Cross BorderAda yang Ingin NATO-Rusia Perang?

Ada yang Ingin NATO-Rusia Perang?

- Advertisement -

Insiden rudal di Polandia membuat dunia tegang karena itu adalah pertama kalinya rudal buatan Rusia menghantam wilayah NATO. Bagaimana kita memaknai peristiwa ini dari kacamata politik internasional?


PinterPolitik.com

Seperti tidak ada akhirnya, perkembangan konflik di Eropa kini semakin tampak semakin kompleks. Tidak hanya perang di Ukraina yang belum selesai, pada hari Selasa (15/11) lalu sebuah rudal yang diduga buatan Rusia menghantam wilayah perbatasan Polandia dan menewaskan dua warga Polandia.

Kabar menghebohkan ini bahkan sampai membuat para anggota negara G7 dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengadakan rapat darurat saat para 20 negara perekonomian terbesar di dunia sedang berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Menurut dugaan yang beredar di media massa, pertemuan mendadak itu sampai menunda agenda KTT G20 selama 1,5 jam.

Tentu pertanyaan besar yang kini ada di benak banyak orang adalah: “siapa yang melakukannya?” Well, awalnya informasi berseliweran begitu liar. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pernyataan belasungkawanya kepada Polandia bahkan dengan tegas menduga dengan kuat bahwa rudal itu adalah memang diluncurkan oleh Rusia.

Walau Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg akhirnya mengumumkan bahwa rudal tersebut kemungkinan besar adalah rudal yang diluncurkan Ukraina untuk menghalau serangan Rusia, posisi pakta pertahanan negara-negara Barat tersebut tetap menyalahkan Rusia karena agresinya telah menciptakan tragedi semacam ini.

Yang menariknya, ini bukan pertama kalinya Rusia mendapat tuduhan atas aksi militer yang ambigu. Akhir September lalu pipa gas Nord Stream, pipa yang jadi andalan Rusia untuk memasok energi ke Eropa dikabarkan meledak akibat serangan bom. Beberapa pejabat Inggris dan Amerika Serikat (AS) kala itu menduga bahwa itu adalah aksi provokatif Rusia. Akan tetapi, sampai saat ini kasus itu belum terkuak siapa biang keladinya.

Ini kemudian memancing pertanyaan, mungkinkah dua tragedi ini saling berhubungan? Apakah mungkin sedang ada upaya untuk memanas-manasi hubungan antara Rusia dan negara-negara Eropa?

image 95

Eskalasi di Ujung Tanduk?

Walaupun akhirnya diduga kuat bahwa rudal yang jatuh di Polandia adalah milik Ukraina, insiden tersebut setidaknya membawa dua implikasi besar. Pertama, rudal yang membunuh dua warga Polandia itu jelas memberikan pesan kuat bahwa perbatasan antara NATO dan Rusia sudah terlalu dekat, sehingga kemungkinan terjadinya sebuah kecelakaan seperti ini cukup tinggi.

Kedua, bagaimanapun juga, korban jiwa adalah korban jiwa, dan yang paling pentingnya, korban jiwa tersebut adalah warga negara dari anggota NATO, pakta pertahanan yang sering dianggap sebagai entitas pertahanan paling kuat di dunia. Ledakan rudal ini menjadi bukti bahwa wilayah NATO ternyata tidak terlindungi dengan baik sehingga sebuah rudal nyasar bisa membunuh warga negara anggotanya.

Baca juga :  Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Ini artinya, jika NATO menyikapi kasus tersebut dengan begitu ringan, hanya mengatakan itu hanya kecelakaan dan semacamnya, sudah pasti akan muncul pandangan di publik Eropa bahwa NATO ternyata tidak mampu melindungi wilayah pertahanannya sendiri.

Sentimen yang demikian sebenarnya sudah bisa kita temukan dengan mudah di threads Twitter dan video-video YouTube yang membahas tentang respons NATO. Beberapa akun bisa kita temukan menyindir komitmen pertahanan NATO, banyak bahkan yang bertanya, butuh berapa banyak korban jiwa bagi NATO untuk menanggapi secara serius sebuah serangan terhadap wilayahnya?

Dalam pandangan yang lebih luas, besar kemungkinannya fenomena ini terakumulasi dengan menguatnya persepsi publik dari negara-negara Barat tentang NATO yang seharusnya berbuat lebih banyak untuk memukul mundur agresi Rusia dan turut menyelesaikan konflik di Ukraina.

Sebuah survei dari Munich Security Index pada Juli 2022 silam menunjukkan bahwa rata-rata 50 persen penduduk di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada, menginginkan NATO menunjukkan sikap yang lebih keras pada Rusia meskipun itu akhirnya berujung pada konfrontasi militer. Sementara itu, Prancis memiliki skor 48 persen, lalu Italia 38 persen, dan Jerman 44 persen.

