HomeNalar Politik#2019GantiPresiden Ditunggangi HTI?

#2019GantiPresiden Ditunggangi HTI?

Beberapa pihak menuding HTI ada di belakang gerakan #2019gantipresiden. Spanduk dan penggalan video berisi seruan “ganti sistem” membuat Jubir HTI Ismail Yusanto dan politisi PKS Mardani Ali Sera hendak dilaporkan ke polisi. Tudingan berdasar atau menyasar untuk diskreditkan oposisi?


PinterPolitik.com

“Slowly, ideas lead to ideology, lead to policies that lead to actions.”

:: Nandan Nilekani, politisi dan pengusaha India ::

[dropcap]A[/dropcap]ksi penolakan dan penghadangan terhadap beberapa aktivis gerakan #2019gantipresiden menjadi perhatian banyak pihak. Dianggap sebagai gerakan yang “mengancam” keamanan masyarakat, banyak yang justru melayangkan kritik dan menganggap penghadangan tersebut adalah lambang pembungkaman otoritas terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.

Editorial The Jakarta Post secara khusus menurunkan tajuk protes terhadap kemerdekaan untuk mengeluarkan aspirasi dan pendapat yang “terzalimi” lewat pelarangan deklarasi gerakan ini.

Tetapi, apakah hanya alasan keamanan semata yang menjadi concern aparat keamanan? Atau ada ketakutan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan eskalasi gerakan tagar ini menjadi sebuah gerakan sosial-politik yang mengancam sang petahana untuk terpilih lagi di periode berikut?

Tentu saja dua pertanyaan itu saling tumpang tindih dan menjadi bagian dari tema besar yang mengemuka, perihal latar belakang gerakan tanpa nama capres tersebut. Ini seolah mengulang kisah optimates yang mewakili golongan aristokrat, melawan populares atau kelompok populis yang menyebut diri mewakili keinginan rakyat di era Romawi.

Persoalan ini kemudian menampakkan wajah yang berbeda, terutama ketika beberapa hari lalu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mempertanyakan secara spesifik arah dukungan politik #2019gantipresiden.

#2019GantiPresiden Ditunggangi HTI?

Sembari menyinggung kondisi politik yang kini hanya menyisakan kubu Jokowi dan Prabowo Subianto saja – sehingga istilah “ganti presiden” menjadi kurang jelas tujuannya jika tidak secara terbuka menyebut tokoh tertentu yang didukung – menariknya Ganjar menyebut kata “khilafah” sebagai bagian dari pernyataannya.

Menurut Ganjar, tanpa ada arah dukungan yang gelas, tentu patut dipertanyakan apa yang sebetulnya ingin diganti oleh #2019gantipresiden. Apakah presiden saja, sistem, atau apa? Jika mengganti presiden, dengan kondisi menyisakan dua calon saja, mengapa tidak menyebut nama Prabowo? Apakah presiden yang dimaksud adalah sistem negara, sehingga harus diganti dengan bentuk lain, katakanlah khilafah?

Faktanya, istilah khilafah sangat identik dengan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinyatakan dibubarkan oleh pemerintah pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Ini bisa berarti istilah “khilafah” yang diucapkan Ganjar tidak muncul dengan sendirinya.

Pasalnya, beberapa pihak memang telah menuduh ormas ini “menunggangi” gerakan #2019gantipresiden. Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang merupakan sayap kepemudaan NU, secara terbuka menyebutkan hal tersebut. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto dan politisi PKS sekaligus penggagas tagar tersebut Mardani Ali Sera bahkan terancam akan dilaporkan ke polisi.

Tentu pertanyaan terbesarnya adalah apakah benar demikian?

#2019GantiPresiden, Ada HTI?

Beberapa waktu lalu memang sempat beredar video pendek yang berisi seruan dukungan untuk gerakan #2019gantipresiden dengan Mardani dan Ismail Yusanto di dalamnya. Dalam video itu Mardani mengucapkan seruan “ganti presiden”, sementara Yusanto berucap “ganti sistem”.

