan istri. siap2 jaman sekarang berhadapan dengan hukum. Hatur Nuhun. *sisi gelap politik”
Respon masyarakat terhadap pengusungan suatu tokoh oleh partai tertentu, makin menjauhkan pentingnya memperhatikan ideologi serta visi dan misi yang dibawa partai politik. Tidak hanya itu, mengecek mereka tetap berhaluan dalam visi dan misi yang dibawa juga perlu dikawal. Apakah partai-partai politik yang membawa nilai persamaan dan demokrasi secara pragmatik mencerminkan hal yang sesuai?

Negara Belanda juga menerapkan sistem multi partai seperti Indonesia. Dalam pemilihan parlemen Belanda 2017, terdapat 10 partai yang merepresentasikan Kerajaan Belanda. Partai tersebut antara lain, People’s Party for Freedom and Democracy (VVD), Party for Freedom (PVV), Labour Party (PvdA), Socialist Party (SP), Christian Democratic Appeal (CPA), Democrat 66 (D66), Christiian Union (CU), GreenLeft (GL), Reformed Political Party (SGP), Party for the Animals (PvdD, dan 50 Plus (50+).

Partai-partai tersebut, memiliki ideologi yang tegas dan jelas. Partai berhaluan kanan seperti Party for Freedom di mana Geert Wilders bernaung, memiliki program kerja meminimalisir populasi muslim di Belanda. “Saya ingin kita berada di dalam pemerintahan.” Ujarnya pada Sabtu (18/2). Partai tersebut akhirnya dikalahkan awal Maret lalu, oleh Partai GreenLeft yang berhaluan kiri. Kebijakan pro imigran dan pro islam, membuat pemimpinnya, Jesse Klaver, populer. “Belanda adalah negara imigran. Saya adalah produk imigrasi,” ujarnya.

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?
sumber: Huffington.ca

Kubu-kubu partai juga terbentuk di Belanda pada masa pemilu, sama halnya Indonesia. Namun, keterbelahan tersebut,  dibangun oleh ideologi yang berbeda dan berseberangan satu sama lain, bukan semata tokoh politiknya. Selain itu, partai-partai di Belanda, baik yang memiliki ideologi sehaluan atau berseberangan, tidak melakukan koalisi seperti yang terjadi di Indonesia

 Waspada Terjerumus ‘Pasar’

 Berdasarkan data dari CSIS dan lembaga survey Cyrus Network, partisipasi politik masyarakat Indonesia mengalami kenaikan. Menggunakan ukuran dari Pemilihan Umum Presiden tahun 2014, golongan putih atau yang abstain memberikan suara menurun menjadi  25 persen, dari tahun 2009 yakni, 28.3 persen. Tingkat partisipasi politik dikabarkan mengalami kenaikan menjadi 75,2 dari angka 71,7. Hasan Nasbi, selaku Direktur Cyrus Network menginfokan bahwa angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Orde Baru runtuh.

Partisipasi politik tentunya tidak hanya dapat diakukan dengan ikut pemilihan umum saja. Kegiatan seperti terlibat dalam segala tahapan kebijakan, dimulai sejak pembuatan keputusan, sampai penilaian keputusan juga merupakan bentuk partisipasi politik.

Dengan kenaikan persentase partisipasi politik masyarakat, apakah berarti nilai demokrasi yang dibawa oleh partai-partai berasas demokrasi, berhasil?

Saiful Haq, seorang pengamat militer dan politik mengungkapkan, kontestasi pemilihan pemimpin di Indonesia mengubah demokrasi menjadi pasar, yakni pasar demokrasi. Tiap pasangan calon berlomba mendapatkan ‘pembeli’ atau pilihan dari rakyat. Visi dan misi politik tidak lagi menjadi penting karenanya, yang terpenting adalah popularitas calon pemimpin, banyaknya keuntungan berupa uang yang didapatkan, serta kekuasaan yang diperoleh.

Pernyataan Saiful Haq bisa jadi menjawab betapa partai politik seakan sibuk merekrut dan mengusung tokoh politik yang dianggap ‘cemerlang’, daripada sibuk membenahi gerakan partai sesuai dengan visi dan misi mulianya. Tujuannya jelas, yakni meraup pemilih sekaligus ‘pembeli’ dari pasar pemilihan kepala daerah. Jika hal tersebut benar, maka ‘lamaran’ yang dilakukan Partai Nasdem kepada Ridwan Kamil, serta kehadiran mantan vokalis Kangen Band, Andika Mahesa, sebagai wakil ketua DPP Demokrat Lampung tentu tidak lagi unik.

Foto: Google

Dalam pembagian isu partai ‘kubu Ahok’ dengan partai ‘kubu Anies’ yang terjadi secara banal di Jakarta, lebih membuat suatu gerakan sosial menjadi terkotak-kotak karena berbasiskan suatu isu saja.

Kelompok yang berjuang di isu agama atau bahkan hak asasi manusia, seringkali tidak memiliki relasi satu sama lain, apalagi sinergi dengan kelompok yang aktif berjuang di isu gender, lingkungan, dan juga korupsi.

Padahal, jika menginginkan adanya suatu perubahan sosial yang lebih baik, sinergi antar berbagai isu penting diperhatikan.

Hal tersebut selain menjauhkan dari pemikiran yang terlalu sederhana dalam memandang suatu figur dan partai politik, juga dapat menyelamatkan dari jargon-jargon demokrasi yang kosong dan tanpa makna atau pseudo demokrasi. (Berbagai sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....