Karena itu, Julian Borger dalam artikelnya Poland explosion unlikely to spark escalation – but risks of Nato-Russia clash are real, menilai bahwa walaupun kasus rudal Polandia ini tidak akan berakibat pada eskalasi langsung, dampak jangka panjangnya akan sangat besar. Tidak hanya dorongan publik untuk menghukum Rusia lebih kuat, tapi kesadaran dari negara-negara anggota NATO untuk memperkuat pertahanannya terhadap Rusia juga akan lebih besar. Sebagai dampaknya, potensi adanya kecelakaan lain di masa depan yang bisa berujung pada eskalasi drastis akan jauh lebih besar dari sekarang.

‘Persiapan perang’ ini tampak semakin mulus jika kita kembali membincangkan insiden pemboman pipa gas Nord Stream yang sempat disinggung di bagian awal tulisan ini. Seperti yang sudah beberapa kali dibahas dalam sejumlah artikel PinterPolitik.com, Nord Stream adalah daya tawar terbesar Rusia untuk negara-negara NATO di Eropa. Terhambatnya operasi pipa Nord Stream berarti Rusia tidak lagi mencengkeram Eropa dalam genggamannya.

Ditambah dengan sejumlah alternatif energi yang hingga kini sedang digodok Eropa, semakin hari keseimbangan daya tawar antara Eropa dan Rusia akan semakin merugikan Rusia. Apa yang terjadi bila kemudian Rusia tidak lagi berpengaruh di Eropa? Well, sederhananya Eropa akhirnya bisa dengan berani berkonfrontasi dengan Rusia.

Namun, kita perlu akui bahwa untuk saat ini semua dugaan ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, Carl von Clausewitz dalam bukunya On War pernah mengatakan bahwa suatu peperangan tidak akan terjadi tanpa ada niatan untuk memulainya dari para pemegang kekuasaan, karena perang pada prinsipnya juga merupakan alat politik. Jika rentetan peristiwa sebelum suatu peperangan terlihat begitu mendukung meletusnya pertempuran, maka besar kemungkinannya memang sudah didesain demikian.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Tentu, untuk sekarang kita belum bisa dengan pasti menuduh siapa yang menginginkan peperangan NATO melawan Rusia menjadi kenyataan, yang pasti aktornya bisa siapa saja, entah itu negara ataupun perusahaan yang diuntungkan dengan adanya perang, teroris multinasional, ataupun separatis yang menginginkan negaranya hancur.

Tapi, kira-kira bagaimana kita bisa menilai seriusnya eskalasi peperangan?

image 96

Tahapan Menuju Peperangan

Diplomasi adalah praktik yang sangat mengutamakan kehati-hatian. Terkadang, sebuah aksi yang jelas merugikan suatu negara bahkan dimaklumi agar perang tidak menjadi kenyataan. Pada tahun 2015 misalnya, ketika Rusia mengirimkan pasukan ke Suriah, sebuah jet tempur Rusia dikabarkan tertembak jatuh oleh pasukan Turki.

Meski seharusnya Rusia menanggapi dengan lebih serius, persoalan itu akhirnya ‘dimaklumi’ oleh Presiden Vladimir Putin. Ini menandakan bahwa terkadang negara rela mengorbankan dirinya hanya agar masalah yang lebih besar tidak terjadi.

Terkait itu, Aila Lonka dalam tulisannya Why Countries Cut Ties in Peacetime memperkenalkan sesuatu yang disebut ladder of disapproval atau tangga ketidaksetujuan dalam diplomasi. Ini adalah tingkatan-tingkatan aksi diplomatis yang digunakan oleh suatu negara untuk menunjukkan sikapnya terhadap suatu permasalahan lintas negara.

Di dalamnya, Lonka merangkum ada 6 tingkatan: pertama, adalah ekspresi keprihatinan; kedua, kecaman publik; ketiga, penarikan sejumlah perwakilan diplomatik; keempat, pemutusan hubungan diplomatik; kelima, aksi non-recognition atau tidak mengakui landasan politik suatu negara; keenam, tindakan militer langsung.

Nah, kalau kita mengacu pada ladder of disapproval tadi, maka kita bisa nalarkan bahwa untuk saat ini jelas para petinggi negara NATO dan Rusia belum mau membawa tensi politik ke ketegangan yang lebih serius karena apa yang mereka lakukan masih dalam ruang lingkup ekspresi keprihatinan dan kecaman publik.

Akan tetapi, di masa depan kita perlu waspadai jika tiba-tiba saja AS mengurangi jumlah diplomatnya di Rusia atau bahkan menutup kedutaan besarnya di sana, karena bisa jadi, ini adalah persiapan peperangan.

Oleh karena itu, sampai saat ini kita sepertinya masih bisa bernapas lega, meskipun bisa saja ada pihak-pihak yang ingin memprovokasi suatu perang besar, para pemimpin negara-negara adidaya masih bisa menjaga akal sehatnya dan menahan diri agar Perang Dunia III tidak meletus.

Karena bagaimanapun juga, sejarah membuktikan bahwa semakin canggih peradaban manusia, maka korban yang jatuh dalam peperangannya juga semakin banyak. Tidak terbayang bila suatu hari Perang Dunia III akhirnya terjadi. Besar harapan kita itu tidak akan pernah terjadi. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.