Potongan video ini beredar luas di media sosial dan membuat banyak orang mempertanyakan maksud “ganti sistem” yang disebutkan oleh Jubir HTI tersebut.

Pasalnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas. Sistem adalah sebuah bangunan yang berisi kesatuan dari banyak unsur.

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Dalam konteks pemerintahan dan kaitannya dengan ganti presiden, sistem tentu saja bukan hanya soal kepala negara, tetapi keseluruhan bangunan sistem presidensial itu sendiri. Presiden hanyalah salah satu unsur di dalamnya saja.

Artinya ganti presiden tidak sama dengan ganti sistem. Ganti sistem bukan hanya soal mengganti pucuk pemerintahan sebagai jabatan publik yang diperebutkan dalam politik, tetapi mengganti secara keseluruhan sistem pemerintahan, bahkan juga termasuk mekanisme politik untuk mencapai posisi jabatan publik tersebut.

Karena ucapan itu diungkapkan oleh seorang anggota HTI, maka tentu saja hal ini bisa dimaklumi. “Ganti sistem” tentu saja menjadi salah satu tujuan dari ormas tersebut. Tetapi, apakah hal itu berarti HTI menunggangi #2019gantipresiden?

Momen video bersama dengan Mardani Ali Sera sang pencetus gerakan tagar tersebut tentu saja membuat banyak pihak mengaitkan dua entitas politik ini. Hal ini juga masuk akal mengingat PKS sendiri secara tradisional punya cita-cita yang mirip HTI, sekalipun oleh banyak kadernya dianggap kini telah ditinggalkan.

Pada 2017 lalu, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) melakukan survei dan menemukan sekitar 34 persen anggota PKS setuju dengan cita-cita khilafah HTI – jumlah yang terbesar dibandingkan partai-partai politik lain. Selain itu, di beberapa tempat terdapat banyak spanduk gerakan #2019gantipresiden yang di atasnya tertera lambang HTI dan PKS dengan seruan khilafah atau sejenisnya.

Maka, tak heran jika GP Ansor mengeluarkan tudingan tersebut. Baik HTI maupun PKS telah membantah hal ini. Dua pihak sama-sama mengelak – dengan bahasa yang serupa – bahwa telah terjadi operasi kontra intelijen untuk mendiskreditkan #2019gantipresiden.

Pasalnya, dengan menyebut HTI menunggangi #2019gantipresiden, maka pemerintah dan kepolisian merasa punya legitimasi untuk menertibkan aspirasi politik tersebut. HTI memang telah menjadi organisasi terlarang sejak pertengahan 2017 lalu, sekalipun hingga kini ormas tersebut disebut-sebut masih tetap melakukan aktivitasnya.

Memang, persinggungan Ansor – termasuk juga Muhammadiyah – dengan HTI punya dimensi lain, misalnya terkait “perebutan” basis massa dari masjid ke masjid – hal yang pernah diungkapkan oleh Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones.

Namun, sebagai gerakan massa yang umumnya berisikan kelompok elite dan terpelajar dengan estimasi anggota mencapai 40 ribu dan simpatisan 5 kali lipatnya, tentu saja membuat HTI menjadi “ancaman” dalam konteks politik. HTI adalah salah satu penggerak utama aksi 411 dan 212 yang memutihkan Jakarta jelang Pilkada 2017 lalu.

Karena basis keanggotaannya yang terpelajar dan cenderung masuk dalam golongan elite, serta aktivitasnya yang bergerak dalam koridor hukum yang berlaku, membuat HTI dipandang lebih berbahaya secara politik dibanding ormas lain, katakanlah dengan Front Pembela Islam (FPI) yang lebih sering melakukan aksi-aksi jalanan.

Walaupun konsep negara dalam idealisme HTI bertolak belakang dengan ideologi Prabowo, namun kecil kemungkinan keduanya saling membenci, apalagi dalam konteks melawan Jokowi. Click To Tweet

Apalagi, dalam konteks politik kekinian jelang Pilpres 2019, anggota-anggota HTI cenderung merapat ke kubu oposisi pemerintah, salah satunya melalui Partai Bulan Bintang (PBB).

