HomeCelotehAktivis Pasti Berlalu

Aktivis Pasti Berlalu

Aktivis adalah dewa! Saat mereka berbicara, kata-kata mereka adalah sabda! Saat mereka berorasi, napas mereka adalah gelora! Saat ditawari kekuasaan? Eh, sabar dulu, posisi apa yang ditawarkan?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]G[/dropcap]elar ‘aktivis’ seolah menjadi predikat yang sangat sakral. Mereka yang aktif di organisasi kemahasiswaan, turun ke jalan untuk berdemo, kritis terhadap penguasa, dan yang pergi dari pagi hingga malam – bahkan nginap di basecamp segala – inilah yang punya kebanggaan menjadi seorang aktivis.

Dalam sejarahnya, aktivis selalu dianggap sebagai motor perjuangan dan pergerakan melawan penguasa. Lalu, kalau tujuannya sudah tercapai? Pertanyaan menarik, Dul!

Setiap era selalu punya aktivisnya masing-masing. Mulai dari zaman perjuangan kemerdekaan, zaman Soekarno, zaman Orde Baru, hingga zaman reformasi sekarang ini. Napas aktivis adalah jiwa muda dengan segala idealisme yang ada di kepalanya.

Sayangnya, banyak aktivis yang kehilangan idealisme ketika berhadapan dengan kekuasaan. Cita-cita perubahan ke arah yang lebih baik, cita-cita pengabdian kepada masyarakat banyak, dan cita-cita untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik seolah  jleb – musnah oleh tawaran kekusaan.

Ya iyalah, Dul. Wong idealisme ndak bisa ngenyangin perut kok. Yang bisa ngenyangin perut ya cuma nasi.

Maka, idealisme itu pun terjual oleh ‘nasi-nasi kekuasaan’.

Yang tersisa hanyalah perut-perut buncit!

Tetapi, suara mereka masih tetap keras kok. Sayangnya, jika dulu corongnya dari bawah ke atas, sekarang corongnya malah menyiksa orang-orang di bawah, yang seharusnya mereka bela. Para aktivis itu telah berubah menjadi penguasa!

Baca juga :  Open House Terakhir Jokowi…

Hmm, sebenarnya tidak masalah juga. Toh aktivis-aktivis yang dulu ikut menumbangkan rezim Orde Baru misalnya, saat ini benar-benar memaknai demokrasi secara utuh sebagai era ketika kita bisa bebas bersuara. Persoalannya, untuk kepentingan siapa? Penguasa?

Idealisme dan perjuangan untuk rakyat memang telah tergantikan oleh madu-madu politik dan kekuasaan.

Basecamp kontrakan sempit penuh nyamuk – yang walaupun kecil, tapi penuh gelora ide dan diskusi  – tergantikan oleh hotel bintang lima yang nyaman, mobil bagus, jam tangan puluhan juta dan gaya hidup berkelas.

Pekikan: “turunkan harga BBM dan harga sembako”, telah berubah menjadi: “bubarkan KPK”! Hmm, Om, yang rakyak tahu, KPK itu buat nangkepin maling-maling uang rakyat. Kok malah mau dibubarkan?

“Woi, Dul! Lu ngomongin gua? Gua tabokin pake koper juga nanti lu!”

Suara-suara itu pun makin sumbang. Konon ada yang sekarang jadi komisaris di perusahan-perusahan plat merah. Sementara itu, aktivis berambut putih yang sudah kepala tujuh itu sibuk pidato tentang kecebong dan akhirat.

Ah, kekuasaan! Mungkin kau hanya iri saja, Dul…

(S13)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.