Baca juga :  Dewan HAM PBB Tidak Etis!

Konteks perjuangan HTI yang secara terang-terangan ingin mengganti sistem pemerintahan dan dasar negara memang menjadi hal yang berbahaya. Namun, menyebut gerakan #2019gantipresiden harus dilarang karena ditunggangi ormas tersebut juga tidak bisa dibenarkan.

Bagaimanapun juga, di negara demokrasi seperti ini, aspirasi politik yang tidak dilindungi dan sebaliknya dipersekusi adalah hal yang kontra terhadap demokrasi. Sikap yang demikian tentu saja tidak ada bedanya dengan cita-cita dan perjuangan HTI yang ingin menghapus sistem demokrasi tersebut.

Selain itu, belum ada bukti riil yang mutlak menunjukkan ormas ini berada di belakang tagar #2019gantipresiden – katakanlah dalam hal pembiayaan atau inisiatif penggerak – sekalipun tidak dapat dipungkiri juga bahwa gerakan ini adalah inisiatif elite dan bukan gerakan dari bawah.

Jokowi Musuh Bersama?

Dalam konteks Pilpres 2019, jelas ada pertautan kepentingan antara kubu-kubu yang tidak ingin Jokowi kembali berkuasa. Theodore M. Benditt dari University of Southern California menyebutkan bahwa kontestasi politik menjadi arena pertarungan kepentingan yang ingin diaktualisasikan atau mendapatkan pengakuan publik.

Dalam konteks HTI, jika memang benar terlibat di balik gerakan #2019gantipresiden, tentu saja momen Pilpres 2019 akan menjadi ajang mengaktualisasikan kepentingannya. Apalagi, keinginan untuk mengganti rezim pemerintahan Jokowi diperkuat dengan alasan “kesewenang-wenangan” lewat UU Ormas dan pelarangan aktivitas yang mereka terima.

HTI sangat mungkin melihat gerakan ganti presiden punya aspirasi politik yang sama, sehingga harus didukung. Aktualisasi kepentingan politik lewat #2019gantipresiden adalah cara ormas tersebut memperjuangkan kembali pengakuan atas keberadaannya sebagai bagian dari demokrasi.

Mendukung kubu lawan Jokowi tentu saja akan menjadi cara mewujudkan kepentingan politik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Konteks ini sejalan dengan pendapat Jon Krosnick tentang psychology of voting. Menurutnya, jika sekelompok masyarakat membenci satu dari dua kandidat yang bertarung, maka mereka cenderung akan ikut memilih lawan dari tokoh yang dibenci itu.

Walaupun konsep negara dalam idealisme HTI bertolak belakang dengan ideologi Prabowo, namun kecil kemungkinan keduanya saling membenci, apalagi dalam konteks melawan Jokowi. Artinya, HTI dan Prabowo melihat Jokowi sebagai musuh bersama yang harus terlebih dahulu dikalahkan. Persoalan apakah nanti Prabowo mengakomodasi tegaknya khilafah atau tidak, akan menjadi perjuangan tahap berikutnya.

Pada akhirnya, sebagai ormas yang ingin mengganti Pancasila, HTI memang tetap akan dinilai sebagai entitas yang berbahaya oleh banyak pihak. Apalagi, seperti kata Nandan Nilekani di awal tulisan, ideologi HTI yang kuat, sangat mungkin diejawantahkan dalam kebijakan jika ormas ini mendapatkan tempat, katakanlah jika masuk ke kabinet pemerintahan baru.

Namun, tanpa ada bukti yang kuat, pelarangan aktivitas #2019gantipresiden karena tuduhan ditunggangi HTI, adalah pembungkaman terhadap demokrasi, dan hanya jadi solusi instan melawan kebebasan berpendapat. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, hal ini tentu saja menjadi kemunduran yang mengkhawatirkan. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

TikTok menjadi salah satu media kampanye paling populer bagi pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.